Total Tayangan Halaman

Senin, 05 Mei 2008

Kreativ di Tengah Kompetisi

(Fenomena Pedagang Pasar Kaget di Pekanbaru)

Oleh Mhd Nazir Fahmi

DI tengah maraknya pasar-pasar modern, kehadiran pasar tradisional tetap dibutuhkan. Namun di beberapa tempat di Kota Pekanbaru pasar tradisional mulai mati suri. Pasar-pasar tradisional mulai ditinggal oleh pedagang karena sepinya pembeli yang datang. Malah ada pasar tradisional yang dibuat oleh pemerintah kota seperti di Jalan Arifin Ahmad jadi mubazir karena sangat sedikit pedagang yang mau berjualan di lokasi tersebut. Ada yang berjualan di lokasi tersebut akhirnya gulung tikar karena tidak ada pembeli.
Menurut pedagang, salah satu penyebab sepinya beberapa pasar tradisional yang dibangun Pemko Pekanbaru karena munculnya pasar kaget di lingkungan-lingkungan perumahan. Di pasar kaget para pedagang menggelar jualan sembilan kebutuhan pokok dengan menjadwal hari berjualan di beberapa tempat yang dimulai pukul 15.30 hingga pukul 18.30 satu minggu sekali. Misalnya, hari Minggu pasar kaget ada di dekat perumahan di Jalan Purwodadi, Panam. Senin sore di Perumahan Graha Rajawali Permai dan Widya Graha Kelurahan Delima, Selasa hingga Sabtu di tempat lain.
Kehadiran pedagang pasar kaget ini benar-benar dimanfaatkan oleh warga perumahan. Sebagian besar ibu-ibu menunggu pasar kaget digelar setiap pekan dan mereka membeli berbagai kebutuhan yang terkadang untuk satu minggu. Kian hari jumlah pedagang makin banyak berada di pasar kaget. Mereka beralasan lebih menguntungkan jualan di pasar kaget dari pada di pasar yang sudah tersedia sebelumnya.
Fenomena pasar kaget di Kota Pekanbaru ini sangat berbeda dengan pasar-pasar kaget di beberapa daerah di Indonesia. Di Bandung misalnya, warga kota mengistilahkan pasar kaget karena pedagang berjualan secara temporer di suatu tempat memakai ruang terbuka kota. Pasar kaget ini muncul pada Minggu pagi dengan menjajakan berbagai kebutuhan warga kota.
Kehadiran pasar kaget secara positif adalah suatu fenomena bentuk kreatifitas warga dalam berdagang, namun dalam pandangan negatif barangkali adalah fenomena yang menggambarkan tingkat urbanisasi di Kota Pekanbaru yang memperlihatkan tingginya angka pencari kerja atau memerlukan lapangan kerja. Sesuatu yang menarik dari pasar kaget ini adalah kehadirannya yang menempati ruang-ruang tertentu di perumahan.
Memang, di satu perumahan pasar kaget akan hadir satu kali dalam seminggu. Namun, para pedagang tidak hanya tertumpu pada satu tempat. Besoknya di perumahan lain, lusa di lain tempat lagi hingga satu minggu. Para pedagang kembali menghidupkan hari pasar di lingkungan warga kota.
Kita mungkin mengenal Pasar Senen. Pasar Senen saat adalah suatu kawasan bisnis yang terletak di Jakarta Pusat. Pada awalnya pasar ini merupakan pasar tradisional yang dibanguan oleh Justinus Cornelis Vincke tahun 1730. Dinamakan Pasar Senen karena hanya dibuka pada setiap hari Senin saja. Kita tentunya juga mengenal Pasar Rebo (Rabu), Pasar Jumat atau yang paling terkenal adalah Pasar Minggu. Konon pasar-pasar tersebut digelar hanyapada hari-hari tertentu saja, sesuai dengan penamaan lokasi pasar-pasar tersebut di kemudian hari.
