Total Tayangan Halaman

Selasa, 02 April 2013

Penegak Hukum Harus Berpikir Fair Bukan Literate

Hayyan ul Haq, Doktor Hukum Belanda dan Penulis di Puluhan Jurnal Ilmiah Dunia (2-Habis)

Di dalam teori hukum, norm itu adalah promises. Menurut Hayyan ul Haq, norma-norma hukum adalah janji-janji hukum. Secara umum dapat dikatakan, hukum itu dapat menjadi janji yang baik apabila struktur pembentuknya didasarkan atas premis-premis hukum yang benar dan diproses atau diolah dengan cara-cara berpikir yang benar.

Catatan MHD NAZIR FAHMI, Den Haag


BAGAIMANA konstruksi norm (norma, red) yang vallid? Menurut Hayyan, pertama, norma yang valid harus memiliki satu karakteristik yang ditandai oleh adanya self-explanatory. Setiap norma atau putusan-putusan itu harus memiliki self-explanatory. Self-explanatory ini merupakan suatu karakterisktik dari norm yang memiliki kemampuan menjelaskan, dia benar dalam dirinya. Seperti kita melihat matahari. Matahari tidak perlu mendapat sinar dari benda lain untuk menyatakan dirinya sebagai sumber sinar. Karena ia sendiri adalah sumber sinar itu.

Apa ciri self explanatory? Kata Hayyan, ini ditandai dengan adanya koherensi. Koherensi harus memiliki tiga syarat validitas. Pertama, ada konsistensi. Kedua, comprehensiveness. Ketiga, semua komponen pembentuk norma harus saling berkaitan dan saling mendukung. Bukan saling menegaskan. Elemen-elemen ini harus saling berkaitan dan saling men-support. Ini syarat. Jika ada satu peraturan berbenturan dengan peraturan lain, itu tidak layak dikatakan norma. Validitasnya sudah tidak ada lagi.

Di Finlandia, ungkap bapak satu anak ini, ada lembaga independen yang dibentuk oleh DPR-nya. Mereka sepakat ada lembaga untuk me-review semua produk-produk legislatif ini secara substantif. Ini dilakukan agar semua pasal-pasal yang disepakati oleh partai-partai di parlemen tidak merefleksikan kepentingan mereka masing-masing. Tapi betul-betul merefleksikan kepentingan masyarakat banyak dan didasarkan atas pertimbangan substansi bukan kepentingan partai golangan apalagi korporat.

Lembaga ini sebenarnya merupakan lembaga independen, internal kontrol pada tataran pre-pactum, untuk mengurangi beban energi, waktu dan biaya yang terbuang sia-sia ketika ia harus dibatalkan oleh MK yang berfungsi sebagai guardian konstitusi pada tataran post-pactum. Praktik di Indonesia, UU itu dijalankan dulu. Baru setelah itu, ketika ada gugatan dari masyarakat, dibatalkan di MK. Kenyataan ini sangat melelahkan masyarakat.

Sebenarnya, jelas Hayyan, landasan dalam berpikir hukum itu adalah konstitusi UUD 1945. Ini merupakan metanorm yang meletakkan kewajiban positif pada siapapun termasuk negara di dalamnya untuk melakukan tindakan apapun guna memelihara ke-koherensian produk-produk hukum. Seluruh produk hukum yang dibuat di bawahnya bisa terkoreksi untuk kepentingan kolektif.

‘’Kepentingan kolektif, kepentingan fundamental manusia ini harus terefleksi dalam setiap kebijakan. Sebagai contoh kecil, seharusnya setiap daerah dapat mempraktikkan hal ini melalui Musrenbang. Hasil Musrenbang itu harusnya menjadi kekuatan dalam memformulasikan kebijakan. Yang saya lihat hanya sebagai formalitas. Harusnya hasil Musrenbang itu dikontrol atau dikawal terus hingga diformulasikan ke dalam produk hukum yang mengikat. Bukan diubah lagi dengan kepentingan partai politik, ketika sudah masuk di DPR,’’ jelasnya.

Hayyan juga menyoroti kebijakan hukum di DPR atau DPRD. Semestinya, kata magister jebolan Australia ini, di lembaga itu harus benar-benar orang yang ahli dalam satu bidang saat membuat suatu keputusan hukum. Kalau berbicara soal listrik, harus ahli di listrik. Soal nuklir, juga harus ahli di sana. Ini kan tidak, banyak yang buta huruf, tidak ahli di bidangnya duduk di DPR atau DPRD. Walaupun mereka didampingi oleh staf ahli, semua advice (nasihat) yang diberikan juga diabaikan jika tidak sesuai dengan kepentingan partai mereka, bukan kepentingan nasional. Dan mereka yang mengontrol staf ahli mereka, karena mereka yang menggaji staf ahli mereka.

Kenyataan ini juga sudah sering dikritik oleh mereka sendiri. Bagaimana mungkin para anggota DPR yang dulunya pengangguran, lalu duduk di dewan dan menentukan nasib masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, gagasan tentang perlunya lembaga independen ini dapat menutupi kelemahan demokrasi yang memilih wakilnya berdasarkan suara terbanyak. Bukan berdasarkan keahlian. Namun kita harus sepakat bahwa kita harus menghormati sistem demokrasi ini dengan segala kelemahan atau kekurangan, karena ini pilihan kita dan konstitusional.

Terkait adanya ketakutan pemerintah daerah dengan jeratan KPK dalam pengelolaan keuangan, menurut Hayyan, ini dapat dicegah dengan adanya skill atau keterampilan dalam pembuatan anggaran dan pertanggungjawaban keuangan Negara yang diikuti sistem pengawasan yang baik. Para pengemban penegak hukum juga mencermati mana perbuatan pidana yang dibuat karena memang sengaja. Mana perbuatan pidana yang terjadi karena ketidaktahuan, dan karena sistem. Ini sebenarnya tergantung bagaimana hakim melakukan pemeriksaan atas semua kasus-kasus pidana yang banyak menjerat aparat penyelenggara Negara. Jika dia melakukan kesalahan karena kesengajaan ini adalah kejahatan.

‘’Sistem yang membuat pelaku melakukan perbuatan melanggar hukum. Harusnya penegak hukum juga berpikir secara fair. Jangan mengambil keputusan secara literate. Tapi dia harus mengacu dan memeriksa penyebab seseorang melakukan perbuatan itu. Memang perbedaan di antara ketiganya sangat tipis. Inilah tugas hakim. Hakim harus bisa membuat penilaian (judgement). Bekerja secara tulus untuk membuat keadilan-keadilan berdasarkan keahlian dan nuraninya yang hanya diabdikan untuk melahirkan kualitas putusan yang baik dan adil yang dapat menjamin keutuhan dan sustainabilitas kehidupan bersama,’’ ungkap pria yang sering bolak-balik Indonesia-Belanda ini.

Peranan hakim sangat penting dalam menghidupkan norma. Hayyan  menutup perbincangan kami dengan menceriterakan ilustrasi tentang norma dari seorang sarjana hukum Belanda yang bernama Pitlo. Sesungguhnya, norma, aturan itu ibarat partitur-partitur lagu. Ia hanya benda mati yang tak bermakna apapun. Ia baru hidup ketika dimainkan. Jika partitur-partitur lagu ini dimainkan oleh orang yang pandai bernyanyi, maka lagu dan musik yang diperdengarkan juga indah didengar, karena sang penyanyi yang baik tidak saja pandai atau terampil menyanyikannya, tepi juga mampu menghayati dan bahkan mempengaruhi para pendengarnya. Semakin baik kualitas penyanyi itu, maka akan semakin merdu, indah dan menggugah lagu atau partitur yang diperdengarkan. Begitu pula halnya dengan norma atau aturan.

Dia baru bermakna dan hidup, jelasnya, ketika dijalankan dan ditegakkan oleh para pengembannya. Semakin baik kualitas pengemban hukumnya, maka semakin baik kualitas apresiasi dan penegakkan hukum atas norma tersebut. Pengemban hukum yang baik tidak saja terampil dalam menegakkan norm tadi, tapi juga mampu menghayati the true meaning and message of the norm/rules.*** 

Tidak ada komentar:

Desa Wisata versus Sate Danguang Danguang

DINGINNYA Lembah Harau, terusir oleh setongkol jagung bakar. Sebungkus sate, terhidang. Aromanya mengelitik perut. “Ini sate danguang dangua...