Total Tayangan Halaman

Selasa, 14 Mei 2013

Intip Penyu Bertelur, Takut Ada Ular Merah





Menikmati Malam di Gugusan Kepulauan Arwah, Rokan Hilir (2)

Selain istilah Pulau Jemur, beberapa kalangan di pesisir sekitar Rokan Hilir, Riau menyebut pulau ini dengan sebutan 'Pak-ku' yang dalam dialek Hokkian berarti penyu dari utara.

Catatan Mhd Nazir Fahmi, Pulau Jemur

DARI 250 hektare luas Pulau Jemur, lebih separuhnya merupakan bukit batu. Dindingnya cukup terjal dan menghujam ke dasar laut. Ada sedikit pantai, tapi banyak bebatuan berwarna hitam. Runcing-runcing. Warna pasirnya agak kuning. Agak kasar sedikit.
   Sebagian lain dari pulau, ditumbuhi pepohonan. Pohon kelapa dan mangga mendominasi. Selebihnya pohon besar dan kecil yang tidak berbuah. Di beberapa tempat di pulau teduh dengan pohon. Tempat lainnya terlihat gersang karena bukit batu.
   ''Kalau keindahan pulau tidaklah. Pantainya juga tak banyak dan tak bisa dinikmati. Pulau Jemur tidak bisa dijual untuk pariwisata. Hanya penyu hijau yang bisa dikedepankan untuk menjual paket wisata ke daerah ini,'' kata Ketua Association of the Indonesian Tours & Travel Agencies (Asita) Riau, Drs Ibnu Masud kepada Riau Pos.
   Ya, hanya penyu hijau yang menjanjikan dari Pulau Jemur. Penyu hijau menjadi sangat unik karena banyak terdapat di perairan sekitar Pulau Jemur. ''Bulan Mei, saat yang tepat untuk melihat penyu hijau bertelur di pantai Pulau Jemur. Pada bulan ini musim kawin juga,'' kata Doni, warga yang sering bolak balik Bagansia pi-api-Pulau Jemur.
   Menurut Doni, yang juga sering menjadi pemandu wisata ke Pulau Jemur, untuk menikmati penyu bertelur waktu yang paling tepat adalah tengah malam. Saat itulah penyu naik, menggali lubang lalu bertelur.
   Tidak mudah untuk bisa menyaksikan penyu bertelur. Harus hati-hati. Penyu sangat sensitif. Nampak puntung rokok satu saja, penyunya tak jadi bertelur dan kembali ke laut. ''Kalau penyu sudah menggali lubang dan mulai bertelur, kita bisa mendekat. Bisa melihat langsung saat penyu mengeluarkan telur-telurnya,'' kata Doni lagi.
   Penyu hijau petelur yang luar biasa. Sekali bertelur, penyu hijau menghasilkan 150 butir. Setiap malam, ada 15 ekor penyu hijau yang naik ke Pulau Jemur untuk bertelor. Kalau ditotalkan, setiap malamnya ada 2.250 telur penyu dalam pasir di Pulau Jemur. Kalau satu bulan atau setahun, sungguh telur yang begitu banyak diantarkan penyu ke Pulau Jemur.
   Sepengetahuan Doni, dalam satu tahun anak penyu yang dilepas kan dari Pulau Jemur sebanyak 300 ekor saja. Ini hanya 0,04 persen saja dari jumlah telur yang dicurahkan penyu di Pulau Jemur. Selebihnya pada kemana telur-telur itu?
   Malam itu, saya benar-benar ingin melihat penyu hijau bertelur. Namun keinginan kuat untuk menyaksikan penyu bertelur dikalahkan dengan ketakutan pada gigitan ular berbisa yang banyak di Pulau Jemur. ''Hati-hati di Pulau Jemur, banyak Ular Merah. Ularnya kecil, tapi kalau mematuk, bisanya membuat korban lumpuh dan harus cepat ditangani di rumah sakit,'' kata Aripin, seorang anggota TNI AL kepada Riau Pos.
   Kata Doni, saat subuh penyu juga masih di darat. Masih bisa disaksikan. Niat hati ingin berdayung ke Pulau Jemur dari kapal yang kami sewa pada pagi hari, ternyata dibatalkan karena besarnya gelombang. Pagi itu hujan. Petir lagi.
   Namun habis salat subuh, dari kapal kelihatan penyu pada turun ke laut. Di pantai terlihat garis paralel bekas tubuh penyu yang bergesekan dengan pasir. Banyak bekas-bekas tubuh penyu itu di pantai. Dari kejauhan saya juga melihat cahaya senter di pantai. Terlihat seseorang sedang menggali sarang tempat bertelur penyu hijau di Pulau Jemur tersebut.
   Beberapa waktu lalu, di Pulau Jemur ini sudah dicanangkan sebagai tempat penangkaran penyu hijau. Ini sebagai langkah menjaga kelestarian penyu hijau sebagai hewan langka yang dilindungi. Tidak tahu pasti apa kegiatan ini masih berlangsung. Yang pasti, telur-telur penyu banyak dibawa keluar Pulau Jemur. Diper jualbelikan.
   ''Kalau ingin Pulau Jemur dikenal dan menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), konservasi penyu hijau kuncinya. Ini yang dijual ke luar. Jual agenda penglepasan anak penyu, melihat saat bertelur atau melihat penyu kawin,'' kata Ibnu Masud.
   Kalau pulaunya sendiri, kata Ibnu, sangat tidak menjual. Pantainya sedikit. Laut di sekitar pulau banyak batu-batu dan susah untuk menyelam. Sarana transportasi ke Pulau Jemur juga belum tersedia dengan baik.(*)

Senin, 13 Mei 2013

Transaksi Kapal ke Kapal, TPI Tak Berguna




Menikmati Malam di Gugusan Kepulauan Arwah, Rokan Hilir (1)

Pulau Jemur, masuk ke dalam gugusan Kepulauan Arwah. Luasnya 250 hektare. Letaknya sekitar 72,4 km dari Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau dan 64,3 km dari Pelabuhan Klang di Malaysia. Persisnya pada koordinat 2 52'12.06"N-100 33'30.19"E.

Catatan Mhd Nazir Fahmi, Pulau Jemur

SETELAH menempuh perjalanan enam jam dari Bagansiapi-api, Kapal Ikan 30 GT berlogo Pemprov Riau yang kami sewa, buang jangkar di perairan antara Pulau Jemur dengan Pulau Labuhan Bilik. Bersama Ketua Association of the Indonesian Tours & Travel Agencies (Asita) Riau, Drs Ibnu Masud dan beberapa orang wartawan foto media cetak Pekanbaru, ingin menyaksikan dari dekat seperti apa 'keindahan' Pulau Jemur.
   Sabtu, rombongan sengaja bermalam di tengah laut di gugusan Kepulauan Arwah tersebut. Selain ingin melihat pergerakan penyu, juga hendak menikmati kerasnya tarikan ikan-ikan besar di perair an yang terkenal memiliki potensi besar itu. Para ahli-ahli pancing ini, sudah lama terpancing dengan informasi banyaknya ikan di laut sekitar Pulau Jemur.
   Pulau Jemur saling berhadapan dengan Pulau Labuhan Bilik. Kalau di Pulau Jemur ada penghuninya, tapi di Labuhan Bilik tidak ada orang tinggal. Di Labuhan Bilik ada lima bangunan permanen. Ada Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang berdampingan dengan rumah Penghulu atau Kepala Desa. Ada Pos Pelabuhan Perikanan Pemkab Rokan Hilir dan disampingnya juga ada rumah Penghulu. Satunya lagi ada Kelenteng kecil.
   Tempat Pelelangan Ikan, terlihat tidak dipakai lagi. Ada atap dan kerangka beton. Tidak ada lantai. Tak jauh dari TPI, ada satu bangunan lagi yang mulai lapuk. Juga tidak ada penghuni. ''Itu rumah Penghulu,'' kata Syaiful, warga Bagansiapi-api kepada Riau Pos, saat berkunjung ke Pulau Jemur, akhir pekan lalu.
   Masih di pulau ini, di belakang hamparan pantai pasir putih, ada bangunan Pos Pelabuhan Perikanan dan Kelautan Rokan Hilir. Siang kantor ini dijaga petugas. Malam tidak. Di samping kantor itu juga ada bangunan dengan ciri khas Rohil. Ada kubahnya. Katanya sih, juga kantor Penghulu.
   ''Tidak ada penerangan di kantor. Dermaga tempat merapat kapal juga tidak tersedia. Sarana komunikasi di Pos Pelabuhan juga sudah lama rusak,'' kata Doni, warga yang sering bolak balik Bagansiapi-api-Pulau Jemur.
   Dibangunnya TPI di pulau ini ternyata untuk mengatur transaksi ikan dari kapal ke kapal di perairan Pulau Jemur. Pulau Labuhan Bilik tempat yang strategis untuk berlindung dari terpaan badai. Ada teluk berbentuk letter U dan di sinilah kapal-kapal nelayan merapat kalau ada badai. Di tempat ini pulalah terjadi transaksi antara satu kapal dengan kapal lain.
   Saat melewati tempat ini, terlihat enam kapal nelayan merapat. Mereka saling bertransaksi. Selain ikan, ada kapal yang menyedia kan berbagai macam keperluan pokok. Ada yang jual berbagai macam kue, air minum dan rokok. Di Pulau Labuhan Biliklah semua itu mereka lakukan. Sayang, TPI tidak berfungsi sebagaimana harapan awal sebelum bangunan ini berdiri.
   Dari Labuhan Bilik kita ke Pulau Jemur. Di pulau ini lebih terlihat kehidupan. Ada penghuni. Setidaknya ada 10 orang anggota TNI Angkatan Laut (AL) dan enam orang dari Distrik Navigasi Departemen Perhubungan. Di pulau ini ada Pos Pantau TNI AL dan Mercusuar. Petugas-petugas ini saling berganti dalam beberapa pekan.
   Saat menapaki pulau ini setelah berdayung 25 menit dengan sekoci milik Kapal Ikan 30 GT bantuan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, dua orang petugas Navigasi begitu sumringah saat disalami. Mereka sangat senang ada yang berkunjung ke pulau ini.
   Dengan menaiki beberapa puluh tangga, baru sampai ke lokasi perumahan petugas Navigasi dan TNI AL. Pokok mangga sudah besar-besar. Buahnya lebat dan sebagian sudah dipanen. Terlihat ditum puk di meja sebuah pondok di depan rumah petugas Navigasi. Seor ang petugas mempersilakan untuk mencicipi mangga yang sudah ranum tersebut. Hmmm...manisnya. Tak lupa, saat kembali ke kapal, kami dibekali setengah karung mangga.
   Naik sedikit ke atas dari rumah petugas Navigasi, jumpa peru mahan TNI AL. Sore itu, seorang anggota TNI AL tengah asik mem beri makan ternak ayamnya. ''Yah, untuk mengisi waktu luang, kita beternak ayam. Selain bisa membuang rasa sepi, juga menghasilkan,'' kata Aripin, kepada Riau Pos.
   Di belakang kandang ayam Aripin, ada satu bangunan yang sudah tidak dirawat lagi. Ternyata itu bangunan kantor peninggalan Belanda. ''Bangunan ini sudah lama sekali dan tidak digunakan lagi. Sebagiannya sudah lapuk,'' kata Aripin lagi.
   Di Pulau Jemur juga ada Mess VIP milik Pemkab Rokan Hilir. Menurut Doni, mess ini diperuntukan bagi tamu VIP maupun wisata wan yang ingin menikmati liburan di gugusan Pulau Jemur. Mess dilengkapi dengan fasilitas penunjang seperti meubiler, listrik, air bersih dan sarana olahraga.
   Ketika lewat di depan Pulau Jemur, juga terlihat dua rumah. Masih baru. Atapnya merah. Posisinya di atas punggung bukit. Menurut Doni, itu adalah rumah untuk pegawai Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanlut). Jadi bagi petugas Diskanlut yang berkantor di Pulau Labuhan Bilik, tinggalnya di Pulau Jemur.
   Rumah ibadah juga ada di Pulau Jemur. Ada musala yang bagus. Tapi sayang tidak terpakai. Posisinya sekitar 100 meter dari perumahan Navigasi. Agak ke lembah. ''Jarang sih digunakan,'' kata seorang petugas Navigasi.
   Ada juga tempat duduk-duduk. Lebih tepatnya taman yang ada peneduhnya. Juga permanen. Sayang juga, tidak terawat. Tumbuhan sudah merimba di taman itu. ''Padahal kalau duduk di sana, kita bisa menyaksikan keindahan laut dan Selat Melaka,'' kata petugas itu lagi.
   Saat akan meninggalkan Pulau Jemur, kami diingatkan agar hati-hati di jalan. Hati-hati menginjak rumput apalagi kalau hanya pakai sandal jepit. Amannya pakai sepatu. Ada Ular Merah di Pulau Jemur yang cukup berbahaya.(bersambung)

