Ada dua kalimat yang sarat dengan nilai di Konvensi Humas 4.0, 10-11 Desember 2018 lalu. Pertama; humas jangan kalah dengan jempol. Dua; pikiran jangan kalah cepat dari jempol.
DUA pernyataan itu keluar dari mulut orang berbeda. Tempat pun tak sama. Kalau kalimat pertama diungkapkan Agung Laksamana, Ketua Umum BPP Perhumas di Istana Negara saat menyampaikan sambutan di pembukaan Konvensi Nasional Humas 4.0. Di hadapan Presiden Joko Widodo. Kalimat kedua disampaikan R Niken Widiastuti, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik di arena Konvensi Nasional Humas 4.0.
Agung dengan lugas menyampaikan agar humas tidak kalah dengan jempol. Maknanya, peran humas yang mestinya menyampaikan sesuatu dengan baik, seringkali kalah dengan jempol. Ganti status di media sosial melalui gawai. Tanpa cek kebenaran sebuah informasi. Akhirnya bertebaranlah kabar-kabar bohong alias hoax. Kalimat-kalimat yang sering menyakitkan hati. Semestinya, di era 4.0 (Baca: four point zero), bisa berbicara baik. Harus, Indonesia bicara baik.
Kontan saja, Presiden Joko Widodo mengapresiasi upaya Perhumas ingin menciptakan Indonesia bicara baik. Sangat mengapresiasi gerakan di media sosial dengan tagar #IndonesiaBicaraBaik. “Saya sangat setuju dengan gerakan Indonesia Bicara Baik. Ini sebuah ajakan untuk hijrah dari pesimisme menuju optimisme. Ajakan hijrah dari semangat negatif ke positif, dari hoax ke fakta, dari kemarahan ke kesabaran, dari hal yang buruk-buruk ke yang baik-baik, serta hijrah dari ketertinggalan menuju kemajuan,” ucapnya.
Gerakan sosial itu dirasa tepat dilakukan di tengah melubernya konten-konten negatif, provokatif, dan kabar bohong yang akhir-akhir ini sering dilihat. Presiden menyebut, informasi-informasi negatif tersebut terkadang memang sengaja disebar untuk membangkitkan rasa takut dan pesimistis. “Menghadapi hal itu, memang tidak cukup dengan regulasi dan penegakan hukum. Diperlukan literasi digital sehingga masyarakat tidak hanya mampu menggunakan teknologi informasi, tetapi juga mampu memilih dan memilah informasi,” kata Presiden.
Presiden mengajak para praktisi kehumasan, baik di jajaran swasta maupun pemerintahan, untuk menjadi agen perubahan. Insan humas Indonesia tetap harus konsisten dalam menebarkan optimisme di tengah masyarakat.
Dalam pada itu, R Niken Widiastuti, mengajak insan humas negara, yaitu seluruh masyarakat Indonesia untuk berbicara baik seperti yang selama ini digaungkan Perhumas. “Sekarang ini sering pikiran kalah cepat daripada jempol,” katanya saat presentasi.
Tantangan yang sedang dihadapi oleh humas pemerintah saat ini, kata Niken, bukan hanya perkembangan teknologi informasi 4.0 atau digital 4.0, melainkan juga keterbukaan informasi, perkembangan masyarakat, mediamorfosis, dan era post truth. Maraknya hoax yang beredar mengakibatkan perubahan persepsi masyarakat. Mereka menjadi emosional tanpa menyelidiki informasi atau pesan tersebut lebih dalam. Masyarakat yang mudah emosional ini perlu diedukasi melalui komunikasi publik dan endorsement oleh opinion leaders.
Rekomendasi Humas 4.0
Sadar akan pentingnya peran Humas, Konvensi Nasional Humas 2018 mengeluarkan lima poin rekomendasi yang nantinya bisa dijadikan sebagai acuan untuk praktisi humas di berbagai lintas sektor industri di Indonesia. Mulai dari pemerintah, swasta dan organisasi kelembagaan.
