Melihat Perkembangan Muslim Indonesia di Eropa
alam Minggu yang dingin. Super dingin. Minus 1 derajat celcius. Di bawah titik beku. Dari pagi hujan turun. Jalan-jalan di Kota Rotterdam, Belanda sepi.
Catatan Mhd Nazir Fahmi, Rotterdam
RASA ingin menambah wawasan ke-Islaman mengalahkan dinginnya malam. Bersama Ketua Asosiasi Tour dan Travel (Asita) Riau, Drs H Ibnu Mas’ud, Dosen Universitas
Utrecht Dr Hayyan ul Haq, SH LLM dan Dr Sofjan Sauri Siregar, Ketua Islamitisch Cultureel Centrum Nederland (ICCN) atau Ketua Muslim Belanda, saya bergerak ke Nasuha Center Rotterdam. Dari Den Haag ke Rotterdam menghabiskan waktu dengan mobil hampir setengah jam.
Nasuha Center Rotterdam masih terlihat sepi. Hanya ada dua mahasiswa Indonesia yang sedang menyelesaikan S2. Belum terlihat kehadiran warga Muslim asal Indonesia di tempat tersebut. Oh ya, Nasuha Center Rotterdam ini cukup komplit. Letaknya sangat strategis di jantung Kota Rotterdam. Tak jauh dari Rotterdam Central. Di depannya, jalan besar. Jalan utama di Rotterdam.
Nasuha Center tempat berkumpulnya muslim asal Indonesia. Bangunannya dua pintu. Seperti rumah toko (Ruko) begitulah. Arsitekturnya Eropa banget. He... he... ya iyalah... Satu pintu untuk tempat tinggal, seperti asrama. Satu pintu lagi lantai duanya dijadikan masjid. Ya, Masjid Nasuha namanya. Di lantai bawahnyalah sering digelar pengajian. Tempat ini sudah dibeli dari hasil patungan muslim Indonesia.
Pengajian di Nasuha, kata Sofjan S Siregar, digelar setiap Sabtu malam atau malam Minggu. Muslim Indonesia dari kota terdekat dari Rotterdam, datang bersama keluarganya. Ibu-ibunya membawa makanan. Masakan Indonesia tentunya. Habis pengajian, makan bersama. Tidak hanya di Rotterdam, di Amsterdam dan beberapa kota lainnya juga aktif menggelar pengajian.
Malam itu, Sofjan memberikan materi tentang hadist. Ada tanya jawab. Bahasa pengantarnya Indonesia, Belanda dan Inggris. Tak kurang dari 50 orang yang hadir. 15 persen yang hadir berkebangsaan Belanda. Rata-rata laki-laki. Ternyata mereka adalah suami dari muslimah Indonesia. Mereka mualaf.
Pengajian dijadikan sebagai ajang kumpul bareng. Ajang kumpul kangen. Tentu saja cerita tentang Indonesia. Kampung halaman. Sebagian besar muslim ini sudah penduduk asli Belanda. Mereka bekerja di bidang transportasi, perminyakan, pelabuhan dan tenaga perhotelan. Yusuf Kadir misalnya. Ia sudah belasan tahun di Belanda. Ternyata Yusuf besarnya di Pekanbaru. Sekolah Dasarnya di Jalan Balam. Dia menikah dengan gadis Minang yang juga pernah tinggal di Jalan Sam Ratulangi Pekanbaru. Istrinya bekerja di hotel.
Yusuf selalu hadir di pengajian. ‘’Inikan menambah pengetahuan agama kita. Kita bisa kumpul bareng, cerita-cerita soal pekerjaan. Silaturahmi dengan sesama asal Indonesia. Pokoknya saya dan keluarga selalu hadir setiap malam Ahad,’’ jelas Yusuf yang mengaku punya abang kandung di Pekanbaru.
Sofjan yang juga seorang dosen agama di sebuah perguruan tinggi di Rotterdam menjawab dengan cekatan setiap pertanyaan jamaah. Pukul 21.00 malam itu, pengajian ditutup oleh Sofjan. Makan bersama pun digelar. Nasi putih tak pernah bisa ditinggal. Ada sup daging. Ikan goreng balado. Tak lupa telur dadar. Lahap makannya. Apalagi udara yang dingin, benar-benar membangkitkan selera makan.
Menurut Sofjan, Masjid Nasuha setiap Jumat selalu ramai. Tidak hanya muslim Indonesia, dari bangsa lain pun salat Jumat di sini. Penampilan luarnya tidak seperti masjid biasanya. Tidak ada kubahnya. Tidak ada lambang bulan bintang. Tidak akan jumpa juga pengeras suara. Kalau pun ada, harus ada izin dari Pemerintah Belanda.
Ya, begitulah masjid di Belanda. Masjid-masjid milik Muslim Turki maupun Maroko seperti itu juga. Di luarnya biasa saja. Seperti ruko biasa. Di dalamnya baru ada ornamen Islam ciri khas masjid Timur Tengah.
