Total Tayangan Halaman

Selasa, 20 Mei 2008

Belanja Murah di Wat Arun, Sesat di Pratunam

Thailand; Negara yang Serius Garap Pariwisata (2)

Empat hari berada di Thailand, sangatlah terasa singkat. Masih banyak tempat-tempat wisata di negara ini yang belum terkunjungi. Tapi walaupun empat hari, bagi saya, tour wartawan Riau Pos Grup ke negeri gajah ini sangatlah membuka cakrawala berpikir soal pembangunan dunia pariwisata serta menariknya trik yang dibuat pemerintah Thailand untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.

Catatan Mhd Nazir Fahmi

    SUNGAI besar yang membelah Kota Bangkok benar-benar dimanfaatkan sepenuhnya untuk menangguk bath sebanyak-banyaknya dari para turis. Dengan menggunakan Chao Phraya atau bus sungai, para turis dibawa menelusuri tempat-tempat wisata budaya seperti bangunan bersejarah yang rata-rata berada di tepi sungai kota tersebut.
   Tidak hanya bangunan, ikan patin pun menjadi daya tarik tersendiri buat wisatawan di sungai yang membelah Kota Bangkok. Di depan sebuah kuil Budha, ribuan ekor ikan yang cukup terkenal di Riau ini menampakkan dirinya. Hanya saja, untuk melihat ikan-ikan tersebut, pengunjung harus membeli roti seharga 20 bath satu bungkus.
   Apalagi dengan adanya kepercayaan kalau pengunjung berhasil melihat ikan patin warna putih akan mendapatkan keberuntungan, maka para wisatawan ramai-ramai memberi ikan tersebut makanan dengan cara membeli kepada pedagang yang ada di atas Chao Phraya.
Bangunan bersejarah di Kota Bangkok merupakan daya tarik tersendiri buat turis. Oleh karena itulah, paket wisata untuk city tour selalu diarahkan ke bangunan-bangunan istana raja yang megah berhias ornamen-ornamen emas dan kuil-kuil Budha yang didirikan 220 tahun silam.
    Di Wat Arun misalnya, berdiri sebuah kuil yang orang Thailand menyebutnya sebagai Borobudurnya Thailand. Daya tariknya tidak hanya pada ornamen-ornamen bangunan, tapi pada murahnya berbelanja souvenir-souvenir di lokasi wisata ini.
   Tak heran, ketika saya dan rombongan datang ke lokasi ini tanpa tentengan, setelah kembali dari tempat tersebut masih-masing wartawan sudah punya tentengan di kiri dan kanannya. Rata-ratanya, para pengunjung membeli baju t-shirt berlogo Thailand, gantungan kunci, tas dan beberapa souvenir lainnya. Di sini belanja termasuk murah, apalagi bisa tawar menawar harga kepada para penjual yang juga bisa bahasa Indonesia.
    Satu setengah jam perjalanan dari Bangkok arah ke Pattaya, bus yang membawa saya dan rombongan berhenti di Tiger Zoo. Satu lagi kepiawaian orang Thailand untuk menarik minat wisata dengan membuat keganjilan-keganjilan.
   Di taman ini, saya menyaksikan anak harimau yang menyusu pada induk babi dan anak babi menyusu ke induk harimau. Dan ada pula harimau dan anjing yang hidup dalam satu kandang tanpa ada masalah.
    Di sini pun dapat disaksikan peternakan buaya dan sejumlah atraksi. Keahlian pawang buaya yang usianya masih remaja mengundang decak kagum penonton. Seorang perempuan cantik membuka mulut buaya-buaya itu. Lantas perempuan tersebut memasukkan kepalanya. Bisa dibayangkan, jika mulut buaya terkatup, remuklah kepalapawang itu.
   Mereka yang piknik menggunakan paket wisata, biasanya juga diajak menyaksikan pertunjukan gajah di Taman Nong Nooch. Sebelum menyaksikan pertunjukan gajah-gajah yang begitu terlatih, saya dan rombongan harus menyaksikan Thai Cultural Show.
Dalam sebuah arena indoor yang disaksikan sekitar 2.000 penoton, gadis-gadis Thailand tampil dengan tari-tari dan pakaian tradisional negara itu. Tak ketinggalan, gajah pun ikut menari dalam show tersebut. Tentu saja, Thai Boxing sudah pasti dipertunjukkan dalam pagelaran itu.
