Berebut Ladang CPP
BLOK Coastal Plains Pekanbaru (CPP) begitu menggiurkan banyak pihak. Ladang yang kaya dengan minyak bumi berkualitas tinggi itu, mulai awal tahun 2000 begitu hangat dibicarakan rakyat Riau. Seiring dengan era reformasi dan otonomi daerah, ladang minyak yang mulai dikuasai PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) sejak 9 Agustus 1971 itu, harus jatuh ke tangan Riau setelah habis masa kontrak selama 30 tahun. Namun setelah melewati perjalanan panjang, akhirnya Selasa 6 Agustus 2002 Provinsi Riau berhasil mendapat peran dalam pengelolaan Blok CPP. Keinginan besar masyarakat Riau itu pun jadi kenyataan, setelah PT CPI menyerahkan Blok CPP kepada pemerintah dan dilakukan penandatanganan kontrak kerja sama penguasaan pada hari itu. Dan pukul 00.00 Kamis 8 Agustus 2002, CPP pun resmi dikelola Riau.
Walau pun sudah resmi dikelola oleh Riau melalui PT Bumi Siak Pusako (BSP) yang bekerjasama dengan Pertamina Hulu, namun antiklimaks perjuangan mendapatkan Blok CPP bukanlah hanya pada hari itu. Memang, tanggal 8 Agustus 2002 merupakan saat bersejarah dengan berakhirnya kontrak PT CPI di Blok CPP, tapi ada beberapa hari yang bersejarah lagi dalam proses penguasaan tersebut. Pada 7 Agustus 2001 setahun lalu, setelah kerasnya tuntutan dari berbagai komponen masyarakat Riau, akhirnya pada hari itu lahirlah sebuah kesepakatan dan diakomodirnya tuntutan masyarakat Riau tentang pengelolaan Blok CPP. Kala itu, berdasarkan hasil pertemuan Tim Negosiasi Riau, Pertamina, Direktur Jenderal Minyak dan Gas serta Direktur PT CPI maka dihasilkan empat butir kompensasi Blok CPP bagi Provinsi Riau. Kesepakatan kompensasi tersebut, langsung ditandatangani pihak-pihak yang melakukan perundingan. Dari Riau penandatanganan kesepakatan itu dilakukan Wakil Ketua DPRD Riau Drs Wan Abubakar, dari PT CPI oleh Presiden Direktur Humayunbosha, sementara dari Pertamina ditunjuk Effendi Situmorang untuk menandatangani.
Adapun empat butir kompensasi yang disepakati itu menyangkut persiapan pengoperasian Blok CPP, pengembangan pendidikan masyarakat Riau, fasilitas untuk masyarakat tempatan dan kebutuhan operasi. Merasa tuntutan sudah diperhatikan, ancaman dari Aliansi Riau untuk Rebut Blok CPP (Aruk) untuk menduduki sejumlah ladang minyak yang merupakan bagian dari Blok CPP akhirnya dibatalkan.
Beranjak dari berbagai kesepakatan tersebut, maka dimulailah berbagai langkah baru. Dan dalam hal ini sudah mengikutsertakan perwakilan dari Kabupaten Siak dalam Tim Negosiasi Riau untuk mendapat hak pengelolaan Blok CPP tersebut. Dan tanggal 3 Januari 2001, sebuah sejarah panjang perjuangan mendapatkan hak pengelolaan di Blok CPP membuahkan hasil. Pada hari itu ditandatangani Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemprov Riau dan Pertamina tentang pengelolaan Blok CPP pasca 8 Agustus 2002.
Pada kesempatan tersebut disepakati secara bulat pengelolaan Blok CPP mengikutsertakan Riau dan dalam berbagai perundingan antara Pertamina dan Tim Negosiasi Blok CPP, juga diikutsertakan perwakilan dari Kabupaten Siak. Selanjutnya, salah satu dari hasil berbagai perundingan itu, kemudian ditunjuk PT BSP sebagai pengelola Blok CPP. Setelah adanya kesepakatan memberi kesempatan kepada Riau untuk mengelola Blok CPP, polemik baru pun muncul seiring ditunjuknya PT BSP sebagai pengelola Blok CPP. Persoalan pembagian saham antara Kabupaten Siak dengan Pemprov Riau menjadi persoalan serius.
Di mana DPRD Siak, memutuskan bahwa dalam penyertaan saham pada PT BSP itu, Siak harus menguasai 70 persen dari keseluruhan saham. Hanya saja, ternyata keinginan ini mendapat benturan dari Gubernur Riau H Saleh Djasit SH. Dalam suatu pertemuan dengan Tim Blok CPP, Gubri sempat melontarkan bahwa saham untuk Siak semestinya hanya 40 persen. Sisa saham lainnya, 40 persen untuk Pemprov dan 20 persen lagi untuk daerah penghasil lainnya. Hanya saja keinginan Gubri tersebut tentu saja tak bisa diterima oleh perwakilan dari Kabupaten Siak, sebab yang mereka bawa adalah suara rakyat, berdasarkan hasil keputusan DPRD Siak.
Polemik soal saham terus berlanjut. Tanggal 20 April 2002, Gubri mengeluarkan SK tentang Tim Perumus Penetapan Modal (saham) pada PT BSP. SK itu mendapat reaksi keras dari komponen masyarakat Siak. Beberapa komponen masyarakat di Siak menyebut SK tersebut cacat hukum. Alasannya, berdasarkan SK tersebut, salah satu konsideran penetapan SK itu berdasarkan pertemuan yang dilakukan 30 Maret 2002, tentang Tim Penetapan Penyertaan Modal pada PT BSP dalam pengelolaan Blok CPP pasca 8 Agustus hari ini. Yang menjadi keberatan komponen masyarakat Siak ini adalah, karena pertemuan 30 Maret itu yang disepakati adalah tim penetapan, bukan tim perumus seperti dalam SK Gubri tersebut.
25 April 2002, Tim Blok CPP kembali mengadakan pertemuan terkait pembagian saham lagi. Pertemuan yang dipimpin Sekdaprov Arsyad Rahim itu ternyata tidak membuahkan hasil, karena Siak tetap bertahan pada angka 70 persen pada PT BSP. Sementara dari Pemprov sendiri, tetap pada pendirian bahwa Siak tidak lebih dari 50 persen dari saham pada PT BSP. Akhirnya pertemuan itu tidak membuahkan hasil dan komposisi saham pada PT BSP masih belum terpecahkan. Jadi tak heran, kalau pada penyerahan dan penandatanganan penyerahan Blok CPP kepada Riau beberapa bulan lalu itu, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro juga sempat menyinggung masalah pembagian saham pada PT BSP yang hingga hari ini belum selesai.
Purnomo menegaskan bahwa soal saham tersebut adalah masalah daerah. Untuk itu dia meminta untuk diselesaikan di tingkat daerah. Dan dia yakin Pemprov Riau dan Pemkab Siak bisa menyelesaikan masalah ini secara bijak.
Reformasi
Sebenarnya kalau dirunut kembali, menghangatnya pembicaraan Blok CPP sudah dimulai awal tahun 2000 lalu bersamaan dengan proses reformasi di negeri ini. Pada bulan Maret 2000, berbagai pembicaraan baik itu di Riau, maupun pusat sudah menggaung-gaungkan Blok CPP.
Ketika itu persoalan kepemilikan saham oleh Pertamina di CPP menjadi perdebatan sengit. Seperti pada tanggal 4 April 2000, Direktur Eksplorasi dan Produksi Pertamina Gatot K Wiroyudo kepada wartawan di Jakarta menyatakan, Pertamina menurunkan penawaran kepemilikan saham untuk mengelola lapangan minyak Blok CPP oleh Riau pasca 2001 menjadi 55 persen. Menyusul negosiasi bagi hasil blok tersebut dengan operatornya yaitu PT CPI. Pada hari yang sama dukungan terhadap Pemprov Riau dalam pengelolaan Blok CPP juga mengalir dari berbagai pihak termasuk anggota Komisi VIII DPR RI Prito Budi Santoso dan dia mengatakan bahwa DPR mempunyai semangat yang sama dengan Pemprov Riau untuk mengelola Blok CPP.
1 Mei 2000, Vice President General Affairs PT CPI T Amir Sulaiman SE Ak kala itu menyatakan, keinginan Pemprov Riau untuk turut serta dalam kepemilikan Blok CPP hendaknya memperhatikan biaya yang dikeluarkan untuk operasi itu. Karena untuk memiliki saham di blok tersebut, Pemprov Riau harus turut serta menyertakan investasinya untuk biaya operasional. Namun, pada hari yang sama kala itu, telinga orang-orang Riau panas mendengar pernyataan dari Direktur Pertamina Baihaki Hakim. Baihaki menyebut bahwa keinginan pemerintah untuk mengikut sertakan Pemprov Riau mengelola Blok CPP dianggap mempersulit perundingan Pertamina dengan PT CPI.
Karena adanya pernyataan dari Baihaki tersebut, membuat Gubernur Riau H Saleh Djasit angkat bicara esok harinya. Saleh mengharapkan agar Riau dilibatkan dalam perundingan antara Pertamina dengan PT CPI tersebut. Tanggal 3 Mei 2000, sebuah peristiwa penting terjadi di Riau. Di tengah menghangatnya pembicaraan soal Blok CPP saat itu Presiden KH Abdurrahman Wahid datang ke Pekanbaru untuk menghadiri sebuah acara. Tentu saja kehadiran Gus Dur di Pekanbaru saat itu diharapkan menjadi momen penting apalagi terkait Blok CPP.
Dan memang, saat itu Gus Dur mengeluarkan pernyataan bahwa Blok CPP akan diserahkan kepada Pemprov Riau setelah berakhirnya masa kontrak PT CPI tahun 2001. Namun, karena sebelumnya Gus Dur sering membuat pernyataan kontroversial dan setelah itu diubahnya sendiri, maka berbagai kalangan di Riau pesimis dengan kata-kata Gus Dur tersebut.
Mega Perpanjang
Sebenarnya kalau kembali kesejarah awal, tanggal 8 Agustus 2001, seharusnya penguasaan Blok CPP sudah habis masa kontraknya oleh PT Caltex Pacific Indonesia (CPI). Hanya saja, karena pemerintah pusat menganggap Riau belum siap untuk mengelolanya, maka kontraknya diperpanjang satu tahun oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Ketika presiden masih dijabat oleh KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, upaya memperjuangkan Blok CPP sempat terjadi tarik ulur. Sang presiden yang dikenal selalu mengeluarkan pernyataan kontroversial tersebut, ternyata berpengaruh besar terhadap perebutan Blok CPP.
Di saat kedatangannya di Pekanbaru 3 Mei 2000, dia menyebut bahwa Riau berhak mengelola sebagian besar sumberdaya alamnya. Lalu pada kesempatan lain muncul pernyataan, bahwa sesungguhnya Riau itu tak ada apa-apanya. Di tengah-tengah adanya pernyataan Gus Dur yang berubah-ubah tersebut, sebenarnya gerak dan langkah perjuangan tetap jalan. Setelah Gus Dur menyebut Riau berhak mengelola Blok CPP, keesokan harinya tanggal 4 Mei 2000, Mentamben Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa Riau pasti akan mendapat bagian dalam pengelolaan Blok CPP sesuai dengan pertimbangan dan keadilan.