Menurut Sofjan, perkembangan Islam di Eropa ini seperti berlebihan dan berkekurangan. Di Eropa ini diperlukan orang-orang yang bukan seperti Abid atau ahli ibadah saja. Tapi harus ahli ibadah yang berilmu. ‘’Alhamdulillah para muslim aktif dalam berbagai kegiatan. Tidak ada problem berjilbab bagi muslimah. Lihatlah, di jalan-jalan akan kita jumpai perempuan-perempuan dengan jilbab. Tidak hanya di Belanda, di Jerman juga ramai. Di Prancis juga banyak,’’ katanya.
Dijelaskan Sofjan, di Eropa ini yang terbanyak muslimnya ada di Prancis. Di sana da 5 juta kaum Muslimin. Lalu di Jerman ada 3 juta orang. Di Belanda sendiri ada 1 juta lebih.
‘’Di Belanda, agama belum diakui. Tapi diberi kebebasan bagi pemeluknya untuk beribadah. 52 persen di kota besar, penduduknya muslim. Mereka pendatang, seperti halnya dari Indonesia dan negara muslim lainnya. Banyak juga masjid. Banyak sekolah muslim yang dibiayai full oleh Belanda,’’ jelasnya.
Sofjan yang dipercayai Pemerintah Arab Saudi, juga menerjemaahkan Alquran ke bahasa Belanda. Prosesnya cukup lama, tapi Alquran itu berhasil dirampungkan penerjemahannya. ‘’Kita bahas ayat per ayat. Saya adakan konferensi. Saya undang orang Belanda yang paham Islam. Inilah Alquran terjemahannya,’’ kata Sofjan sambil memperlihatkan Alquran yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda.
Terkait makanan, Belanda juga melaksanakan sertifikasi halal. Menurut DR Hayyan ul Haq, ahli Epistemology dan Methode dalam Hukum di Universitas Utrecht, dirinya juga diminta pemerintah Belanda untuk menyertifikasi halal beberapa produk makanan yang dijual untuk umum. ‘’Sudah banyak makanan yang dijual berlabel halal. Semua ini sebentuk penghargaan terhadap kehidupan Muslim di Eropa ini,’’ kata Hayyan.***
alam Minggu yang dingin. Super dingin. Minus 1 derajat celcius. Di bawah titik beku. Dari pagi hujan turun. Jalan-jalan di Kota Rotterdam, Belanda sepi.
Catatan Mhd Nazir Fahmi, Rotterdam
RASA ingin menambah wawasan ke-Islaman mengalahkan dinginnya malam. Bersama Ketua Asosiasi Tour dan Travel (Asita) Riau, Drs H Ibnu Mas’ud, Dosen Universitas
Utrecht Dr Hayyan ul Haq, SH LLM dan Dr Sofjan Sauri Siregar, Ketua Islamitisch Cultureel Centrum Nederland (ICCN) atau Ketua Muslim Belanda, saya bergerak ke Nasuha Center Rotterdam. Dari Den Haag ke Rotterdam menghabiskan waktu dengan mobil hampir setengah jam.
Nasuha Center Rotterdam masih terlihat sepi. Hanya ada dua mahasiswa Indonesia yang sedang menyelesaikan S2. Belum terlihat kehadiran warga Muslim asal Indonesia di tempat tersebut. Oh ya, Nasuha Center Rotterdam ini cukup komplit. Letaknya sangat strategis di jantung Kota Rotterdam. Tak jauh dari Rotterdam Central. Di depannya, jalan besar. Jalan utama di Rotterdam.
Nasuha Center tempat berkumpulnya muslim asal Indonesia. Bangunannya dua pintu. Seperti rumah toko (Ruko) begitulah. Arsitekturnya Eropa banget. He... he... ya iyalah... Satu pintu untuk tempat tinggal, seperti asrama. Satu pintu lagi lantai duanya dijadikan masjid. Ya, Masjid Nasuha namanya. Di lantai bawahnyalah sering digelar pengajian. Tempat ini sudah dibeli dari hasil patungan muslim Indonesia.
Pengajian di Nasuha, kata Sofjan S Siregar, digelar setiap Sabtu malam atau malam Minggu. Muslim Indonesia dari kota terdekat dari Rotterdam, datang bersama keluarganya. Ibu-ibunya membawa makanan. Masakan Indonesia tentunya. Habis pengajian, makan bersama. Tidak hanya di Rotterdam, di Amsterdam dan beberapa kota lainnya juga aktif menggelar pengajian.
Malam itu, Sofjan memberikan materi tentang hadist. Ada tanya jawab. Bahasa pengantarnya Indonesia, Belanda dan Inggris. Tak kurang dari 50 orang yang hadir. 15 persen yang hadir berkebangsaan Belanda. Rata-rata laki-laki. Ternyata mereka adalah suami dari muslimah Indonesia. Mereka mualaf.