Ketua Umum BPP Perhumas, Agung Laksamana menyebutkan, kelima rekomendasi tersebut. Pertama, karakter. Humas 4.0 harus memiliki karakter yang adaptif, wawasan global, kreatif, digital, semangat terus belajar (contious learning) , speed dan responsive dan punya agenda setting. Selain itu humas juga harus mengedepankan sikap membela kepentingan NKRI. Ini penting untuk melihat sejauh mana integritas para praktisi humas di Indonesia.
Kedua, Kolaborasi. Humas 4.0 harus memiliki spirit kolaborasi yaitu komunikasi strategis yang dibangun antar lembaga, tidak boleh lagi ego sektoral. Ketiga, Kebijakan. Khusus untuk humas pemerintah, perlu ada reposisi peran humas secara tepat sehingga bisa bekerja lebih efektif dan tepat sasaran. Pemerintah diharapkan membuat regulasi yang mengikuti perkembangan zaman.
Keempat, Kompetensi. Untuk mendukung Roadmap Making Indonesia 4.0, Perhumas akan meluncurkan akreditasi humas 4.0 dimana nantinya semua humas harus memiliki standart kemampuan soft skill berbasis digital. Pemerintah diharapkan mewajibkan para praktisi humasnya untuk mengambil sertifikasi tersebut agar humas memiliki kompetensi yang memiliki daya saing yang kuat.
Kelima, Kode Etik Kehumasan. Kode etik Perhumas harus segera direvisi menjadi kode etik humas 4.0 sehingga memiliki komitmen dan integritas tinggi terhadap pekerjaan yang dijalankannya.
“Lima rekomendasi ini kalau dianalogikan seperti software-nya ya. Chip-nya itu di dalam harus merah putih NKRI. Jadi Humas 4.0 wajib memiliki karakter yang adaptif, global mindset, kreatif, faham digital, continues learning, speed dan responsive, memiliki agenda setting dan kolaboratif serta tidak ego sektoral, ” ujar Agung.(mhd nazir fahmi)
DUA pernyataan itu keluar dari mulut orang berbeda. Tempat pun tak sama. Kalau kalimat pertama diungkapkan Agung Laksamana, Ketua Umum BPP Perhumas di Istana Negara saat menyampaikan sambutan di pembukaan Konvensi Nasional Humas 4.0. Di hadapan Presiden Joko Widodo. Kalimat kedua disampaikan R Niken Widiastuti, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik di arena Konvensi Nasional Humas 4.0.
Agung dengan lugas menyampaikan agar humas tidak kalah dengan jempol. Maknanya, peran humas yang mestinya menyampaikan sesuatu dengan baik, seringkali kalah dengan jempol. Ganti status di media sosial melalui gawai. Tanpa cek kebenaran sebuah informasi. Akhirnya bertebaranlah kabar-kabar bohong alias hoax. Kalimat-kalimat yang sering menyakitkan hati. Semestinya, di era 4.0 (Baca: four point zero), bisa berbicara baik. Harus, Indonesia bicara baik.
Kontan saja, Presiden Joko Widodo mengapresiasi upaya Perhumas ingin menciptakan Indonesia bicara baik. Sangat mengapresiasi gerakan di media sosial dengan tagar #IndonesiaBicaraBaik. “Saya sangat setuju dengan gerakan Indonesia Bicara Baik. Ini sebuah ajakan untuk hijrah dari pesimisme menuju optimisme. Ajakan hijrah dari semangat negatif ke positif, dari hoax ke fakta, dari kemarahan ke kesabaran, dari hal yang buruk-buruk ke yang baik-baik, serta hijrah dari ketertinggalan menuju kemajuan,” ucapnya.
Gerakan sosial itu dirasa tepat dilakukan di tengah melubernya konten-konten negatif, provokatif, dan kabar bohong yang akhir-akhir ini sering dilihat. Presiden menyebut, informasi-informasi negatif tersebut terkadang memang sengaja disebar untuk membangkitkan rasa takut dan pesimistis. “Menghadapi hal itu, memang tidak cukup dengan regulasi dan penegakan hukum. Diperlukan literasi digital sehingga masyarakat tidak hanya mampu menggunakan teknologi informasi, tetapi juga mampu memilih dan memilah informasi,” kata Presiden.
Presiden mengajak para praktisi kehumasan, baik di jajaran swasta maupun pemerintahan, untuk menjadi agen perubahan. Insan humas Indonesia tetap harus konsisten dalam menebarkan optimisme di tengah masyarakat.
Dalam pada itu, R Niken Widiastuti, mengajak insan humas negara, yaitu seluruh masyarakat Indonesia untuk berbicara baik seperti yang selama ini digaungkan Perhumas. “Sekarang ini sering pikiran kalah cepat daripada jempol,” katanya saat presentasi.
Tantangan yang sedang dihadapi oleh humas pemerintah saat ini, kata Niken, bukan hanya perkembangan teknologi informasi 4.0 atau digital 4.0, melainkan juga keterbukaan informasi, perkembangan masyarakat, mediamorfosis, dan era post truth. Maraknya hoax yang beredar mengakibatkan perubahan persepsi masyarakat. Mereka menjadi emosional tanpa menyelidiki informasi atau pesan tersebut lebih dalam. Masyarakat yang mudah emosional ini perlu diedukasi melalui komunikasi publik dan endorsement oleh opinion leaders.
Rekomendasi Humas 4.0
Sadar akan pentingnya peran Humas, Konvensi Nasional Humas 2018 mengeluarkan lima poin rekomendasi yang nantinya bisa dijadikan sebagai acuan untuk praktisi humas di berbagai lintas sektor industri di Indonesia. Mulai dari pemerintah, swasta dan organisasi kelembagaan.
Ketua Umum BPP Perhumas, Agung Laksamana menyebutkan, kelima rekomendasi tersebut. Pertama, karakter. Humas 4.0 harus memiliki karakter yang adaptif, wawasan global, kreatif, digital, semangat terus belajar (contious learning) , speed dan responsive dan punya agenda setting. Selain itu humas juga harus mengedepankan sikap membela kepentingan NKRI. Ini penting untuk melihat sejauh mana integritas para praktisi humas di Indonesia.
Kedua, Kolaborasi. Humas 4.0 harus memiliki spirit kolaborasi yaitu komunikasi strategis yang dibangun antar lembaga, tidak boleh lagi ego sektoral. Ketiga, Kebijakan. Khusus untuk humas pemerintah, perlu ada reposisi peran humas secara tepat sehingga bisa bekerja lebih efektif dan tepat sasaran. Pemerintah diharapkan membuat regulasi yang mengikuti perkembangan zaman.
Keempat, Kompetensi. Untuk mendukung Roadmap Making Indonesia 4.0, Perhumas akan meluncurkan akreditasi humas 4.0 dimana nantinya semua humas harus memiliki standart kemampuan soft skill berbasis digital. Pemerintah diharapkan mewajibkan para praktisi humasnya untuk mengambil sertifikasi tersebut agar humas memiliki kompetensi yang memiliki daya saing yang kuat.
Kelima, Kode Etik Kehumasan. Kode etik Perhumas harus segera direvisi menjadi kode etik humas 4.0 sehingga memiliki komitmen dan integritas tinggi terhadap pekerjaan yang dijalankannya.
“Lima rekomendasi ini kalau dianalogikan seperti software-nya ya. Chip-nya itu di dalam harus merah putih NKRI. Jadi Humas 4.0 wajib memiliki karakter yang adaptif, global mindset, kreatif, faham digital, continues learning, speed dan responsive, memiliki agenda setting dan kolaboratif serta tidak ego sektoral, ” ujar Agung.(mhd nazir fahmi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar