Hayyan ul Haq, Doktor Hukum Belanda dan Penulis di Puluhan Jurnal Ilmiah Dunia (1)
Cukup menarik berbincang soal hukum dengan LM Hayyan ul Haq SH LLM PhD. Doktor di bidang hukum yang mengajar di Universiteit Utrecht Belanda ini menjadi literature hidup dan sangat brilian ini, memahami implementasi hukum di Indonesia.
Catatan Mhd Nazir Fahmi, Den Haag
PERTEMUAN yang tidak disengaja dengan Hayyan di Den Haag Belanda. Saya dikenalkan dengan Hayyan oleh Ketua Asosiasi Tour dan Travel Riau Ibnu Mas’ud sehabis mengikuti pameran pariwisata dunia di ITB Berlin, Jerman. Di rumahnya yang sekaligus kantor, saya berbincang banyak soal persoalan hukum di Indonesia.
Hayyan, selain sebagai dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Mataram, juga mengajar, menyampaikan pelatihan dan stadium general di 11 perguruan tinggi terkenal di
Indonesia tentang epistemology dan metode dalam hukum, penulisan hukum dan publikasi. Ia juga menjadi penulis tetap di puluhan jurnal ilmiah dari berbagai penjuru dunia.
Menurut pria kelahiran Mataram, Lombok 20 November 1967 lalu itu, ada persoalan yang sangat mencekam dalam perjalanan pengembanan kualitas hukum Indonesia. Hal ini terlihat dari kompleksitas dan benturan berbagai aturan hukum di Indonesia. Hayyan merujuk pada laporan Asosiasi Parlemen Indonesia pada 2008 yang mencatat tidak kurang dari 1.016 peraturan daerah bertentangan satu sama lainnya. Lalu tiga tahun kemudian, pada 2011, Menkumham Patrialis Akbar saat itu menyatakan bahwa lebih dari 5.000 Perda berbenturan dan telah dibatalkan.
Dalam pandangan Hayyan, peraturan, norma itu adalah produk dari kesadaran kolektif. Secara akal sehat (common sense), norma-norma yang berbenturan itu merefleksikan kekacauan (chaos) dalam sistem kesadaran kolektif kita. Kenyataan ini amat mencekam karena akan menjadi prekondisi normatif bagi anarkisme yang dapat bermuara pada terhentinya sistem sosial.
‘’Benturan-benturan ini terjadi akibat cara pandang para pengemban hukum kita yang diametrik dalam pengembanan hukum. Secara teoritik, seharusnya pengembanan hukum diapresiasi sebagai suatu rangkaian aktivitas intelektual yang terintegrasi mulai dari penggalian norma-norma, pengkonstruksian, pembadanannya, pelaksanaannya, pendistribusian pengajarannya hingga mempertahankannya di pengadilan. Ia merupakan satu rangkaian aktifitas intelektual hukum yang utuh dan tidak terpisahkan,’’ kata suami Rini Oktalina, perempuan asal Sulit Air, Sumatera Barat ini.
Oleh karena itu, kata Hayyan, seharusnya seluruh aktor pengemban hukum yang terlibat dalam aktifitas pengembanan hukum itu, mulai dari pembuat UU, legislation maker, DPR, lalu yang menjalankannya, eksekutif, kemudian yang menegakkannya, yudikatif, dosen-dosen yang mengajarkannya, sampai para lawyer harusnya memiliki standar cara berpikir hukum yang diabdikan pada tujuan hukum.
Perbedaan pandangan yang sangat ekstrim, jelasnya, bahkan diametrik di antara para pengemban hukum kita ini disebabkan karena penginterpretasian dan pengapresiasian pengembanan hukum atas teks-teks atau aturan (norma) tidak didasarkan atas cara berpikir hukum yang standar, baik dalam tataran pengembanan hukum teoritik maupun praktis. Tapi lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan baik kelompok, golongan, individu, corporate dan lain sebagainya.
Bukan pada standar berpikir hukum yang mengabdi keadilan yang memperkuat keutuhan yang dapat menjamin sustainabilitas kehidupan bersama. Aturan yang saling berbenturan jelas akan menghalangi kepentingan masyarakat untuk berkembang. Bagaimana mungkin norma-norma yang berbenturan ini dapat menyelesaikan masalah kolektif, kalau dia sendiri menjadi sumber masalah itu.
‘’Bagaimana mungkin putusan dan pandangan atas satu perkara atau kasus yang sama mengandung perbedaan yang sangat ekstrim, diametrik bahkan saling menegaskan? Itu berarti ada salah satu di antara kedua cara pandang itu yang mengandung kesalahan. Secara logis, tidak mungkin kedua-duanya benar dalam membuat putusan terhadap kasus yang sama. ‘’Saya tidak mempersoalkan apalagi menabukan perbedaan pandangan atas suatu pendapat atau masalah hukum. Tapi yang saya soroti adalah cara pandang dan cara berpikir hukum para pengemban hukum kita ini tidak boleh berbeda. Karena metode berpikir hukum dalam memformulasikan kebenaran itu eksak dan rigid. Jadi, apapun input-nya, jika diolah dengan cara berpikir hukum yang standar tidak akan melahirkan putusan-putusan yang kontroversial,’’ jelas penulis artikel di berbagai media nasional ini.
Di Eropa, Amerika, Australia, dan negara-negara lain yang memiliki tradisi panjang dalam membangun kualitas pengembanan hukumnya, katanya, sebagai perbandingan, sebagian besar kualitas advis yang diberikan oleh lawyer-nya memiliki kesimetrikan atau hampir sama dengan apa yang akan diputuskan oleh hakim. Ini mudah dimengerti karena komunitas pengemban hukum mereka memiliki cara pandang yang sama atau standar dalam pengembanan hukumnya.
Hal ini, lanjutnya, dapat diawali dengan bagaimana membangun dan memahami konsep norma, norma yang valid, apa elemen-elemen norma yang valid dan seterusnya. Bagaimana cara mengapresiasi norma yang memiliki validitas dan kepantasan dalam menata sistem sosial.(bersambung)
Cukup menarik berbincang soal hukum dengan LM Hayyan ul Haq SH LLM PhD. Doktor di bidang hukum yang mengajar di Universiteit Utrecht Belanda ini menjadi literature hidup dan sangat brilian ini, memahami implementasi hukum di Indonesia.
Catatan Mhd Nazir Fahmi, Den Haag
PERTEMUAN yang tidak disengaja dengan Hayyan di Den Haag Belanda. Saya dikenalkan dengan Hayyan oleh Ketua Asosiasi Tour dan Travel Riau Ibnu Mas’ud sehabis mengikuti pameran pariwisata dunia di ITB Berlin, Jerman. Di rumahnya yang sekaligus kantor, saya berbincang banyak soal persoalan hukum di Indonesia.
Hayyan, selain sebagai dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Mataram, juga mengajar, menyampaikan pelatihan dan stadium general di 11 perguruan tinggi terkenal di
Indonesia tentang epistemology dan metode dalam hukum, penulisan hukum dan publikasi. Ia juga menjadi penulis tetap di puluhan jurnal ilmiah dari berbagai penjuru dunia.
Menurut pria kelahiran Mataram, Lombok 20 November 1967 lalu itu, ada persoalan yang sangat mencekam dalam perjalanan pengembanan kualitas hukum Indonesia. Hal ini terlihat dari kompleksitas dan benturan berbagai aturan hukum di Indonesia. Hayyan merujuk pada laporan Asosiasi Parlemen Indonesia pada 2008 yang mencatat tidak kurang dari 1.016 peraturan daerah bertentangan satu sama lainnya. Lalu tiga tahun kemudian, pada 2011, Menkumham Patrialis Akbar saat itu menyatakan bahwa lebih dari 5.000 Perda berbenturan dan telah dibatalkan.
Dalam pandangan Hayyan, peraturan, norma itu adalah produk dari kesadaran kolektif. Secara akal sehat (common sense), norma-norma yang berbenturan itu merefleksikan kekacauan (chaos) dalam sistem kesadaran kolektif kita. Kenyataan ini amat mencekam karena akan menjadi prekondisi normatif bagi anarkisme yang dapat bermuara pada terhentinya sistem sosial.
‘’Benturan-benturan ini terjadi akibat cara pandang para pengemban hukum kita yang diametrik dalam pengembanan hukum. Secara teoritik, seharusnya pengembanan hukum diapresiasi sebagai suatu rangkaian aktivitas intelektual yang terintegrasi mulai dari penggalian norma-norma, pengkonstruksian, pembadanannya, pelaksanaannya, pendistribusian pengajarannya hingga mempertahankannya di pengadilan. Ia merupakan satu rangkaian aktifitas intelektual hukum yang utuh dan tidak terpisahkan,’’ kata suami Rini Oktalina, perempuan asal Sulit Air, Sumatera Barat ini.
Oleh karena itu, kata Hayyan, seharusnya seluruh aktor pengemban hukum yang terlibat dalam aktifitas pengembanan hukum itu, mulai dari pembuat UU, legislation maker, DPR, lalu yang menjalankannya, eksekutif, kemudian yang menegakkannya, yudikatif, dosen-dosen yang mengajarkannya, sampai para lawyer harusnya memiliki standar cara berpikir hukum yang diabdikan pada tujuan hukum.
Perbedaan pandangan yang sangat ekstrim, jelasnya, bahkan diametrik di antara para pengemban hukum kita ini disebabkan karena penginterpretasian dan pengapresiasian pengembanan hukum atas teks-teks atau aturan (norma) tidak didasarkan atas cara berpikir hukum yang standar, baik dalam tataran pengembanan hukum teoritik maupun praktis. Tapi lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan baik kelompok, golongan, individu, corporate dan lain sebagainya.
Bukan pada standar berpikir hukum yang mengabdi keadilan yang memperkuat keutuhan yang dapat menjamin sustainabilitas kehidupan bersama. Aturan yang saling berbenturan jelas akan menghalangi kepentingan masyarakat untuk berkembang. Bagaimana mungkin norma-norma yang berbenturan ini dapat menyelesaikan masalah kolektif, kalau dia sendiri menjadi sumber masalah itu.
‘’Bagaimana mungkin putusan dan pandangan atas satu perkara atau kasus yang sama mengandung perbedaan yang sangat ekstrim, diametrik bahkan saling menegaskan? Itu berarti ada salah satu di antara kedua cara pandang itu yang mengandung kesalahan. Secara logis, tidak mungkin kedua-duanya benar dalam membuat putusan terhadap kasus yang sama. ‘’Saya tidak mempersoalkan apalagi menabukan perbedaan pandangan atas suatu pendapat atau masalah hukum. Tapi yang saya soroti adalah cara pandang dan cara berpikir hukum para pengemban hukum kita ini tidak boleh berbeda. Karena metode berpikir hukum dalam memformulasikan kebenaran itu eksak dan rigid. Jadi, apapun input-nya, jika diolah dengan cara berpikir hukum yang standar tidak akan melahirkan putusan-putusan yang kontroversial,’’ jelas penulis artikel di berbagai media nasional ini.
Di Eropa, Amerika, Australia, dan negara-negara lain yang memiliki tradisi panjang dalam membangun kualitas pengembanan hukumnya, katanya, sebagai perbandingan, sebagian besar kualitas advis yang diberikan oleh lawyer-nya memiliki kesimetrikan atau hampir sama dengan apa yang akan diputuskan oleh hakim. Ini mudah dimengerti karena komunitas pengemban hukum mereka memiliki cara pandang yang sama atau standar dalam pengembanan hukumnya.
Hal ini, lanjutnya, dapat diawali dengan bagaimana membangun dan memahami konsep norma, norma yang valid, apa elemen-elemen norma yang valid dan seterusnya. Bagaimana cara mengapresiasi norma yang memiliki validitas dan kepantasan dalam menata sistem sosial.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar