Total Tayangan Halaman

Senin, 05 Mei 2008

Press Gathering ''Jungle to Millenia'' Telkomsel di Bali



Tidur di ''Pondok'', Arungi Jeram di Sungai Ayung

      Ada perasaan lain ketika roda pesawat Airbus A 330-300 milik Garuda Indonesia menyentuh landasan pacu Bandara Ngurah Rai Bali, Sabtu (15/12/2007) lalu. Di saat ratusan wartawan dari seluruh dunia meninggalkan Pulau Dewata ini usai meliput kegiatan United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), malah saya dengan puluhan wartawan media cetak asal Sumatera mendatangi pulau ini.
    Memang, kedatangan kami ke pulau yang sangat terkenal ke seantero dunia ini tidaklah untuk meliput kegiatan pertemuan para pemimpin dunia demi penyelamatan bumi itu. Kunjungan saya ke Bali yang kali kedua ini untuk mengikuti press gathering yang digelar oleh PT Telkomsel.
Bagi Telkomsel Area Sumatera, ini merupakan kali pertama mengajak puluhan wartawan dari sembilan provinsi di Pulau Sumatera. Biasanya, kegiatan serupa digelar di tempat-tempat menarik di Sumatera. Namun kali ini Telkomsel ingin membuatnya beda demi kepuasan mitra pers yang turut membesarkan operator selular sehingga menjadi market leader di Indonesia.
   ''Kita ingin beda dengan kegiatan press gathering sebelumnya dan Bali ini saya yang mengusulkan,'' kata Ahmad Yunus, Vice President Sumatera Area Telkomsel, saat memberikan sambutan di depan puluhan wartawan.
   Menurut Ahmad Yunus, dipilihnya Bali sebagai tempat gathering untuk para jurnalis yang selama ini menjadi mitra kerja Telkomsel, karena di samping faktor keindahan alam serta kekayaan budayanya juga dilandasi pemikiran, bahwa Bali yang di mata internasional adalah Indonesia, harus diselamatkan.
   Sebab, katanya, pasca ledakan Bom Bali posisi Indonesia begitu rapuh, begitu mudahnya negara-negara asing mengeluarkan travel warning, begitu entengnya pihak asing membuat image miring.
     ''Acara bertajuk Stick Together With Telkomsel Jungle to Millenia serasa serasi digelar di Bali, karena Bali masih mempunyai jungle. Sementara interaksi sosial dan peradaban sudah mengarah ke millenia,'' ungkap Ahmad Yunus.
   Dengan serangkaian agenda, katanya, para juru warta diajak menikmati suasana. Melihat hamparan sawah yang diyakini bisa membuang susah, menatap indahnya pantai bikin santai, panorama gunung menghapus hati yang murung, belanja barang-barang seni membawa kedamaian hati.