Pada tanggal 22 Mei 2000, pemerintah memberi waktu satu bulan kepada Pemprov Riau untuk menentukan empat opsi dalam pengelolaan Blok CPP. Empat opsi tersebut yakni, pertama, Pemprov Riau bersedia bekerjasama dengan Caltex dan Pertamina. Opsi kedua, Pemprov Riau bekerjasama dengan Caltex saja. Opsi ketiga, Pemprov Riau bekerjasama dengan Pertamina saja. Dan opsi keempat, Pemprov Riau memilih sendiri mitra lokalnya dalam mengelola Blok CPP.
Menindaklanjuti semua itu, pada hari-hari berikutnya dalam bulan Mei 2000 tersebut, pemerintah, Pertamina, Caltex dan Pemprov Riau menyepakati satu opsi untuk menyelesaikan masalah Blok CPP. Gubri Saleh Djasit SH menyatakan kala itu, satu opsi tersebut adalah kebebasan bagi Pemprov Riau untuk memilih sendiri mitranya dalam mengelola Blok CPP.
Dengan adanya opsi tersebut, Riau berusaha mempersiapan berbagai hal untuk pengelolaan Blok CPP. Termasuk mempersiapkan proposal teknis pengelolaannya. Hingga mencari mitra Pemprov Riau untuk mengelola Blok CPP tersebut. Dalam upaya mencari mitra ini ternyata tidak mudah dan perjuangan memperebutkan Blok CPP kian berlarut-larut.
Dalam berlarut-larutnya perjuangan tersebut, kondisi perpolitikan tanah air sedang panas-panasnya. Pernyataannya yang sering kontroversial dan karena tidak punya ketetapan diri, Gus Dur didongkel dari kursi kepresidenan melalui Sidang Istimewa (SI) MPR. Posisi Gus Dur langsung digantikan oleh Megawati Soekarnoputri yang sebelumnya menjabat wakil presiden.
Di masa Megawati, perjuangan merebut Blok CPP tidaklah semudah membalik telapak tangan. Malah dalam masa awalnya memerintah, keputusannya telah menyebabkan marah masyarakat Riau. Pasalnya, dalam sebuah instruksinya yang diumumkan Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo tanggal 3 Agustus 2001, Mega memperpanjang kontrak Blok CPP selama satu tahun terhitung 8 Agustus 2001.
Keputusan presiden memperpanjang kontrak Blok CPP itu mendapat reaksi keras dari masyarakat Riau. Menyikapi keputusan presiden tersebut, sejumlah komponen masyarakat Riau, 4 Agustus 2001 menggelar rapat akbar di Balai Adat Provinsi Riau. Rapat akbar tersebut kemudian melahirkan wadah yang kemudian diberi nama Aliansi Riau untuk Rebut Blok CPP (Aruk) yang saat itu di bawah komando Al azhar.
Beberapa waktu setelah itu, Aruk mengancam akan melakukan aksi pemblokiran areal Caltex yang berada di Rumbai dan sejumlah ladang minyak yang ada di Riau. Aksi keras dari Aruk ini langsung mendapat respon dari Kapolda Riau dan mengatakan Riau Siaga I dalam penanganan ancaman aksi yang dilontarkan Aruk tersebut. Kini, Blok CPP sudah di tangan Riau. Sudah selayaknya ''proyek'' besar ini dikerjakan dengan serius dan penuh dengan tanggung jawab. Memang sampai detik terakhir, ternyata pembagian saham antara Pemprov Riau dengan Pemkab Siak belum juga tuntas. Belum lagi isu KKN dalam penerimaan karyawan di PT BSP. Hingga kini, dari 4.000 orang pelamar yang dinyatakan lulus seleksi administrasi ternyata belum ada kejelasan tentang nasib mereka.
Malah, isu yang santer muncul ke permukaan, lebih seratus orang karyawan PT BSP sudah menerima gaji dan sebagian besar orang yang sudah punya jabatan di BSP tersebut, memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan pimpinan-pimpinan BSP. Dan kini jelas sudah ada perebutan di ladang CPP.
