Total Tayangan Halaman

Jumat, 12 April 2013

Digores Rasau, Terhibur dengan Ikan Tapah

Menelusuri Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu

Airnya menyerupai kopi. Agak pekat mendekati hitam. Kiri kanannya beragam jenis pohon meranti tegak menjulang. Lingkarannya besar. Di dahannya yang kokoh, puluhan kera ekor panjang bergelayutan. Sesekali terlihat juga monyet mencari buah untuk disantap di tengah gerimis yang mengguyur.

Laporan M Nazir Fahmi, Bukit Batu

Ya, itulah Sungai Bukit Batu di Kabupaten Bengkalis. Pagi itu, sebuah ponton besar terlihat mengarungi sungai. Satu ekskavator dengan tuas panjang mengeruk tepi sungai. Sesekali tuas besarnya mendorong kayu-kayu kecil dan membuangnya ke darat. Ternyata, pagi itu anak perusahaan PT Arara Abadi melanjutkan pengerjaan normalisasi Sungai Bukit Batu. Sudah setengah bulan program itu dijalankan.
  Tepi sungai terlihat bersih. Yang dangkal pun diperdalam. Sungai Bukit Batu salah satu urat nadi menuju Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu. 15 hari tidak hujan, air sungai susut. Bekas sapuan air saat debitnya besar masih terlihat jelas di antara rerumputan di kiri kanan sungai. Hari itu, rombongan dari Association of the Indonesia Tours and Travel Agencies (Asita) Pusat dan Riau ingin menelusuri cagar yang terkenal tersebut. Cita-citanya, ingin ke tasik yang terkenal indah tersebut.
  Dengan speedboat bermesin 150 PK, rombongan bergerak dari Pos Jagawana Giam Siak Bukit Batu. Suhut, dari PT Arara Abadi yang menjadi pemandu pagi itu sudah mewanti-wanti bahwa perjalanan menuju Giam Siak sangat berat. Bisa saja rombongan tidak bisa mencapai lokasi karena faktor surutnya air. ‘’Sudah 15 hari tidak hujan,’’ katanya saat itu.
  Di tengah udara pagi yang segar, perjalanan pun dimulai menyusuri Sungai Bukit Batu. Pemandangan yang eksotis dan sangat alami benar-benar nikmat. Hamparan hutan alam dan tingginya pepohonan membuat relaksasi. Kicauan burung dan ringkikan kera menambah rasa alami itu semakin dalam.
  Menuju Cagar Biosfer, rombongan harus masuk ke anak Sungai Bukit Batu. Awalnya sungai begitu besar, semakin ke dalam kian mengecil. Cuaca pun mulai berubah. Mendung mulai bergelayut. Satu jam perjalanan, gerimis pun mulai turun. Karena keinginan kuat rombongan melihat Cagar Biosfer, perjalanan terus dilanjutkan.
  Makin ke hulu, hujan makin deras. Sungai juga makin mengecil. Rasau dan bakung mendominasi kiri kanan sungai. Dominasi rasau kian terasa. Batangnya yang sepaha dan daunnya yang berduri benar-benar membuat rombongan harus hati-hati. Merunduk dalam speedboat adalah cara terbaik saat melihat ada rasau di depan.
  ‘’Beginilah kondisinya saat ini. Agak susah menjangkau tasiknya. Makin ke hulu, kita harus berjibaku dengan rasau. Harus ditebas, baru bisa speedboat lewat,’’ kata Suhut yang terlihat cekatan membuang rasau di haluan speed.
  Satu jam setengah perjalanan, plang Suaka Margasatwa Bukit Batu yang dipasang Kementerian Kehutanan terlihat. Itu pertanda sudah masuk lokasi Cagar Biosfer Bukit Batu. Benar saja, makin di ke dalam, pohon-pohon makin rapat.
  Diameternya sudah besar-besar. Dominasi meranti kian terlihat. Tinggi menjulang. Kalau sebelumnya masih terlihat kebun sawit, di Cagar Biosfer sudah benar-benar hutan alami. Hutan alam dan sangat rawan. Sisa-sisa kegiatan illegal logging masih terlihat di sepanjang anak sungai. Balok-balok besar juga masih tertinggal. Beberapa batang kayu gelondongan tergolek di tepi sungai.
  Dulu, kawasan ini benar-benar menjadi lahan empuk untuk mengumpulkan rupiah. Kegiatan perambahan hutan benar-benar tidak terkendali. Tapi setelah dicanangkan jadi Cagar Biosfer, kegiatan itu terhenti. Yang terlihat, sisa-sisa masa lalu.
  Hujan kian lebat. Karena sudah terlanjur basah, speed pun terus dipacu menuju tasik. Dua jam perjalanan, anak sungai makin sangat kecil. Rasau menutupi habis badan sungai. ‘’Kalau tidak ditebas, tidak bisa lewat. Satu jam lagi baru bisa sampai ke tasik. Tapi karena sebelumnya kemarau, perjalanan ke hulu makin sulit,’’ kata Suhut.
