Total Tayangan Halaman

Rabu, 01 September 2021

Desa Wisata versus Sate Danguang Danguang

DINGINNYA Lembah Harau, terusir oleh setongkol jagung bakar. Sebungkus sate, terhidang. Aromanya mengelitik perut. “Ini sate danguang danguang,’’ kata Safaruddin Datuak Bandaro Rajo. Bupati Limapuluh Kota yang ramah ini membuka pembicaraan malam itu. Sontak, Menteri Pariwisata Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno mengurai bungkusan. Dan, hmmmm…lamak bana. Itu kata terlontar dari mulutnya.
     Karena sudah mengunyah setongkol jagung, perut sudah katakan stop. Padahal, sebungkus sate danguang danguang terhidang di depan mata. Masih hangat. Tapi, perut belum mau menerima. Apalagi kebiasaan tidak lagi makan di atas pukul 20.00. Walau penasaran juga melihat Bang Sandi melahap sebungkus sate.
     Kita lupakan sate danguang danguang ya. Malam itu, Bang Sandi banyak cerita soal desa wisata. Memang, kedatangannya ke Sumatera Barat mengunjungi empat desa wisata yang lolos 50 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2021. Desa Sungai Batang di Maninjau Agam, Saribu Gonjong di Limapuluh Kota, Kampuang Minang di Tanah Datar dan Desa Apar di Pariaman. Malam itu, satu keluhan terucap dari mulutnya. Jaringan seluler. Tidak memadai. Kadang blank spot.
     Diajak Ketua Umum DPW Indonesian Adventure Travel and Trade Association (IATTA) Sumbar M Zuhrizul, saya mengiakan ikut ke Desa Saribu Gonjong Kanagarian Koto Tinggi Kecamatan Gunuang Omeh Kabupaten Limapuluh Kota. Desa Sarugo. Itu singkatannya. Penasaran. Seperti apa gerangan desa tersebut.
     Bertolak dari Lembah Harau pukul 09.30, hampir pukul 12.00 baru sampai di Desa Sarugo. Pakai pengawalan tentunya. Jalan berliku di antara tebing bukit. Jika berpapasan dengan mobil, salah satu harus berhenti. Sudah beraspal. Namun banyak juga yang sudah terkelupas. Beberapa ruas, ada yang sudah hancur. Susah dilewati mobil sekelas sedan.
     Di Desa Sarugo, jaringan seluler blank. Tapi, warga tempatan tetap bisa berkomunikasi digital. Ada perusahaan internet yang membuka akses mereka. Pakai Wifi. Tinggal beli paket, internetnya nyambung. Ada paket 10 ribu dan ada juga yang 100 ribu rupiah. Kalau mau pakai seluler, harus naik ke puncak bukit. Baru nyambung.
     Di Desa Sarugo tak ada hotel. Adanya homestay. Yang paling banyak, jeruk. Jeruk Siam Gunuang Omeh. Hamparan kebun jeruk, jadi hiasan saat memasuki desa. Pohon jeruk juga jadi tanaman wajib di depan rumah. Rumah-rumah yang bagonjong. Keasrian alam Minangkabau. Kalau secara jangkauan, desa ini masih cukup jauh dari pusat kota. Akses juga belum begitu baik. Harus ada sesuatu yang lebih unik lagi agar wisatawan bisa datang berkunjung.
      Di tengah hujan lebat, Desa Sarugo ditinggalkan. Tiba-tiba ingat sate danguang danguang. Hahai…Mungkin karena belum makan siang saat itu. Sudah beberapa kali mencoba sate ini, tapi belum pernah mencicipi langsung di desa kelahirannya. Danguang Danguang. Sontak saja, arah berikutnya adalah Pasar Danguang Danguang. Berhasil. Makan sate danguang danguang di Danguang Danguang.(*)

Tidak ada komentar:

Desa Wisata versus Sate Danguang Danguang

DINGINNYA Lembah Harau, terusir oleh setongkol jagung bakar. Sebungkus sate, terhidang. Aromanya mengelitik perut. “Ini sate danguang dangua...