Jumat, 12 April 2013

Serba 2 Riyal, Ribuan Ton Besi Bekas Dibawa ke Jeddah

Kawasan Misfalah, Kota Mati di Pelataran Masjidil Haram (2-habis)

Kawasan Jabal Umar tak jauh dari Safa saat ini masih dalam pengerjaan. Hotel-hotel bintang 5 ke atas bakal beroperasi di sini. Sementara tak lama lagi, kawasan Misfalah pun akan dibongkar. Jalanan menuju Masjidil Haram pun bakal sempit dan akan terjadi macet panjang jelang salat lima waktu. Toko-toko di kawasan Misfalah yang sudah diputus listriknya sebagian besar sudah angkat kaki. Partisi-partisi dari kaca dan triplek dibuka dengan hati-hati untuk dipakai kembali oleh pemiliknya.
   Ada kesan iba ketika melihat mereka membongkar toko, sementara konsumen sangat banyak lalu-lalang. Yang punya modal besar, ada yang langsung mendapatkan toko pengganti di luar Misfalah, bagi mereka yang bermodal kecil dan belum dapat toko pengganti, mereka ada yang masih berjualan dengan diterangi lampu kecil nan redup kalau tidak harus beli genset kecil.
  Obral atau jual murah, itulah yang dilakukan para pedagang di kawasan Misfalah. Tempat jualan yang sudah ditenggat waktu dan harus segera pindah lebih utama daripada mendapatkan untung dari barang dagangan. Pokoknya barang dagangan habis, modal kembali, jual murah itulah yang mereka lakukan. Sebuah toko menjual sepatu dan perlengkapan buat perempuan tak jauh dari Hotel Alhuda Karim menjual semua barang dengan harga 2 riyal. Anyone 2 Riyals. Begitu plang besar di depan toko tersebut.
  Tak pelak, jamaah yang akan pergi maupun pulang dari Masjidi Haram mampir sekedar melihat barang yang cocok. Suka, rogok kocek 2 riyal, barang dibawa. Halal-halal di sini, murah kata penjaga toko berperawakan Arab yang bisa bahasa Indonesia. Kalau kondisinya sudah begini, jangan disebut lagi berapa orang yang berkerumun di toko tersebut.
  Itulah keistimewaan Makkah maupun Madinah, apapun barang yang ditawarkan pedagang, pasti laris manis. Apatah lagi ada embel-embel diskon besar, bakal makin besar kerumunan jamaah yang habis salat lima waktu di tempat tersebut.
  Di depan Hotel Alfirdaos, tak jauh dari sebuah masjid di kawasan Misfalah juga, sebuah toko pakaian juga ikut menggelar obral. Diterangi lampu emergency, toko yang dindingnya dan plangnya sudah dibuka terlihat sibuk memotong kain meteran. Jamaah umrah dari Turki dan Pakistan berkerumun di tempat tersebut.
  Satu-satu juga terlihat jamaah asal Asia Tenggara berdiri sambil melihat-lihat dasar kain. Ya, satu meter dijual 2 riyal atau Rp5.000. Semuanya rata dan kainnya bermerek. Di tempat kita mungkin paling murah kain meteran Rp20.000 dan itu bisa jadi kualitas rendah. Onggokan batangan kain tidak lagi banyak tersisa.
  Tapi, pemilik toko benar-benar harus menghabiskan barang dagangannya daripada harus menyewa mobil lagi untuk pindahan. Ada sih berniat hendak membeli, tapi teringat lagi berapa biaya untuk upah jahit. Lain orang Pakistan, kain yang baru dibeli dengan meteran tersebut langsung jadi selendang atau jubahnya tanpa dijahit.
  Hotel-hotel tak ketinggalan melego barang-barangnya. Kulkas, AC, televisi hingga tempat tidur mereka jual murah. Terlihat beberapa pemuda Arab mengangkat televisi dari hotel setelah terjadi tawar menawar dengan pegawai hotel. Banyak juga jamaah yang berdiri di depan hotel-hotel tersebut sambil memeriksa elektronik yang masih teronggok di depan hotel. ‘’Sayang kita jauh, coba kalau dekat, saya ikut beli,’’ kata seorang jamaah umrah Indonesia yang terdengar berbincang dengan temannya.
  Bagi pebisnis barang bekas, melihat kondisi Makkah yang dalam masa rekonstruksi membuat air liur menetes. Banyaknya barang-barang bekas yang masih bisa diolah dan teronggok begitu saja, jadi susah mau disebut. Apalagi melihat onggokan besi bekas reruntuhan hotel, makin tak karuan melihatnya. Wah coba di Indonesia, berapa omsetnya ini, gumam beberapa jamaah sambil sarapan pagi di hotel.
  Ya, soal besi bekas, memang tak terhitung tonannya. Hitung saja berapa jumlah hotel dan bangunan lain yang dirubuhkan. Semuanya pakai besi. Baru saja memasuki Kota Makkah disekitar Jabal Umar sudah terlihat alat-alat berat mencabut besi-besi dari reruntuhan bangunan. Lalu dinaikkan ke trailer. Jadi siapa yang beli atau dibawa kemana besi-besi tersebut?
  ‘’Yang jelas bukan orang Indonesia yang beli dan pengumpulnya haa...haaa...haaa,’’ kata Pimpinan PT Muhibbah Mulia Wisata, Ibnu Masud sambil bercanda. Semua besi-besi bekas itu dibawa ke Jeddah untuk diolah lagi. ‘’Di Jeddah kan ada industri pengolahannya,’’ kata Ibnu.
  Memang benar, ribuan ton besi bekas tersebut dibawa ke Jeddah, sekitar 1,5 jam dari Makkah. Karena kontraktornya Bin Laden Group, besi-besi itu pun dibawa ke pabrik pengolahan besi masih milik Bin Laden di Jeddah. Besi-besi itu diolah lagi menjadi batangan dan dipakai kembali untuk rekonstruksi Masjidil Haram.(mhd nazir fahmi)

Listrik Diputus, Hotel-hotel Dikuliti

Kawasan Misfalah, Kota Mati di Pelataran Masjidil Haram (1)