Thai Cultural Show berlangsung setengah jam. Berikutnya penonton berpindah ke arena terbuka untuk menyaksikan kepiawaian gajah-gajah Thailand. Di arena ini penonton dibuat kagum oleh gajah-gajah Thailand yang cerdas. Selain pandai menari dan mahir melukis di kanvas, gajah-gajah Thailand bisa membedakan mana makanan dan mana duit.
    Gajah-gajah itu tentu tidak mata duitan. Ketika penonton menyodorkan seikat pisang, langsung dimasukkan ke mulutnya. Namun ketika yang disodorkan lembaran bath, uang itu langsung diserahkan kepada pelatihnya.
   Dalam Elephant Show, pengelola Taman Nong Nooch mendapatkan untung berlipat-lipat. Masuk ke taman, kita harus bayar, lalu menyaksikan Thai Cultural Show dan Elephant Show, kita harus merogoh bath lagi. Di saat pertunjukan gajah, pisang-pisang untuk makanan gajah dijual kepada pengunjung seharga 20 bath satu sisir.
   Sepertinya, gajah-gajah juga sudah dilatih untuk meraup bath sebanyak-banyaknya dari pengunjung. Buktinya, di saat satu pertunjukan selesai, maka sang gajah datang ke tempat duduk penonton untuk minta pisang dan itu tidak cukup satu sisir. Maka untuk pertunjukan berikutnya, penonton pun harus membeli pisang kembali agar bisa memegang gajah.
Usai pertunjukkan, gajah-gajah pun ''minta bayaran'' 40 bath kalau ingin berfose dengannya. Dan baju yang sudah dilukis sang gajah juga dijajakan kepada pengunjung yang ingin membelinya.
    Tempat wisata ''tambahan'' yang diarahkan oleh guide yaitu Gems Gallery, pusat penjualan perhiasan dengan batu permata asli dan pabrik obat yang ramuannya berasal dari ular kobra.
Di Gems Gallery, rombongan turis disuguhi acara presentasi tentang asal-muasal produknya. Penataan yang begitu apik dan manarik, membuat saya dan kawan-kawan wartawan terkagum-kagum dengan upaya pemerintah Thailand untuk memajukan industri mereka.
   Dua sisi yang digabungkan di Gems Gallery, ternyata membangkitkan minat pengunjung untuk mengetahui secara detail tentang permata. Tahap awal, pengunjung dibawa dengan kereta listrik untuk mengetahui asal muasal batu permata dan cara penambangan dari cara tradisionil sampai modern.
   Tahap berikutnya, saya dan rombongan dibawa ke tempat pengasahan batu permata. Satu orang dari rombongan wartawan, didampingi oleh satu orang pelayan Gems Gallery. Para pelayan yang sebagian besar gadis-gadis Thailand dan bisa berbahasa Indonesia itu memberi penjelasan soal batu-batu permata.
   Tahap terakhir, saya dan rombongan dibawa masuk melihat batu permata yang sudah menjadi perhiasan. Di sinilah transaksi dimulai. Para pelayan-pelayan Gems Gallery dengan gigih dan pantangmenyerah merayu saya dan beberapa kawan untuk membeli perhiasan-perhiasan tersebut.
   Kegigihan dan teknik menjual mereka yang memikat, akhirnya membuat saya dan kawan-kawan wartawan luluh juga. Walaupun bath sudah menipis di kantong, saya dan kawan-kawan rata-rata membeli perhiasan di Gems Gallery.
Ahad (5/9), dengan berat hati kami harus meninggalkan Kota Bangkok. Tapi menjelang keberangkatan ke bandara Donmueang, dua orang wartawan tersesat di Pasar Pratunam. Menariknya, sudahlah tersesat mereka enggan menelepon kawan-kawan di hotel. Ditelepon pun tidak mau mengangkat. Alasannya, takut kena roaming internasional.
   Lebih tragisnya, dua orang wartawan ini pun kehabisan bath dan tidak bisa membayar ongkos taksi. Kalau tidak cepat ditelepon dan dijanjikan bayar ongkos taksi di hotel, maka hampir saja dua orang kawan ini menginap di Kedubes Indonesia. Tapi syukurlah mereka selamat sampai ke hotel kembali. Dan dengan Singapore Airlines, Thailand kami tinggalkan dengan penuh cerita.(*)

Tidak ada komentar:

Desa Wisata versus Sate Danguang Danguang

DINGINNYA Lembah Harau, terusir oleh setongkol jagung bakar. Sebungkus sate, terhidang. Aromanya mengelitik perut. “Ini sate danguang dangua...