Atap Rumbia, Tak Ada TV

    Dari Bandara Ngurah Rai, saya dan rombongan bertolak ke Ubud. Hampir satu jam setengah, bus yang membawa rombongan baru sampai di penginapan di tengah malam yang sudah begitu larut. Ya...malam itu dan malam berikutnya kami diinapkan di Hotel Ananda Cottage.
Dari jalan, tidak ada kesan mewah akan adanya hotel. Plangnya memang ada, tapi pintu masuk ke hotel hanya ada bangunan kecil. Itupun pintu masuknya cukup untuk satu orang saja. Kesan ''angker'' benar-benar terasa. Apalagi patung-patung ''seram'' berdiri di setiap sudut ruangan.
    Setelah mendapatkan kunci, saya dan beberapa kawan wartawan menuju ke kamar masing-masing. Namun kami harus menunggu giliran untuk diantar. Soalnya, menjelang dinihari itu lokasi kamar benar-benar tidak diketahui karena letaknya saling berjauhan.
Karena masih begitu asing, kami diantar lebih memilih bergerombolan. Melewati sawah-sawah, satu persatu kami ditunjukkan kamar sesuai kunci yang sudah dipegang. Bulu kuduk kian merinding tatkala ada patung seram berdiri di depan kamar yang akan ditempati. ''Saya gabung sajalah, biar kita bertiga sekamar,'' kata seorang wartawan yang kebetulan dapat kamar sendirian.
    Ananda Cottage benar-benar alami. Dan kesan ini pulalah yang banyak dijual di Bali. Gaya pintu kamar tak terlepas dari kesan Hindu. Banyak ukiran-ukiran, ukurannya kecil sebagaimana pintu pura yang bertebaran di daerah ini. Atapnya terbuat dari daun rumbia.
   Yah, kesan alami dan ingin bebas dari pengaruh luar kembali terasa, saat saya melihat seisi ruangan. Semuannya serba kayu. Tak ada televisi sebagaimana hotel-hotel biasanya. Syukurnya, masih ada air conditioner (AC) plus kipas angin. Kami pun tertidur pulas dan tak tahulah apa yang terjadi saat kami tidur.
  Minggu (16/12) pagi, setelah sarapan dari rundown acara yang dibagikan panitia ada satu kegiatan bernama rafting. Tempatnya di Sungai Ayung masih di Ubud. Ya, rafting atau kalau di Indonesiakan menjadi arung jeram menjadi kegiatan penting pada hari itu.
   Bagi saya dan mungkin kawan-kawan wartawan lainnya, ini kali pertama ikut arung jeram. Biasanya, hanya melihat di televisi. ''Waw, ini baru tantangan,'' celetuk beberapa wartawan saat baju pelampung, helm dan dayung sudah di tangan masing-masing.
Untuk ikut arung jeram, masing-masing perahu diisi lima orang plus satu orang pemandu yang sudah mahir menggunakan perahu karet. Setelah mendengarkan pengarahan soal arung jeram, satu persatu wartawan dibawa ke Sungai Ayung.
   Perjalanan ke Sungai Ayung tak kalah menantang. 400 tangga harus dilewati dengan medan curam. Benar-benar menggigil kaki ini dibuatnya. Menggigil bukan karena takut dengan ketinggian, tapi karena kaki tak kuat lagi menopang badan untuk menuruni tangga.
Keletihan hilang tatkala anak tangga terakhir dijejaki. Puluhan perahu karet sudah menunggu di tepi Sungai Ayung. Dengan komando pemandu, masing-masing grup menaiki perahu karet yang siap meluncur di derasnya Sungai Ayung penuh batu-batu besar dan menantang.
   Rasa ngeri saat menonton arung jeram di televisi perlahan sirna. Kini yang tinggal rasa asyik dan penuh tantangan. Untungnya, pagi itu, air Sungai Ayung tidak terlalu besar. Bagi pemula seperti kami, tidaklah terlalu susah mengawaki perahu karet dengan kondisi air seperti itu.
Dari lokasi start untuk mencapai finish diperlukan waktu tempuh dua jam. Kiri kanan Sungai Ayung masih terlihat alami. Menurut Wayan, seorang pemandu, setiap hari Sungai Ayung dipadati orang-orang yang ingin rafting. ''Ini saja tadi orang dari Jepang mau makai, tapi sudah habis diborong Telkomsel, ya mereka pindah ke pengelola rafting lainnya yang banyak bertebaran di Ubud,'' katanya sambil mendayung perahu.
   Di tengah perjalanan, di tepi sungai puluhan ibu-ibu dan gadis-gadis penjaja makanan berdiri sambil menawarkan minuman dan kue-kue kecil. Terserah Anda mau beli atau tidak. Kalau mau beli, mereka akan antarkan ke perahu.