Mudahnya transportasi saat ini dari berbagai penjuru dunia, membuat Kota Makkah Al Mukarramah merasakan dampaknya. Umat muslim dunia yang saat ini sudah lebih dari 1 miliar jiwa memanfaatkan kemudahan itu untuk datang ke Makkah dalam bentuk umrah maupun haji. Akibatnya, Masjidil Haram benar-benar tidak sanggup lagi menampung. Solusinya, sudah dua tahun ini dilakukan perluasan di sekitar Jabal Umar. Ratusan hotel di Misfalah juga sudah diputus listriknya untuk segera dirobohkan.
   Berjalan di kawasan Misfalah membawa nuansa lain saat ini. Kawasan yang berada di belakang Zamzam Tower, jam besar yang menjulang ke langit itu kini bagaikan kota mati. Tak kurang dari 200 hotel bintang 4 ke bawah sudah gelap gulita. Listriknya sudah diputus kerajaan Saudi. Begitu juga ratusan kedai-kedai kecil tempat jamaah haji Indonesia berbelanja berbagai macam oleh-oleh juga sudah tutup.
  Ada sekitar 10 toko yang masih buka. Mereka membayar ke pihak kerajaan dengan alasan menghabiskan barang dagangan. Ini karena sebagian dari mereka tidak mendapat tempat jualan pengganti selain di kawasan Misfalah. Dengan menggunakan genset, beberapa toko tersebut menggelar barang dagangannya pada malam hari.
  Perasaaan sedih, iba maupun serasa habis gempa bumi ketika memandang hotel-hotel yang akan diruntuhkan. ‘’Sejak Januari lalu listrik hotel-hotel tersebut sudah diputus dan mereka harus pindah ke tempat lain,’’ kata Ibnu Masud, pimpinan PT Muhibbah Mulia Wisata beberapa waktu lalu di Makkah. Makanya, kata Ibnu, saat ini banyak penginapan jamaah umrah agak jauh dari Masjidil Haram.
  ‘’Ya, sekitar 350 meteranlah dari masjid. Biasanya dulu kita sering nginap di Misfalah yang dekat dengan pintu 87, 88 dan 89. sekarang tak ada pilihan selain di luar Misfalah tersebut seperti di Jalan Ibrahim Al Khalil. Ini sangat dekat juga dengan Masjid Haram,’’ katanya lagi.
  Kawasan Misfalah ini termasuk favorit di kalangan jamaah. Dari pintu 86 sampai 89, jalan menuju Misfalah lurus saja. Jalannya besar dan benar-benar dekat dengan Masjidil Haram. Banyak orang berjualan makanan maupun kebutuhan sehari-hari selain oleh-oleh untuk dibawa ke tanah air. Ada pula mal besar seperti Bin Dawood dan Zamzam Tower, membuat kawasan ini benar-benar terkenal.
  Karena banyaknya jamaah yang lewat setiap waktu, membuat hotel-hotel yang sebagiannya sudah dibuka jendela dan dindingnya telah dikuliti tidak begitu menyeramkan. Apalagi pihak kerajaan sengaja memasang lampu jalan untuk kepentingan jamaah yang lewat.
  Tapi harus ekstra hati-hati melewati kawasan tersebut, selain banyaknya kaca-kaca berserakan di depan hotel, terkadang banyak genangan air karena pipa yang bocor akibat hotel dan kedai-kedai yang dibongkar.
Pemilik hotel diburu waktu untuk segera angkat kaki dari kawasan Misfalah. Ada satu dua hotel yang masih beroperasi karena terikat kontrak dengan travel. Tapi setelah kontraknya habis, semua isi hotel dikeluarkan.
  Tempat tidur, lemari, selimut, bantal dinaikkan ke truk dalam rangka pengosongan hotel. Dinding hotel yang dilapisi granit juga ada yang dibuka pemiliknya. Satu persatu granit dibuka dari lantai 15 dan diturunkan dengan hati-hati. Yang pecah dibuang, yang masih bagus dipakai kembali di tempat baru. Kini beberapa hotel seperti telanjang bagai habis dikuliti.
  Kok bisa begitu cepat dikosongkan? Ya, itulah kerajaan. Suka atau tidak suka, kalau kerajaan sudah memutuskan sesuatu harus dilaksanakan oleh rakyatnya. Apalagi itu untuk kepentingan umum, rela atau tidak rela ya harus rela. Ada sih ganti rugi, tapi sangat tidak sebanding dengan nilai bangunan.
  Seperti hotel berlantai 15, paling ganti ruginya sekitar 5 juta riyal. ‘’Ya namanya juga ganti rugi, mereka merasa rugi. Tapi demi Masjidil Haram, mereka mengikhlaskan,’’ kata Lutfi, salah seorang pekerja travel yang sudah bertahun-tahun di Makkah.
  Di kawasan Misfalah ini, kalau hotel-hotel bintang 4 ke bawah sudah diputus listrik dan segera dirubuhkan. Saat ini yang masih beroperasi Hotel Hilton dan Daarut Tauhid. Nanti hotel besar ini juga akan dirubuhkan karena masuk ke dalam kawasan Masjidil Haram. Sementara Zamzam Tower tidak masuk atau tidak terkena pelebaran dan masuk kawasan aman.
  Dua alat berat, awal Maret lalu terlihat terparkir di depan hotel di Misfalah. Nantinya, alat-alat inilah yang akan menghancurkan hotel-hotel tersebut. Banyak yang memperkirakan kawasan tersebut akan dihancurkan dengan diledakkan karena begitu banyaknya gedung yang diruntuhkan. ‘’Mereka biasanya menghancurkan dengan alat berat, yang dibom atau dinamit bukit-bukit batu. Di kawasan Jabal Umar yang lagi dibangun, hotel-hotelnya diruntuhkan dengan alat berat,’’ kata Lutfi. Misfalah benar-benar seperti habis perang atau terkena bencana. Jalanan di kawasan ini selalu macet setiap salat lima waktu. Beberapa tahun mendatang, bekas hotel akan jadi pelataran Masjid Haram.(mhd nazir fahmi/bersambung)

Digores Rasau, Terhibur dengan Ikan Tapah

Menelusuri Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu

Airnya menyerupai kopi. Agak pekat mendekati hitam. Kiri kanannya beragam jenis pohon meranti tegak menjulang. Lingkarannya besar. Di dahannya yang kokoh, puluhan kera ekor panjang bergelayutan. Sesekali terlihat juga monyet mencari buah untuk disantap di tengah gerimis yang mengguyur.

Laporan M Nazir Fahmi, Bukit Batu

Ya, itulah Sungai Bukit Batu di Kabupaten Bengkalis. Pagi itu, sebuah ponton besar terlihat mengarungi sungai. Satu ekskavator dengan tuas panjang mengeruk tepi sungai. Sesekali tuas besarnya mendorong kayu-kayu kecil dan membuangnya ke darat. Ternyata, pagi itu anak perusahaan PT Arara Abadi melanjutkan pengerjaan normalisasi Sungai Bukit Batu. Sudah setengah bulan program itu dijalankan.
  Tepi sungai terlihat bersih. Yang dangkal pun diperdalam. Sungai Bukit Batu salah satu urat nadi menuju Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu. 15 hari tidak hujan, air sungai susut. Bekas sapuan air saat debitnya besar masih terlihat jelas di antara rerumputan di kiri kanan sungai. Hari itu, rombongan dari Association of the Indonesia Tours and Travel Agencies (Asita) Pusat dan Riau ingin menelusuri cagar yang terkenal tersebut. Cita-citanya, ingin ke tasik yang terkenal indah tersebut.
  Dengan speedboat bermesin 150 PK, rombongan bergerak dari Pos Jagawana Giam Siak Bukit Batu. Suhut, dari PT Arara Abadi yang menjadi pemandu pagi itu sudah mewanti-wanti bahwa perjalanan menuju Giam Siak sangat berat. Bisa saja rombongan tidak bisa mencapai lokasi karena faktor surutnya air. ‘’Sudah 15 hari tidak hujan,’’ katanya saat itu.
  Di tengah udara pagi yang segar, perjalanan pun dimulai menyusuri Sungai Bukit Batu. Pemandangan yang eksotis dan sangat alami benar-benar nikmat. Hamparan hutan alam dan tingginya pepohonan membuat relaksasi. Kicauan burung dan ringkikan kera menambah rasa alami itu semakin dalam.
  Menuju Cagar Biosfer, rombongan harus masuk ke anak Sungai Bukit Batu. Awalnya sungai begitu besar, semakin ke dalam kian mengecil. Cuaca pun mulai berubah. Mendung mulai bergelayut. Satu jam perjalanan, gerimis pun mulai turun. Karena keinginan kuat rombongan melihat Cagar Biosfer, perjalanan terus dilanjutkan.
  Makin ke hulu, hujan makin deras. Sungai juga makin mengecil. Rasau dan bakung mendominasi kiri kanan sungai. Dominasi rasau kian terasa. Batangnya yang sepaha dan daunnya yang berduri benar-benar membuat rombongan harus hati-hati. Merunduk dalam speedboat adalah cara terbaik saat melihat ada rasau di depan.
  ‘’Beginilah kondisinya saat ini. Agak susah menjangkau tasiknya. Makin ke hulu, kita harus berjibaku dengan rasau. Harus ditebas, baru bisa speedboat lewat,’’ kata Suhut yang terlihat cekatan membuang rasau di haluan speed.
  Satu jam setengah perjalanan, plang Suaka Margasatwa Bukit Batu yang dipasang Kementerian Kehutanan terlihat. Itu pertanda sudah masuk lokasi Cagar Biosfer Bukit Batu. Benar saja, makin di ke dalam, pohon-pohon makin rapat.
  Diameternya sudah besar-besar. Dominasi meranti kian terlihat. Tinggi menjulang. Kalau sebelumnya masih terlihat kebun sawit, di Cagar Biosfer sudah benar-benar hutan alami. Hutan alam dan sangat rawan. Sisa-sisa kegiatan illegal logging masih terlihat di sepanjang anak sungai. Balok-balok besar juga masih tertinggal. Beberapa batang kayu gelondongan tergolek di tepi sungai.
  Dulu, kawasan ini benar-benar menjadi lahan empuk untuk mengumpulkan rupiah. Kegiatan perambahan hutan benar-benar tidak terkendali. Tapi setelah dicanangkan jadi Cagar Biosfer, kegiatan itu terhenti. Yang terlihat, sisa-sisa masa lalu.
  Hujan kian lebat. Karena sudah terlanjur basah, speed pun terus dipacu menuju tasik. Dua jam perjalanan, anak sungai makin sangat kecil. Rasau menutupi habis badan sungai. ‘’Kalau tidak ditebas, tidak bisa lewat. Satu jam lagi baru bisa sampai ke tasik. Tapi karena sebelumnya kemarau, perjalanan ke hulu makin sulit,’’ kata Suhut.
  Ibnu Masud, Ketua Asita Riau memutuskan tidak meneruskan perjalanan ke tasik. Apalagi dalam dua jam perjalanan, tangannya banyak tergores daun rasau. ‘’Sudahlah, kita sampai di sini saja. Kan kita sudah masuk ke Giam Siak ini. Kapan-kapan kita ulang dan berharap bisa mencapai tasik,’’ katanya.
  Matahari tepat di atas kepala. Gerimis masih jatuh di sela daun pohon. Walau hujan, tidak ada penambahan debit air. Air sungai makin pekat warnanya. Menjelang pulang, rombongan ingin melihat keberadaan ikan tapah yang terkenal di aliran anak Sungai Bukit Batu itu.
  Tanpa dikomando, satu persatu mata pancing mulai menembus pekatnya air sungai. Suhut yang menjadi pemandu perjalanan pun sudah melempar kail dengan umpan cacing lebih dulu. Dalam hitungan menit, pancing pun mulai bergetar. Dan, hap...satu ekor tapah mulai naik. Tidak besar. Masih seukuran tiga jari orang dewasa.
  Melihat tapah mulai naik, pemancing lain mulai penasaran. Ternyata benar, sungai ini jadi habitat ikan tapah yang terkenal enak dan mahal itu. Lima pancing bergantian menarik tapah dari sungai. Tapah... Tapah dan tapah lagi yang terpancing. Tidak ada ikan baung atau ikan lain yang naik.
  Keasikan memancing tapah, agak terhenti ketika rombongan mendengar alunan musik disko. Makin lama, makin jelas bunyi dentuman musik. Sepertinya dari organ tunggal dari sebuah pesta. Herannya, itu di tengah hutan belantara. ‘’Kok ada musik ya?,’’ dan disambut Suhut menyebutkan musik berasal dari sebuah desa di muara Sungai Bukit Batu.
  Beberapa orang di rombongan berpikir, desa yang dimaksud begitu jauh. Jauhnya dua jam perjalanan, kok sampai bunyinya ke tengah hutan yang lebat ini. Di tengah pikiran aneh tersebut, ternyata rasa lapar menghapus semuanya. Nasi yang dibawa, disantap di atas speedboat di tengah hujan yang kembali turun.
  Hari makin sore, perjalanan pulang masih diselingi dengan memancing. Satu spot terakhir, benar-benar lubuknya tapah. Airnya agak dalam, banyak rasau. Baru saja pancing masuk air, umpan langsung dimakan tapah. Hampir setengah jam di spot tersebut. Rombongan benar-benar puas dengan tapah-tapah tersebut.
  Lebih dari lima kilogram ikan tapah berhasil dipancing. Belakangan diketahui, ternyata di spot terakhir pemancingan adalah sarangnya buaya muara yang terkenal ganas itu. Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu, termasuk kawasan yang memiliki karakteristik hamparan rawa gambut dialiri oleh dua sungai, Bukit Batu dan Siak Kecil, membentang di Provinsi Riau diapit oleh dua Kabupaten Bengkalis dan Siak serta bagian barat Dumai.
  Obyek wisata yang paling menarik adalah hamparan panorama tasik (danau) yang indah di kelilingi oleh tumbuhan air seperti rasau dan bakung membentuk perakaran yang kompak seperti spot-spot menyerupai pulau mini jika melihat dari atas.
  Kawasan ini telah mendapat sertifikasi dari Program MAB-UNESCO pada 26 Mai 2009. Artinya, dunia internasional telah mengakui adanya Cagar Biosfer baru di Indonesia, kemudian peresmian dilakukan oleh Menteri Kehutanan MS Kaban pada 1 Juli 2009.
  Total luasan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu yaitu 705.270 hektare terdiri dari 3 zonasi. Zona inti seluas 178.722 hektare meliputi Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil 84.967 hektare, Suaka Margasatwa Bukit Batu 21.500 hektare, dan alokasi SMF 72.255 hektare. Ini disebut zona hijau.
  Lalu ada zona penyangga seluas 222.425 hektare meliputi Hutan Tanaman Industri dan disebut zona kuning. Berikutnya adalah Zona Transisi seluas 304.123 hektare meliputi pemukiman, dan perkebunan masyarakat atau zona biru. Lokasi Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu sekitar 280 Km dari Kota Pekanbaru melalui jalan darat dengan jarak tempuh 6 jam perjalanan.(*)

Selasa, 02 April 2013

Pengajian, Terjemahkan Alquran ke Bahasa Belanda

Melihat Perkembangan Muslim Indonesia di Eropa

alam Minggu yang dingin. Super dingin. Minus 1 derajat celcius. Di bawah titik beku. Dari pagi hujan turun. Jalan-jalan di Kota Rotterdam, Belanda sepi.

Catatan Mhd Nazir Fahmi, Rotterdam


RASA ingin menambah wawasan ke-Islaman mengalahkan dinginnya malam. Bersama Ketua Asosiasi Tour dan Travel (Asita) Riau, Drs H Ibnu Mas’ud, Dosen Universitas
Utrecht Dr Hayyan ul Haq, SH LLM dan Dr Sofjan Sauri Siregar, Ketua Islamitisch Cultureel Centrum Nederland (ICCN) atau Ketua Muslim Belanda, saya bergerak ke Nasuha Center Rotterdam. Dari Den Haag ke Rotterdam menghabiskan waktu dengan mobil hampir setengah jam.

Nasuha Center Rotterdam masih terlihat sepi. Hanya ada dua mahasiswa Indonesia yang sedang menyelesaikan S2. Belum terlihat kehadiran warga Muslim asal Indonesia di tempat tersebut. Oh ya, Nasuha Center Rotterdam ini cukup komplit. Letaknya sangat strategis di jantung Kota Rotterdam. Tak jauh dari Rotterdam Central. Di depannya, jalan besar. Jalan utama di Rotterdam.

Nasuha Center tempat berkumpulnya muslim asal Indonesia. Bangunannya dua pintu. Seperti rumah toko (Ruko) begitulah. Arsitekturnya Eropa banget. He... he... ya iyalah... Satu pintu untuk tempat tinggal, seperti asrama. Satu pintu lagi lantai duanya dijadikan masjid. Ya, Masjid Nasuha namanya. Di lantai bawahnyalah sering digelar pengajian. Tempat ini sudah dibeli dari hasil patungan muslim Indonesia.

Pengajian di Nasuha, kata Sofjan S Siregar, digelar setiap Sabtu malam atau malam Minggu. Muslim Indonesia dari kota terdekat dari Rotterdam, datang bersama keluarganya. Ibu-ibunya membawa makanan. Masakan Indonesia tentunya. Habis pengajian, makan bersama. Tidak hanya di Rotterdam, di Amsterdam dan beberapa kota lainnya juga aktif menggelar pengajian.

Malam itu, Sofjan memberikan materi tentang hadist. Ada tanya jawab. Bahasa pengantarnya Indonesia, Belanda dan Inggris. Tak kurang dari 50 orang yang hadir. 15 persen yang hadir berkebangsaan Belanda. Rata-rata laki-laki. Ternyata mereka adalah suami dari muslimah Indonesia. Mereka mualaf.

Pengajian dijadikan sebagai ajang kumpul bareng. Ajang kumpul kangen. Tentu saja cerita tentang Indonesia. Kampung halaman. Sebagian besar muslim ini sudah penduduk asli Belanda. Mereka bekerja di bidang transportasi, perminyakan, pelabuhan dan tenaga perhotelan. Yusuf Kadir misalnya. Ia sudah belasan tahun di Belanda. Ternyata Yusuf besarnya di Pekanbaru. Sekolah Dasarnya di Jalan Balam. Dia menikah dengan gadis Minang yang juga pernah tinggal di Jalan Sam Ratulangi Pekanbaru. Istrinya bekerja di hotel.

Yusuf selalu hadir di pengajian. ‘’Inikan menambah pengetahuan agama kita. Kita bisa kumpul bareng, cerita-cerita soal pekerjaan. Silaturahmi dengan sesama asal Indonesia. Pokoknya saya dan keluarga selalu hadir setiap malam Ahad,’’ jelas Yusuf yang mengaku punya abang kandung di Pekanbaru.

Sofjan yang juga seorang dosen agama di sebuah perguruan tinggi di Rotterdam menjawab dengan cekatan setiap pertanyaan jamaah. Pukul 21.00 malam itu, pengajian ditutup oleh Sofjan. Makan bersama pun digelar. Nasi putih tak pernah bisa ditinggal. Ada sup daging. Ikan goreng balado. Tak lupa telur dadar. Lahap makannya. Apalagi udara yang dingin, benar-benar membangkitkan selera makan.

Menurut Sofjan, Masjid Nasuha setiap Jumat selalu ramai. Tidak hanya muslim Indonesia, dari bangsa lain pun salat Jumat di sini. Penampilan luarnya tidak seperti masjid biasanya. Tidak ada kubahnya. Tidak ada lambang bulan bintang. Tidak akan jumpa juga pengeras suara. Kalau pun ada, harus ada izin dari Pemerintah Belanda.

Ya, begitulah masjid di Belanda. Masjid-masjid milik Muslim Turki maupun Maroko seperti itu juga. Di luarnya biasa saja. Seperti ruko biasa. Di dalamnya baru ada ornamen Islam ciri khas masjid Timur Tengah.

Menurut Sofjan, perkembangan Islam di Eropa ini seperti berlebihan dan berkekurangan. Di Eropa ini diperlukan orang-orang yang bukan seperti Abid atau ahli ibadah saja. Tapi harus ahli ibadah yang berilmu. ‘’Alhamdulillah para muslim aktif dalam berbagai kegiatan. Tidak ada problem berjilbab bagi muslimah. Lihatlah, di jalan-jalan akan kita jumpai perempuan-perempuan dengan jilbab. Tidak hanya di Belanda, di Jerman juga ramai. Di Prancis juga banyak,’’ katanya.

Dijelaskan Sofjan, di Eropa ini yang terbanyak muslimnya ada di Prancis. Di sana da 5 juta kaum Muslimin. Lalu di Jerman ada 3 juta orang. Di Belanda sendiri ada 1 juta lebih.

‘’Di Belanda, agama belum diakui. Tapi diberi kebebasan bagi pemeluknya untuk beribadah. 52 persen di kota besar, penduduknya muslim. Mereka pendatang, seperti halnya dari Indonesia dan negara muslim lainnya. Banyak juga masjid. Banyak sekolah muslim yang dibiayai full oleh Belanda,’’ jelasnya.

Sofjan yang dipercayai Pemerintah Arab Saudi, juga menerjemaahkan Alquran ke bahasa Belanda. Prosesnya cukup lama, tapi Alquran itu berhasil dirampungkan penerjemahannya. ‘’Kita bahas ayat per ayat. Saya adakan konferensi. Saya undang orang Belanda yang paham Islam. Inilah Alquran terjemahannya,’’ kata Sofjan sambil memperlihatkan Alquran yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda.

Terkait makanan, Belanda juga melaksanakan sertifikasi halal. Menurut DR Hayyan ul Haq, ahli Epistemology dan Methode dalam Hukum di Universitas Utrecht, dirinya juga diminta pemerintah Belanda untuk menyertifikasi halal beberapa produk makanan yang dijual untuk umum. ‘’Sudah banyak makanan yang dijual berlabel halal. Semua ini sebentuk penghargaan terhadap kehidupan Muslim di Eropa ini,’’ kata Hayyan.***
 

Penegak Hukum Harus Berpikir Fair Bukan Literate

Hayyan ul Haq, Doktor Hukum Belanda dan Penulis di Puluhan Jurnal Ilmiah Dunia (2-Habis)

Di dalam teori hukum, norm itu adalah promises. Menurut Hayyan ul Haq, norma-norma hukum adalah janji-janji hukum. Secara umum dapat dikatakan, hukum itu dapat menjadi janji yang baik apabila struktur pembentuknya didasarkan atas premis-premis hukum yang benar dan diproses atau diolah dengan cara-cara berpikir yang benar.

Catatan MHD NAZIR FAHMI, Den Haag


BAGAIMANA konstruksi norm (norma, red) yang vallid? Menurut Hayyan, pertama, norma yang valid harus memiliki satu karakteristik yang ditandai oleh adanya self-explanatory. Setiap norma atau putusan-putusan itu harus memiliki self-explanatory. Self-explanatory ini merupakan suatu karakterisktik dari norm yang memiliki kemampuan menjelaskan, dia benar dalam dirinya. Seperti kita melihat matahari. Matahari tidak perlu mendapat sinar dari benda lain untuk menyatakan dirinya sebagai sumber sinar. Karena ia sendiri adalah sumber sinar itu.

Apa ciri self explanatory? Kata Hayyan, ini ditandai dengan adanya koherensi. Koherensi harus memiliki tiga syarat validitas. Pertama, ada konsistensi. Kedua, comprehensiveness. Ketiga, semua komponen pembentuk norma harus saling berkaitan dan saling mendukung. Bukan saling menegaskan. Elemen-elemen ini harus saling berkaitan dan saling men-support. Ini syarat. Jika ada satu peraturan berbenturan dengan peraturan lain, itu tidak layak dikatakan norma. Validitasnya sudah tidak ada lagi.

Di Finlandia, ungkap bapak satu anak ini, ada lembaga independen yang dibentuk oleh DPR-nya. Mereka sepakat ada lembaga untuk me-review semua produk-produk legislatif ini secara substantif. Ini dilakukan agar semua pasal-pasal yang disepakati oleh partai-partai di parlemen tidak merefleksikan kepentingan mereka masing-masing. Tapi betul-betul merefleksikan kepentingan masyarakat banyak dan didasarkan atas pertimbangan substansi bukan kepentingan partai golangan apalagi korporat.

Lembaga ini sebenarnya merupakan lembaga independen, internal kontrol pada tataran pre-pactum, untuk mengurangi beban energi, waktu dan biaya yang terbuang sia-sia ketika ia harus dibatalkan oleh MK yang berfungsi sebagai guardian konstitusi pada tataran post-pactum. Praktik di Indonesia, UU itu dijalankan dulu. Baru setelah itu, ketika ada gugatan dari masyarakat, dibatalkan di MK. Kenyataan ini sangat melelahkan masyarakat.

Sebenarnya, jelas Hayyan, landasan dalam berpikir hukum itu adalah konstitusi UUD 1945. Ini merupakan metanorm yang meletakkan kewajiban positif pada siapapun termasuk negara di dalamnya untuk melakukan tindakan apapun guna memelihara ke-koherensian produk-produk hukum. Seluruh produk hukum yang dibuat di bawahnya bisa terkoreksi untuk kepentingan kolektif.

‘’Kepentingan kolektif, kepentingan fundamental manusia ini harus terefleksi dalam setiap kebijakan. Sebagai contoh kecil, seharusnya setiap daerah dapat mempraktikkan hal ini melalui Musrenbang. Hasil Musrenbang itu harusnya menjadi kekuatan dalam memformulasikan kebijakan. Yang saya lihat hanya sebagai formalitas. Harusnya hasil Musrenbang itu dikontrol atau dikawal terus hingga diformulasikan ke dalam produk hukum yang mengikat. Bukan diubah lagi dengan kepentingan partai politik, ketika sudah masuk di DPR,’’ jelasnya.

Hayyan juga menyoroti kebijakan hukum di DPR atau DPRD. Semestinya, kata magister jebolan Australia ini, di lembaga itu harus benar-benar orang yang ahli dalam satu bidang saat membuat suatu keputusan hukum. Kalau berbicara soal listrik, harus ahli di listrik. Soal nuklir, juga harus ahli di sana. Ini kan tidak, banyak yang buta huruf, tidak ahli di bidangnya duduk di DPR atau DPRD. Walaupun mereka didampingi oleh staf ahli, semua advice (nasihat) yang diberikan juga diabaikan jika tidak sesuai dengan kepentingan partai mereka, bukan kepentingan nasional. Dan mereka yang mengontrol staf ahli mereka, karena mereka yang menggaji staf ahli mereka.

Kenyataan ini juga sudah sering dikritik oleh mereka sendiri. Bagaimana mungkin para anggota DPR yang dulunya pengangguran, lalu duduk di dewan dan menentukan nasib masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, gagasan tentang perlunya lembaga independen ini dapat menutupi kelemahan demokrasi yang memilih wakilnya berdasarkan suara terbanyak. Bukan berdasarkan keahlian. Namun kita harus sepakat bahwa kita harus menghormati sistem demokrasi ini dengan segala kelemahan atau kekurangan, karena ini pilihan kita dan konstitusional.

Terkait adanya ketakutan pemerintah daerah dengan jeratan KPK dalam pengelolaan keuangan, menurut Hayyan, ini dapat dicegah dengan adanya skill atau keterampilan dalam pembuatan anggaran dan pertanggungjawaban keuangan Negara yang diikuti sistem pengawasan yang baik. Para pengemban penegak hukum juga mencermati mana perbuatan pidana yang dibuat karena memang sengaja. Mana perbuatan pidana yang terjadi karena ketidaktahuan, dan karena sistem. Ini sebenarnya tergantung bagaimana hakim melakukan pemeriksaan atas semua kasus-kasus pidana yang banyak menjerat aparat penyelenggara Negara. Jika dia melakukan kesalahan karena kesengajaan ini adalah kejahatan.

‘’Sistem yang membuat pelaku melakukan perbuatan melanggar hukum. Harusnya penegak hukum juga berpikir secara fair. Jangan mengambil keputusan secara literate. Tapi dia harus mengacu dan memeriksa penyebab seseorang melakukan perbuatan itu. Memang perbedaan di antara ketiganya sangat tipis. Inilah tugas hakim. Hakim harus bisa membuat penilaian (judgement). Bekerja secara tulus untuk membuat keadilan-keadilan berdasarkan keahlian dan nuraninya yang hanya diabdikan untuk melahirkan kualitas putusan yang baik dan adil yang dapat menjamin keutuhan dan sustainabilitas kehidupan bersama,’’ ungkap pria yang sering bolak-balik Indonesia-Belanda ini.

Peranan hakim sangat penting dalam menghidupkan norma. Hayyan  menutup perbincangan kami dengan menceriterakan ilustrasi tentang norma dari seorang sarjana hukum Belanda yang bernama Pitlo. Sesungguhnya, norma, aturan itu ibarat partitur-partitur lagu. Ia hanya benda mati yang tak bermakna apapun. Ia baru hidup ketika dimainkan. Jika partitur-partitur lagu ini dimainkan oleh orang yang pandai bernyanyi, maka lagu dan musik yang diperdengarkan juga indah didengar, karena sang penyanyi yang baik tidak saja pandai atau terampil menyanyikannya, tepi juga mampu menghayati dan bahkan mempengaruhi para pendengarnya. Semakin baik kualitas penyanyi itu, maka akan semakin merdu, indah dan menggugah lagu atau partitur yang diperdengarkan. Begitu pula halnya dengan norma atau aturan.