  Ibnu Masud, Ketua Asita Riau memutuskan tidak meneruskan perjalanan ke tasik. Apalagi dalam dua jam perjalanan, tangannya banyak tergores daun rasau. ‘’Sudahlah, kita sampai di sini saja. Kan kita sudah masuk ke Giam Siak ini. Kapan-kapan kita ulang dan berharap bisa mencapai tasik,’’ katanya.
  Matahari tepat di atas kepala. Gerimis masih jatuh di sela daun pohon. Walau hujan, tidak ada penambahan debit air. Air sungai makin pekat warnanya. Menjelang pulang, rombongan ingin melihat keberadaan ikan tapah yang terkenal di aliran anak Sungai Bukit Batu itu.
  Tanpa dikomando, satu persatu mata pancing mulai menembus pekatnya air sungai. Suhut yang menjadi pemandu perjalanan pun sudah melempar kail dengan umpan cacing lebih dulu. Dalam hitungan menit, pancing pun mulai bergetar. Dan, hap...satu ekor tapah mulai naik. Tidak besar. Masih seukuran tiga jari orang dewasa.
  Melihat tapah mulai naik, pemancing lain mulai penasaran. Ternyata benar, sungai ini jadi habitat ikan tapah yang terkenal enak dan mahal itu. Lima pancing bergantian menarik tapah dari sungai. Tapah... Tapah dan tapah lagi yang terpancing. Tidak ada ikan baung atau ikan lain yang naik.
  Keasikan memancing tapah, agak terhenti ketika rombongan mendengar alunan musik disko. Makin lama, makin jelas bunyi dentuman musik. Sepertinya dari organ tunggal dari sebuah pesta. Herannya, itu di tengah hutan belantara. ‘’Kok ada musik ya?,’’ dan disambut Suhut menyebutkan musik berasal dari sebuah desa di muara Sungai Bukit Batu.
  Beberapa orang di rombongan berpikir, desa yang dimaksud begitu jauh. Jauhnya dua jam perjalanan, kok sampai bunyinya ke tengah hutan yang lebat ini. Di tengah pikiran aneh tersebut, ternyata rasa lapar menghapus semuanya. Nasi yang dibawa, disantap di atas speedboat di tengah hujan yang kembali turun.
  Hari makin sore, perjalanan pulang masih diselingi dengan memancing. Satu spot terakhir, benar-benar lubuknya tapah. Airnya agak dalam, banyak rasau. Baru saja pancing masuk air, umpan langsung dimakan tapah. Hampir setengah jam di spot tersebut. Rombongan benar-benar puas dengan tapah-tapah tersebut.
  Lebih dari lima kilogram ikan tapah berhasil dipancing. Belakangan diketahui, ternyata di spot terakhir pemancingan adalah sarangnya buaya muara yang terkenal ganas itu. Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu, termasuk kawasan yang memiliki karakteristik hamparan rawa gambut dialiri oleh dua sungai, Bukit Batu dan Siak Kecil, membentang di Provinsi Riau diapit oleh dua Kabupaten Bengkalis dan Siak serta bagian barat Dumai.
  Obyek wisata yang paling menarik adalah hamparan panorama tasik (danau) yang indah di kelilingi oleh tumbuhan air seperti rasau dan bakung membentuk perakaran yang kompak seperti spot-spot menyerupai pulau mini jika melihat dari atas.
  Kawasan ini telah mendapat sertifikasi dari Program MAB-UNESCO pada 26 Mai 2009. Artinya, dunia internasional telah mengakui adanya Cagar Biosfer baru di Indonesia, kemudian peresmian dilakukan oleh Menteri Kehutanan MS Kaban pada 1 Juli 2009.
  Total luasan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu yaitu 705.270 hektare terdiri dari 3 zonasi. Zona inti seluas 178.722 hektare meliputi Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil 84.967 hektare, Suaka Margasatwa Bukit Batu 21.500 hektare, dan alokasi SMF 72.255 hektare. Ini disebut zona hijau.
  Lalu ada zona penyangga seluas 222.425 hektare meliputi Hutan Tanaman Industri dan disebut zona kuning. Berikutnya adalah Zona Transisi seluas 304.123 hektare meliputi pemukiman, dan perkebunan masyarakat atau zona biru. Lokasi Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu sekitar 280 Km dari Kota Pekanbaru melalui jalan darat dengan jarak tempuh 6 jam perjalanan.(*)

Tidak ada komentar:

Desa Wisata versus Sate Danguang Danguang

DINGINNYA Lembah Harau, terusir oleh setongkol jagung bakar. Sebungkus sate, terhidang. Aromanya mengelitik perut. “Ini sate danguang dangua...