   Setelah dua jam perjalanan, akhirnya lokasi finish sudah terlihat. Puluhan perahu karet merapat ke tepi. Semua perlengkapan rafting dilepas dan semua peserta membersihkan diri di tempat yang telah disediakan pengelola rafting.
   Saya sempat kepikiran, perahu dan perlengkapannya bagaimana cara membawanya ke hulu kembali. Mata saya tertuju pada sekelompok ibu-ibu yang berdiri tidak jauh dari tepi sungai. Satu persatu mereka mengemasi perlengkapan rafting. Lalu ada yang mengempesi perahu karet, digulung, diikat lalu diletakkan di atas kepala.
    Ooooo, jadi mereka yang akan mengemasi itu semua. Ternyata itulah pekerjaan ibu-ibu di sana. Mereka mendapatkan gaji bulanan dari pengelola rafting. ''Kalau lagi ramai, mereka bisa terima Rp2 atau Rp3 juta perbulan dari upah angkat,'' kata Made, seorang karyawan pengelola rafting.
    Uang sebanyak itu jangan buat Anda berkata wah dulu. Rute untuk sampai ke jalan besar, saya harus melewati 400 lebih tangga lagi. Kali ini tentu mendaki. Medannya...ya...tak jauh beda dengan di hulu. Memang tidak membuat kaki menggigil, tapi lutut dan betis yang ditanyanya.
Nah...jalur inilah yang ditempuh ibu-ibu tersebut. Saya yang hanya membawa badan saja sudah besar-besar nafas hingga mencapai puncak, apatah lagi kalau bawa beban. Namun, bagi ibu-ibu itu karena mungkin sudah biasa dan tuntutan hidup, semuanya dijalani tanpa rasa lelah.
   Dari lokasi rafting, perjalanan dilanjutkan ke Pasar Kintamani dan Sukowati. Inilah saatnya menghabiskan isi kantong. Di pasar ini pernak-pernik Bali tersedia sekadar oleh-oleh buat karib kerabat. Semuanya terserah Anda, namun harus pandai-pandai menawar.
   Minggu malam, seluruh insan pers dibawa ke Royal Pitamaha untuk gelaran Awarding Night Telkomsel Jungle to Millenia. Tempatnya masih di Ubud. Royal Pitamaha ini letaknya di tengah-tengah hutan yang sengaja diciptakan. Jalan dari pintu gerbang menuju Royal Pitamaha serasa dalam hutan lebat.
   Ya...itulah Ubud yang selalu mempertahankan ciri kedesaannya. Alam Ubud yang mempesona didukung dengan seniman-seniman trampil dan masyarakat ramah bersahaja menjadikan daerah ini mampu menyedot wisatawan.
   Ubud Art Market bagai surga bagi pecinta barang-barang seni. Sebab di pasar ini harga yang dipatok tak mahal, padahal kualitas dan cita seninya begitu tinggi. Di Ubud ini ada namanya Tohpati yang merupakan satu desa yang tersohor dengan kerajinan batiknya.
Lalu ada Celuk, desa dengan kerajinan peraknya. Lantas ada Batuan. Di sini terkenal dengan seni lukisnya. Di desa ini kita bisa lihat arsitektur rumah Bali serta aktivitas keseharian masyarakat Bali, mulai dari beternak hingga bikin sesajen.
   Untuk patung-patung kayu, ada Desa Kemenuh. Saking kondangnya desa ini ada satu versi yang menyatakan Bebeto sang pematung Pinokio pernah belajar di desa ini. Meskipun patung yang dibuat berbahan kayu, tapi para seniman Kemenuh tak setuju dengan illegal logging.
   Senin (17/12) pagi, saya dan beberapa wartawan harus diantar langsung ke bandara. Persoalannya, kami harus diterbangkan ke Jakarta pagi itu karena tidak dapat tiket siang. Rombongan kami terbang ke Jakarta dengan pesawat Boeing 737-900 ER milik Lion Air. Untung juga, akhirnya bisa mencoba pesawat baru dan Lionlah salah satu maskapai pertama yang mengoperasikan pesawat ini di dunia.
    Yang kebagian berangkat siang dibawa ke Pantai Kuta. Kata orang sih, belum afdhol kalau ke Bali sebelum mengunjungi Pantai Kuta. Tapi itulah, semuanya tergantung takdir Allah. Dua kali saya ke Bali, kedua-duanya tidak sempat ke Pantai Kuta. Syukur.....(mhd nazir fahmi)

Tidak ada komentar:

Desa Wisata versus Sate Danguang Danguang

DINGINNYA Lembah Harau, terusir oleh setongkol jagung bakar. Sebungkus sate, terhidang. Aromanya mengelitik perut. “Ini sate danguang dangua...