Dia baru bermakna dan hidup, jelasnya, ketika dijalankan dan ditegakkan oleh para pengembannya. Semakin baik kualitas pengemban hukumnya, maka semakin baik kualitas apresiasi dan penegakkan hukum atas norma tersebut. Pengemban hukum yang baik tidak saja terampil dalam menegakkan norm tadi, tapi juga mampu menghayati the true meaning and message of the norm/rules.*** 

Soroti Kompleksitas Benturan Hukum Indonesia

Hayyan ul Haq, Doktor Hukum Belanda dan Penulis di Puluhan Jurnal Ilmiah Dunia (1)

Cukup menarik berbincang soal hukum dengan LM Hayyan ul Haq SH LLM PhD. Doktor di bidang hukum yang mengajar di Universiteit Utrecht Belanda ini menjadi literature hidup dan sangat brilian ini, memahami implementasi hukum di Indonesia.

Catatan Mhd Nazir Fahmi, Den Haag

PERTEMUAN yang tidak disengaja dengan Hayyan di Den Haag Belanda. Saya dikenalkan dengan Hayyan oleh Ketua Asosiasi Tour dan Travel Riau Ibnu Mas’ud sehabis mengikuti pameran pariwisata dunia di ITB Berlin, Jerman. Di rumahnya yang sekaligus kantor, saya berbincang banyak soal persoalan hukum di Indonesia.

Hayyan, selain sebagai dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Mataram, juga mengajar, menyampaikan pelatihan dan stadium general di 11 perguruan tinggi terkenal di

Indonesia tentang epistemology dan metode dalam hukum, penulisan hukum dan publikasi. Ia juga menjadi penulis tetap di puluhan jurnal ilmiah dari berbagai penjuru dunia.

Menurut pria kelahiran Mataram, Lombok 20 November 1967 lalu itu, ada persoalan yang sangat mencekam dalam perjalanan pengembanan kualitas hukum Indonesia. Hal ini terlihat dari kompleksitas dan benturan berbagai aturan hukum di Indonesia. Hayyan merujuk pada laporan Asosiasi Parlemen Indonesia pada 2008 yang mencatat tidak kurang dari 1.016 peraturan daerah bertentangan satu sama lainnya. Lalu tiga tahun kemudian, pada 2011, Menkumham Patrialis Akbar saat itu menyatakan bahwa lebih dari 5.000 Perda berbenturan dan telah dibatalkan.

Dalam pandangan Hayyan, peraturan, norma itu adalah produk dari kesadaran kolektif. Secara akal sehat (common sense), norma-norma yang berbenturan itu merefleksikan kekacauan (chaos) dalam sistem kesadaran kolektif kita. Kenyataan ini amat mencekam karena akan menjadi prekondisi normatif bagi anarkisme yang dapat bermuara pada terhentinya sistem sosial.

‘’Benturan-benturan ini terjadi akibat cara pandang para pengemban hukum kita yang diametrik dalam pengembanan hukum. Secara teoritik, seharusnya pengembanan hukum diapresiasi sebagai suatu rangkaian aktivitas intelektual yang terintegrasi mulai dari penggalian norma-norma, pengkonstruksian, pembadanannya, pelaksanaannya, pendistribusian pengajarannya hingga mempertahankannya di pengadilan. Ia merupakan satu rangkaian aktifitas intelektual hukum yang utuh dan tidak terpisahkan,’’ kata suami Rini Oktalina, perempuan asal Sulit Air, Sumatera Barat ini.

Oleh karena itu, kata Hayyan, seharusnya seluruh aktor pengemban hukum yang terlibat dalam aktifitas pengembanan hukum itu, mulai dari pembuat UU, legislation maker, DPR, lalu yang menjalankannya, eksekutif, kemudian yang menegakkannya, yudikatif, dosen-dosen yang mengajarkannya, sampai para lawyer harusnya memiliki standar cara berpikir hukum yang diabdikan pada tujuan hukum.

Perbedaan pandangan yang sangat ekstrim, jelasnya, bahkan diametrik di antara para pengemban hukum kita ini disebabkan karena penginterpretasian dan pengapresiasian pengembanan hukum atas teks-teks atau aturan (norma) tidak didasarkan atas cara berpikir hukum yang standar, baik dalam tataran pengembanan hukum teoritik maupun praktis. Tapi lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan baik kelompok, golongan, individu, corporate dan lain sebagainya.

Bukan pada standar berpikir hukum yang mengabdi keadilan yang memperkuat keutuhan yang dapat menjamin sustainabilitas kehidupan bersama. Aturan yang saling berbenturan jelas akan menghalangi kepentingan masyarakat untuk berkembang. Bagaimana mungkin norma-norma yang berbenturan ini dapat menyelesaikan masalah kolektif, kalau dia sendiri menjadi sumber masalah itu.

‘’Bagaimana mungkin putusan dan pandangan atas satu perkara atau kasus yang sama mengandung perbedaan yang sangat ekstrim, diametrik bahkan saling menegaskan? Itu berarti ada salah satu di antara kedua cara pandang itu yang mengandung kesalahan. Secara logis, tidak mungkin kedua-duanya benar dalam membuat putusan terhadap kasus yang sama. ‘’Saya tidak mempersoalkan apalagi menabukan perbedaan pandangan atas suatu pendapat atau masalah hukum. Tapi yang saya soroti adalah cara pandang dan cara berpikir hukum para pengemban hukum kita ini tidak boleh berbeda. Karena metode berpikir hukum dalam memformulasikan kebenaran itu eksak dan rigid. Jadi, apapun input-nya, jika diolah dengan cara berpikir hukum yang standar tidak akan melahirkan putusan-putusan yang kontroversial,’’ jelas penulis artikel di berbagai media nasional ini.

Di Eropa, Amerika, Australia, dan negara-negara lain yang memiliki tradisi panjang dalam membangun kualitas pengembanan hukumnya, katanya, sebagai perbandingan, sebagian besar kualitas advis yang diberikan oleh lawyer-nya memiliki kesimetrikan atau hampir sama dengan apa yang akan diputuskan oleh hakim. Ini mudah dimengerti karena komunitas pengemban hukum mereka memiliki cara pandang yang sama atau standar dalam pengembanan hukumnya.

Hal ini, lanjutnya, dapat diawali dengan bagaimana membangun dan memahami konsep norma, norma yang valid, apa elemen-elemen norma yang valid dan seterusnya. Bagaimana cara mengapresiasi  norma yang memiliki validitas dan kepantasan dalam menata sistem sosial.(bersambung)
 

Jual Rendang dan Nasi Padang

Ambil Peran di Bursa Pariwisata Terbesar Dunia ITB Berlin (3)

Internationale Tourismus Borse (ITB) Berlin 2013 memang luar biasa. Ajang bursa pariwisata bergengsi kelas dunia yang dilangsungkan di Messe Berlin, Jerman, pada 6-10 Maret 2013 menampilkan beragam kemolekan alam dan budaya dari 188 negara di dunia. Negara bergolak sekalipun seperti Mali misalnya, tetap menjual pariwisatanya.

Laporan Mhd Nazir Fahmi, Berlin mhdnazirfahmi@yahoo.com


Messe Berlin, tempat pelaksanaan ITB Berlin sangat luas. Mengitarinya selama dua jam, belum semua stan terjelajahi. Ada 26 halls di bangunan seluas 160.000 meter persegi. Ada 10.086 eksibitor memamerkan beragam produk dan jasa dari 188 negara. Mau menjelajahinya, harus siapkan tenaga ekstra.
  Tahun 2013 ini, 50 persen lokasi pameran dikuasai oleh negara-negara Eropa. Mereka juga menjual tempat-tempat wisatanya. Perusahaan jasa perjalanan dan penerbangan sangat mendominasi. Penguasa kedua adalah dari Asia. 24 persen lokasi pameran dikuasai negara-negara Asia. Lalu ada Amerika Utara dan Timur Tengah di posisi 9 persen. Afrika, Amerika Tengah dan Selatan ada di posisi 4 persen.
  Indonesia sudah ikut di ITB Berlin sejak tahun 1967. Tahun ini Indonesia sangat istimewa. ITB Berlin mempercayakan Indonesia sebagai Official Partner Country. Di antara negara-negara ASEAN, baru Indonesia yang dipercaya sebagai Official Partner Country. Giliran mendapatkan kepercayaan itu, baru bisa didapat 10 tahun sekali.

Paviliun Indonesia tampil dengan ikon berupa kapal phinisi.