Pengajian dijadikan sebagai ajang kumpul bareng. Ajang kumpul kangen. Tentu saja cerita tentang Indonesia. Kampung halaman. Sebagian besar muslim ini sudah penduduk asli Belanda. Mereka bekerja di bidang transportasi, perminyakan, pelabuhan dan tenaga perhotelan. Yusuf Kadir misalnya. Ia sudah belasan tahun di Belanda. Ternyata Yusuf besarnya di Pekanbaru. Sekolah Dasarnya di Jalan Balam. Dia menikah dengan gadis Minang yang juga pernah tinggal di Jalan Sam Ratulangi Pekanbaru. Istrinya bekerja di hotel.
Yusuf selalu hadir di pengajian. ‘’Inikan menambah pengetahuan agama kita. Kita bisa kumpul bareng, cerita-cerita soal pekerjaan. Silaturahmi dengan sesama asal Indonesia. Pokoknya saya dan keluarga selalu hadir setiap malam Ahad,’’ jelas Yusuf yang mengaku punya abang kandung di Pekanbaru.
Sofjan yang juga seorang dosen agama di sebuah perguruan tinggi di Rotterdam menjawab dengan cekatan setiap pertanyaan jamaah. Pukul 21.00 malam itu, pengajian ditutup oleh Sofjan. Makan bersama pun digelar. Nasi putih tak pernah bisa ditinggal. Ada sup daging. Ikan goreng balado. Tak lupa telur dadar. Lahap makannya. Apalagi udara yang dingin, benar-benar membangkitkan selera makan.
Menurut Sofjan, Masjid Nasuha setiap Jumat selalu ramai. Tidak hanya muslim Indonesia, dari bangsa lain pun salat Jumat di sini. Penampilan luarnya tidak seperti masjid biasanya. Tidak ada kubahnya. Tidak ada lambang bulan bintang. Tidak akan jumpa juga pengeras suara. Kalau pun ada, harus ada izin dari Pemerintah Belanda.
Ya, begitulah masjid di Belanda. Masjid-masjid milik Muslim Turki maupun Maroko seperti itu juga. Di luarnya biasa saja. Seperti ruko biasa. Di dalamnya baru ada ornamen Islam ciri khas masjid Timur Tengah.
Menurut Sofjan, perkembangan Islam di Eropa ini seperti berlebihan dan berkekurangan. Di Eropa ini diperlukan orang-orang yang bukan seperti Abid atau ahli ibadah saja. Tapi harus ahli ibadah yang berilmu. ‘’Alhamdulillah para muslim aktif dalam berbagai kegiatan. Tidak ada problem berjilbab bagi muslimah. Lihatlah, di jalan-jalan akan kita jumpai perempuan-perempuan dengan jilbab. Tidak hanya di Belanda, di Jerman juga ramai. Di Prancis juga banyak,’’ katanya.
Dijelaskan Sofjan, di Eropa ini yang terbanyak muslimnya ada di Prancis. Di sana da 5 juta kaum Muslimin. Lalu di Jerman ada 3 juta orang. Di Belanda sendiri ada 1 juta lebih.
‘’Di Belanda, agama belum diakui. Tapi diberi kebebasan bagi pemeluknya untuk beribadah. 52 persen di kota besar, penduduknya muslim. Mereka pendatang, seperti halnya dari Indonesia dan negara muslim lainnya. Banyak juga masjid. Banyak sekolah muslim yang dibiayai full oleh Belanda,’’ jelasnya.
Sofjan yang dipercayai Pemerintah Arab Saudi, juga menerjemaahkan Alquran ke bahasa Belanda. Prosesnya cukup lama, tapi Alquran itu berhasil dirampungkan penerjemahannya. ‘’Kita bahas ayat per ayat. Saya adakan konferensi. Saya undang orang Belanda yang paham Islam. Inilah Alquran terjemahannya,’’ kata Sofjan sambil memperlihatkan Alquran yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda.
Terkait makanan, Belanda juga melaksanakan sertifikasi halal. Menurut DR Hayyan ul Haq, ahli Epistemology dan Methode dalam Hukum di Universitas Utrecht, dirinya juga diminta pemerintah Belanda untuk menyertifikasi halal beberapa produk makanan yang dijual untuk umum. ‘’Sudah banyak makanan yang dijual berlabel halal. Semua ini sebentuk penghargaan terhadap kehidupan Muslim di Eropa ini,’’ kata Hayyan.***
1 komentar:
Assalamu'alaikum, Pak Fahmi. Saya dr. Fuady, yang tinggal di Masjid Nasuha Rotterdam dan berjumpa waktu itu saat Pak Fahmi dan Pak Ibnu mampir. Saya boleh minta alamat email Pak Fahmi dan Pak Ibnu? Entah ke mana, kartu nama waktu itu tidak saya temukan. Alamat email saya: dr.ahmadfuady@yahoo.com
Posting Komentar