Di beberapa tempat, pelosok desa maupun kota di seluruh tanah air, mungkin masih banyak dijumpai jenis pasar tradisional yang digelar hanya pada hari-hari tertentu saja dalam sepekan. Lahan yang digunakan dapat berupa ruang terbuka yang bukan diperuntukkan sebagai pasar, maupun lahan yang telah diperuntukkan sebagai pasar. Sebagai contoh, pasar tradisional di Pauh (Jambi), Muara Badak (Kutai Kartanegara-Kalimantan Timur), atau pasar di Martapura (Kalimantan Selatan). Di beberapa daerah ini, pasar tradisional yang digelar hanya pada hari tertentu saja yaitu hari Jumat misalnya, tidak dengan sendirinya dinamakan Pasar Jumat. Masyarakat setempat lebih mengenalnya sebagai hari pasar atau di beberapa daerah di Sumatera Barat disebut sebagai hari pasa (hari pasar).
Ya, ini adalah suatu kreativitas dari pedagang. Ini terjadi karena makin tingginya kompetisi di tengah-tengah warga kota. Agar bisa menang dalam kompetisi, individu dituntut selalu berkreativitas. Menurut Hurlock (1978), kreativitas adalah suatu proses yang menghasilkan sesuatu yang baru, apakah suatu gagasan atau suatu objek dalam suatu bentuk atau susunan yang baru.
Proses kreativ muncul dalam tindakan suatu produk baru yang tumbuh dari keunikan individu di satu pihak, dan dari kejadian, orang-orang, dan keadaan hidupnya di lain pihak (Rogers, 1982). Penekanan adalah pada aspek baru dari produk kreativ yang dihasilkan serta aspek interaksi antara individu dan lingkungannya atau kebudayaannya.
Menurut Alvin (1983), kreativitas adalah suatu proses upaya manusia atau bangsa untuk membangun dirinya dalam berbagai aspek kehidupannya. Tujuan pembangunan diri itu ialah untuk menikmati kualitas kehidupan yang semakin baik. Kreativitas juga diartikan suatu proses yang tercermin dalam kelancaran, kelenturan (fleksibilitas) dan originalitas dalam berfikir (Utami Munandar, 1977).
Sementara kompetisi atau persaingan diartikan melakukan sesuatu dengan maksud hendak melebihi orang lain (S Wojowasito, 1999). Secara umum kompetisi diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah persaingan. Kompetisi merupakan bentuk interaksi sosial disosiatif yang sederhana. Proses ini adalah proses sosial yang mengandung perjuangan untuk memperebutkan tujuan-tujuan tertentu yang sifatnya terbatas, yang sama-sama bermanfaat untuk mempertahankan suatu kelestarian hidup.
Persaingan dapat terjadi dan berlangsung di berbagai bidang. Persaingan di bidang ekonomi adalah salah satu contoh yang dari hari ke hari kita saksikan. Persaingan ekonomi ini terjadi karena terbatasnya persediaan apabila dibandingkan dengan jumlah konsumen yang menghendaki barang yang ditawarkan dari persediaan itu. Di lain pihak, persaingan ekonomi juga terjadi karena terbatasnya jumlah konsumen yang berdaya beli apabila dibandingkan dengan jumlah barang yang dilemparkan ke pasar oleh para produsen.
Persaingan seperti inilah yang terjadi pada pedagang pasar tradisional di Kota Pekanbaru. Jumlah konsumen terbatas --bisa disebabkan tidak adanya infrastruktur pendukung atau mobilitas ke tempat berjualan-- akhirnya para pedagang berinisiatif lari dari lokasi itu dan membentuk komunitas baru di tengah-tengah konsumen. Kehadirannya begitu dinantikan warga kota. Pasar kaget sudahmulai membius masyarakat kelas bawah di perumahan. Apakah ini akan menimbulkan fenomena baru? Kita tunggu saja.***

Penulis adalah wartawan dan mahasiswa Pascasarjana Universitas Riau, kajian Unban Studies.

Tidak ada komentar:

Desa Wisata versus Sate Danguang Danguang

DINGINNYA Lembah Harau, terusir oleh setongkol jagung bakar. Sebungkus sate, terhidang. Aromanya mengelitik perut. “Ini sate danguang dangua...