Ada bendera merah putih sebagai layarnya. Ini merupakan konsep Heart Matters yang diusung tim Wonderful Indonesia. Heart Matters merupakan ungkapan segala sesuatu terkait kehidupan bangsa Indonesia, meliputi: human (manusia), earth (bumi) dan art (seni).
  Kapal phinisi merupakan bentuk wujud fisik dan salah satu bentuk terjemahan dari ketiganya (Heart Matters). Kapal phinisi nyatanya memang merupakan transportasi laut masyarakat bahari di Nusantara sejak dahulu yang hidup di wilayah kepulauan dan didominasi perairan.
  Salah satu buktinya adalah bentuk kapal ini terpahat dalam relief Candi Borobudur. Selain itu, kapal phinisi juga merepresentasikan bentuk kearifan lokal luar biasa yang lahir dari hati dan pikiran masyarakat Nusantara dari dulu hingga kini. Dua layar multimedia di paviliun juga menampilkan kearifan-kearifan lokal tersebut.
  Ternyata, diangkatnya phinisi sebagai ikon paviliun juga menjadi upaya yang sejalan dengan rencana meningkatkan program wisata bahari di Indonesia. Hal itu dapat terlihat dengan banyaknya helat pariwisata bertema bahari berlangsung di negeri ini, seperti Sail Bunaken, Sail Banda, Sail Wakatobi-Belitung, Sail Morotai dan Sail to Indonesia.
  Perumusan konsep paviliun phinisi dalam ITB Berlin 2013 melibatkan berbagai pihak, seperti perancang interior dan pameran, perancang konsep komunikasi, perancang grafis dan juga multimedia. Semuanya masuk dalam tim kreatif yang diarahkan dan dibantu oleh Tim Promosi dan Pemasaran Kemenparekraf.
  Dalam pembangunan paviliun sendiri, pelaksanaannya diserahkan pada official contractor di Berlin yang sudah terbiasa membangun konstruksi di Gedung Messe Berlin. Bahan penyusun paviliun adalah sebagian besar lantai dasar menggunakan laminated wood dan karpet serta ada bagian lantai atas yang berupa dek phinisi untuk menampung jumlah peserta dan pengunjung. Ada pula tiang-tiang struktur besi dilapis plywood.
  Railing pagar keliling lantai dek berbahan stainless stell sehingga tetap berkesan modern. Ornamen penghias paviliun berupa ukiran Bali. Paviliun Indonesia ada dua lantai. 84 eksibitor asal Indonesia memenuhi ruangan paviliun. Ada travel perjalanan, hotel, resort hingga spa. Panggung besar di sudut kanan paviliun, jadi tempat mempromosikan kekayaan seni dan budaya Indonesia.
  Pada hari kedua pameran, panggung Indonesia penuh kegiatan. Dimulai dengan perpaduan seni dan kreatifitas. Ada musik sasando dari Nusa Tenggara Timur yang membuat pengunjung berdecak kagum. Sambil melantunkan lagu tradisional dan Barat, di atas panggung juga ada perempuan cantik sedang membatik. Ada juga perempuan sedang menenun kain dari Nusa Tenggara Timur.
  Pengunjung pun diajak interaktif. Diajak menenun dan membatik. Ramai yang ikut. Ramai yang ingin mencoba. Alunan musik sasando tetap menjadi perhatian orang ramai. Selain musiknya unik, lantunan melodi juga sangat mendayu.
  Penampilan dari Sumatera Barat tak kalah hebatnya. Tari carano dengan musik talempong dan saluang, membuat suasana di paviliun Indonesia heboh. Apalagi tarian diiringi lagu Minang, membuat penonton makin ramai di depan panggung. Ketika seorang penari membawa bungkusan ke tengah panggung, banyak pasangan mata terheran. Si penari membuka bungkusan dan ternyata ada pecahan kaca, banyak mata terheran-heran.
  Ada apa gerangan? Tiga penari membawa piring di tangan pun muncul di tengah pagung. Dengan hentakan musik Minang, mereka menari dengan dinamis. Ya, tari piring yang ditampilkan oleh Sanggar Setampang Baniah yang dibawa istri Gubernur Sumatera Barat, Nevi Irwan Prayitno. Lalu berikutnya menyusul tiga penari lain dengan membawa payung.
  Saat penari menghentak-hentakan kaki di atas pecahan kaca, banyak penonton agak menjauh dari panggung. Takut kena lentingan kaca. Tapi rasa kagum dari penonton datang setelah tari usai. Banyak yang minta foto bersama para penari.
   Penampilan budaya sangatlah penting dalam ITB Berlin. Apalagi Indonesia satu tempat dengan negara-negara Asia lainnya yang punya budaya beragam. Ada Kamboja, Cina, Korea, Hongkong, Jepang, Laos, Macao, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand dan Vietnam.
  Semua negara ini memiliki cita rasa tari dan penampilan budayanya. Apalagi Indonesia setiap tahunnya bertetangga dengan Malaysia. Selalu saling ingin unggul dari yang lainnya. Jika Indonesia membawa banyak swasta ke ITB Berlin, Malaysia juga tak ketinggalan. Mereka juga membawa swasta.
  Malaysia menampilkan semua negerinya dengan beragam wisata. Di paviliun Indonesia, juga ada stan Garuda Indonesia. Ada juga booth Papua-Indonesia. Ada tempat spa. Pamflet nasi padang dengan rendangnya serta nasi goreng banyak dijumpai. Tentu saja tak ketinggalan batik. Tempat makan yang ada masakan tradisional Indonesia selalu ramai pengunjung, walau yang masaknya terlihat banyak orang Thailand.
  ITB Berlin yang diselenggarakan selama empat hari telah menghasilkan transaksi yang luar biasa dalam dunia pariwisata. Bagi Indonesia, Jerman adalah tempat strategis. Wisatawan Jerman yang berkunjung ke Indonesia sepanjang 2012 tercatat ada 153.000 orang dan mereka adalah quality tourist alias wisatawan berkualitas atau berkelas. Mereka membelanjakan uangnya lebih banyak yaitu sekitar 2.240 dolar AS dan masa tinggal lebih lama rata-rata selama 2 pekan.
  Kini saatnya Riau mengambil peran dalam kegiatan pariwisata dunia. Mungkin tahun depan ada sinergi antara Pemda dengan operator tour dan travel yang akan menjual wisata di Riau. ‘’Kalau perlu Riau buka stan sendiri agar mudah seperti yang dilakukan Papua,’’ kata Ketua Asosiasi Tour dan Travel Riau, Ibnu Mas’ud.
  Total kunjungan wisatawan mancanegara yang membelanjakan dolarnya di Indonesia tercatat lebih dari 8 juta orang atau tumbuh sebesar 5 persen dari tahun sebelumnya.Pariwisata juga merupakan salah satu sektor penting bagi penggerak laju perekonomian Indonesia sebagai kontributor ke-5 penyumbang devisa negara. Tak kurang dari 3,2 juta penduduk Indonesia bergantung pada sektor ini.
  Kini saatnya Riau mengambil peran dalam kegiatan pariwisata dunia ini. Mungkin tahun depan ada sinergi antara pemerintah daerah dengan operator tour dan travel yang akan menjual wisata di Riau. ‘’Ya kalau perlu Riau membuka stan sendiri agar mudah menjual wisata daerah seperti yang dilakukan Papua,’’ kata Ketua Asosiasi Tour dan Travel Riau, Ibnu Masud.***

Ada Tari Piring, Eh... Zapin Tampil di Stand Malaysia

Ambil Peran di Bursa Pariwisata Terbesar Dunia ITB Berlin (2)

Riau punya potensi besar bisa tampil di Pameran Pariwisata Terbesar Dunia atau Internationale Tourismus-Borse (ITB) Berlin. Tempat wisatanya bisa dijual, khasanah budayanya juga bakal menarik wisatawan.


Laporan Mhd Nazir Fahmi, Berlin mhdnazir fahmi@yahoo.com

Ingin rasanya melihat Tari Zapin dibawakan oleh orang Riau di arena besar ITB Berlin, seperti halnya Tari Piring yang tampil memikat dibawakan gadih dan bujang Minang.

Alunan musik zapin terdengar membahana di hall 26 A Messe Berlin. Ratusan pasang mata seakan tak berkedip melihat bujang dan dara Melayu menari mengikuti alunan musik.

Benar-benar rasa Melayu membahana. Namun sayang, zapin yang tampil adalah di stand-nya Malaysia. Berbagai warna kulit menyaksikannya dengan seksama.

Decak kagum melihat gerak tari dan musik yang ditampilkan. Usai pertunjukan, penonton diajak mengikuti tari tersebut. Satu persatu penari menarik penonton ke panggung. Musik pun kembali didendangkan. Benar-benar edukasi tari zapin. Bule-bule pun diajar menari Melayu ini.

Walau susah, mereka dengan senang hati ikut menari. Agak kecewa melihat kenyataan ini. Tapi ini realitas.

Harapan terbesar sebenarnya ada pada Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu. Riau yang sangat layak menampilkan cita rasa Melayu di pentas dunia. Namun sayang seribu sayang, Riau tak ikut dalam kesempatan besar ini.

Untung ada tari payung dan piring sebagai pengobat hati. Masih ada tarian Melayu di tengah penuh sesaknya tempat pelaksanaan ITB Berlin.

Ya, Melayu Minang. Alunan talempong khasnya Sumatera Barat membahana di paviliun Indonesia. Sampai-sampai sudut hall 26 yang berisi negara-negara Asia Tenggara, masih terdengar bunyi-bunyian asal Ranah Minang tersebut.

Satu tarian pertama, benar-benar memukau banyak pengunjung yang hadir. Tari piring, dibawakan dengan sangat dinamis oleh uda dan uni.

Makin menumpuk orang-orang ingin menyaksikan dari dekat tarian tersebut. Blits kamera tak henti-hentinya berkilau, saat tarian ditunjukkan.

Berikutnya tari payung. Tak kalah suksesnya dari tarian sebelumnya. Berbagai suku bangsa melihat pertunjukan tersebut. Tepuk tangan bergemuruh ketika tarian diselesaikan dengan baik.

Bukan bermaksud membandingkan, Sumatera Barat benar-benar fokus menjual pariwisatanya. Sebenarnya, dari segi alam, Sumatera Barat sudah sangat menjual.

Tapi kenapa masih terus hadir di kegiatan ITB Berlin? Ya, itulah namanya menanamkan kesan sedalam-dalamnya kepada pihak luar bahwa pariwisata dan budaya Sumatera Barat terus berkembang dan datanglah.

Makanya, sepeda motor Honda sampai sekarang masih terus branding produknya. Untuk apa sih, kan sepeda motornya sudah laku keras.

Begitu juga Indomie yang sudah punya label kuat tetap terus pasang iklan di televisi-televisi nasional. Semuanya berujung pada penanaman image di masyarakat. Biar orang ingat terus. Itu kuncinya.

Begitu pula di dunia pariwisata. Ini kan industri. Bukan pekerjaan yang acak-acakan. Bukan asal bapak senang, ABS. Bukan hanya sekadar ngomong. Tapi harus ada tindakan dan realisasi.

Pariwisata harus dijual. Dikemas dengan baik. Apa sih kurangnya Riau? Alamnya juga bisa dieksploitasi menjadi tujuan wisata. Terbukti, saat Majalah Tour de Riau diperkenalkan di ITB Berlin, banyak orang menyebut beautiful. Indah dan cantik.

‘’Kita ingin terus menanamkan kesan di masyarakat dunia bahwa Sumatera Barat itu tempat wisata yang bagus. Budayanya beragam. Tari-tarian memesona. Makanannya enak-enak,’’ kata istri Gubernur Sumatera Barat, Nevi Irwan Prayitno kepada Riau Pos di lokasi pameran.

Menurut Nevi, di ITB Berlin, Sumatera Barat membawa penari dari Sanggar Setampang Baniah. Mereka menampilkan tari piring dan payung serta beberapa tarian lainnya.

‘’Kita datang ke sini sebanyak 21 orang. Terbanyak itu untuk penari. Makanya, selama di sini kesempatan yang ada digunakan untuk memperkenalkan Sumatera Barat di mata dunia,’’ kata Nevi. Rencananya, kata Nevi, tari-tarian Minang ditampilkan di acara pembukaan. Tapi karena padatnya acara, batal dilaksanakan. ‘’Makanya, mulai tanggal 6 hingga 7 Maret, kita akan terus tampil di panggung. Kita terus tampilkan tari-tarian Minang. Kita juga diliput CNN dan RBB Tv,’’ ujar Nevi lagi.

Keseriusan menggarap pariwisata juga diakui H Yulman Hadi, Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Sumatera Barat yang turut mendampingi Nevi di ITB Berlin. DPRD, katanya, sangat mendukung langkah pemerintah provinsi dan kabupaten dalam membangun dunia pariwisata Sumatera Barat.

‘’Kita terus minta dianggarkan dan menyetujui dana membangun wisata di daerah. Ada yang mengusulkan kita setujui. Masing-masing daerah diberi dana untuk pengembangan wisata,’’ kata Yulman.

Wali Kota Sawahlunto Ir Amran Nur juga terlihat dalam rombongan Sumatera Barat. Sawahlunto yang sudah berhasil membangun tempat pariwisata baru terus ingin eksis di mata wisatawan domestik dan mancanegara.

‘’Sawahlunto terus mengembangkan industri pariwisata. Kalau kita tidak ambil bagian dalam industri ini, kita akan ketinggalan. Berapalah hasil sumberdaya alam dan itu semua bakal habis. Tapi kalau pariwisata, selagi masih dikelola tidak akan habis dan menghasilkan devisa yang luar biasa,’’ kata satu dari tujuh kepala daerah yang menjadi Tokoh Pilihan Tempo 2012 ini.

Sawahlunto adalah bukti nyata pengelolaan yang serius dalam industri pariwisata di Sumatera Barat. Diakui Wako, dari tahun ke tahun tingkat kunjungan terus meningkat. Banyak orang datang, banyak pula yang bisa dijual. Infrastruktur pun terus disiapkan Pemko.(bersambung)

Jual Riau, Orang Jerman Kaget Ada Komet di Siak

Ambil Peran di Bursa Pariwisata Terbesar Dunia ITB Berlin (1)

Pameran Pariwisata Terbesar Dunia atau Internationale Tourismus-Bvrse (ITB) yang diselenggarakan di Berlin, Jerman 6-10 Maret 2013 benar-benar menjadi ajang jual beli tempat wisata di dunia. Kesempatan luar biasa menjual pariwisata Indonesia di mata dunia. Termasuk menjual Riau.

Laporan Mhd Nazir Fahmi, Berlin. mhdnazirfahmi@yahoo.com

SEBANYAK 187 negara yang ambil bagian, menampilkan potensi wisata di negaranya. Tahun ini, Indonesia dipercaya menjadi Official Partner Country ITB Berlin. WONDERFUL Indonesia terpampang di mana-mana. Di buku katalog ITB Berlin, sampul depannya beberapa tempat pariwisata terkenal di Indonesia. Candi Borobudur, Tari Pendet, Bali serta orang utan di Kalimantan. Batik dan rendang juga menjadi tema pamflet. Pariwisata petualangan di Kalimantan ditampilkan di gambar digital di both Indonesia. Begitu juga Danau Toba, Pulau Seribu hingga Raja Ampat Papua Barat, diputar terus menerus.

Lama menyaksikan pemutaran video itu, ternyata tempat terkenal di Riau tak muncul juga. Berharap ada Bono yang digadang-gadangkan mewakili pariwisata Riau di ajang internasional, tak ada di video tersebut. ‘’Sayang ya, kok tak ada Bono muncul di video tersebut,’’ kata Ibnu Mas’ud, Ketua Asita Riau yang hadir di ITB Berlin.

Tak ingin berlama-lama dengan rasa sayangnya itu, Ibnu yang sejak awal berinisiatif memperkenalkan potensi wisata Riau di panggung internasional, bergegas mengambil majalah Tour de Riau. Majalah ini berisi tempat wisata di Riau, terutama yang ada di Kabupaten Siak dan Pelalawan. Di Siak, ada Giam Siak dan Istana dengan Kometnya. Di Pelalawan tentu saja dengan Bono-nya.

Di pusat informasi both Indonesia yang ‘’dikuasai’’ Bali, Ibnu turut berdiri di sana. Setiap pengunjung yang datang, dia pun menyodorkan Tour de Riau. Cover depan majalah adalah kemolekan Cagar Biosfer Giam Siak Bukit Batu. Ada juga gambar Komet yang ada di Istana Siak. Cover belakangnya Bono di Kuala Kampar Pelalawan.

Seorang warga Jerman pun kaget ketika dijelaskan Ibnu soal Komet. Komet in Siak, Komet in Germany. Begitu judul besar yang ada di majalah tersebut. Ibnu pun menjelaskan bahwa di dunia ini ada dua Komet. Satu ada di Siak, Riau dan satu lagi ada di Jerman. Kalau di Siak, katanya, masih bisa dioperasikan, tapi kalau di Jerman, sudah tak bisa lagi. Komet di Siak dimaksud, sejenis Gramafon besar terbuat dari tembaga dengan piringan berdiamter 1 meter dan terbuat dari bahan kuningan yang dapat mengeluarkan bunyi-bunyian musik klasik yang merupakan barang kuno buatan Jerman. Konon, Gramafon ini hanya ada dua didunia yaitu di Jerman dan Istana Siak.

Mendengar ini, warga Jerman tersebut tambah kaget. Sambil mangut-mangut, dia pun cepat meraih majalah tersebut. Namun dia bertanya, di mana Riau itu. Di mana Siak itu.

‘’Banyak mereka yang kaget setelah melihat beberapa potensi wisata di Riau. Beberapa wisata petualangan masih sangat alami. Seperti di Giam Siak, Bono hingga melihat satwa liar di Tesso Nilo. Mereka mengaku baru tahu kalau ada di Indonesia dan itu ada di Riau,’’ aku Ibnu.

Ibnu tanpa rasa capek terus membagi-bagikan majalah. Setiap orang lewat di depan both Indonesia, dia tawari. Ada yang menolak. Namun lebih banyak yang mengambil dan membacanya. ‘’Tak ada rasa capek. Yang penting Riau dikenal orang di tempat ini,’’ kata pemilik PT Muhibbah Mulia Wisata Tour dan Travel ini.

Inisiatif yang luar biasa telah dilakukan seorang Ibnu Mas’ud. Sebagai Ketua Asosiasi Tour dan Travel Riau, perannya benar-benar dinampakkannya. Sebenarnya dengan menjual paket Umrah dan Haji, Ibnu sudah eksis. Namun sebagai rasa tanggung jawab memajukan industri pariwisata Riau, dia rela habis-habisan.

‘’Kita berangkat ke ITB Berlin. Kita bergabung di both Trans Borneo dari Kalimantan Timur. Kita jual Riau di sana. Karena ada kesamaan paket wisata yang di jual yakni adventures atau petualangan. Hutan dan sungai kita hampir banyak kesamaan. Hanya saja kita lebih lengkap kekayaan flora dan fauna nya. Mudah mudahan  tahun depan atau tahun-tahun berikutnya ada pemerintah daerah kabupaten di Riau ingin jual pariwisata di ajang dunia tersebut,’’ katanya.

Keseriusan Bupati Siak Drs H Syamsuar MSi menjual pariwisata Siak disambut baik oleh Ibnu. ‘’Pak Bupati mendukung penuh kita bawa Komet, Danau Zamrud dan Giam Siak ke ITB Berlin. Paling tidak orang mengenal lebih dulu tempat-tempat wisata ini. Makanya di Majalah Tour de Riau kita tampilkan Cagar Biosfer Giam Siak dan Komet,’’ katanya.

Sebenarnya, Bono juga cukup menjual. Selain majalah, VCD tentang Bono juga dibagi-bagikan di ITB Berlin. ‘’Kita juga kontak Pemkab Pelalawan melalui Kadis Pariwisatanya. Mereka juga menitip VCD tentang Bono. Ternyata, banyak yang tidak tau kalau ada Bono yang luar biasa di Pelalawan, Riau,’’ ujarnya.(bersambung)

Desa Wisata versus Sate Danguang Danguang

DINGINNYA Lembah Harau, terusir oleh setongkol jagung bakar. Sebungkus sate, terhidang. Aromanya mengelitik perut. “Ini sate danguang dangua...