Hanya saja dengan satu kata, Blok CPP harus dikelola dengan baik. Penyerahan penguasaan dari pemerintah melalui Pertamina, jangan disia-siakan. Kalau bisa pengelolaannya jauh lebih baik dari sebelumnya. Karena minyak bumi adalah devisa utama dari Indonesia dan itu jangan disia-siakan.(mhd nazir fahmi)
Statistik Operasi Blok CPP
Luas areal : 9.996 km bujursangkar
* Jumlah Lapangan : 25
* Jumlah Sumur : 465
* Produksi Bersih (BMPH) : 42.000
* Air Terproduksi (BAPH) : 392.000
* Jumlah Tenaga Kerja
- Penuh untuk CPP : 197
- Pendukung : 188
- Mitra Kerja : 518
* Biaya Produksi : 3 dolar AS/barel
NB : Data Juni 2002
Sejarah Blok CPP
Kontrak CPP ditandatangani : 9 Agustus 1971
Penemuan Ladang Minyak Pertama (Kasikan) : 1972
Sumur Minyak Pertama Mulai Berproduksi : 1975
1972: Ladang minyak Kasikan ditemukan
1973: Ladang minyak Pedada dan Terantam ditemukan
1975: Ladang minyak Kasikan dan Terantam berproduksi
Ladang minyak Zamrud ditemukan.
1976: Ladang minyak Pedada mulai berproduksi
Ladang minyak Beruk North East, Bungsu dan South Bagan Belada ditemukan.
1977: Ladang minyak Damar, Kotagaro dan Sabak mulai berproduksi.
Ladang minyak Gatam, Pusaka dan South Zamrud ditemukan.
1978: Ladang minyak Benua, Osam dan Paltan ditemukan.
1979: Ladang minyak Dusun ditemukan
Ladang minyak Osam dan Paitan mulai berproduksi
1980: Ladang minyak Nilam dan Ninik ditemukan
1981: Ladang minyak Beruk North East, Bungsu dan Gatam mulai berproduksi.
1982: Ladang minyak Bumi dan Butun ditemukan
Ladang minyak Zamrud mulai berproduksi
1984: Ladang minyak Pusaka, Dusun dan Benua mulai berproduksi
Produksi puncak CPP dicapai sebesar 99,4 MBOPD
1985: Ladang minyak Dorai dan North Beruk ditemukan
1986: Ladang minyak Giti ditemukan
1988: Ladang minyak Pak ditemukan
Ladang minyak North Beruk mulai berproduksi
1989: Sumur minyak Butun mulai berproduksi
1990: Sumur minyak Pak No 1 mulai berproduksi
1994: Injeksi air Zamrud mulai beroperasi
1997: Injeksi air Beruk mulai beroperasi
Š1998: Injekasi air Pedada mulai beroperasi
1999: Injeksi air Pusaka mulai beroperasi
2000: Target pencapaian program Zamrud - Pedada Zero Water Discharge.
2001: Kontrak pengelolaan Blok CPP oleh CPI berakhir 8 Agustus 2001.
Pemerintah memperpanjang kontrak pengelolaan Blok CPP oleh CPI untuk satu tahun, yakni hingga 8 Agustus 2002.
2002: Kontrak pengelolaan Blok CPP oleh CPI berakhir 8 Agustus 2002 dan pengelolaan diserahkan kepada Pertamina Hulu dan PT
Bumi Siak Pusako (BSP).
NB : Sumber dari PT CPI
BLOK Coastal Plains Pekanbaru (CPP) begitu menggiurkan banyak pihak. Ladang yang kaya dengan minyak bumi berkualitas tinggi itu, mulai awal tahun 2000 begitu hangat dibicarakan rakyat Riau. Seiring dengan era reformasi dan otonomi daerah, ladang minyak yang mulai dikuasai PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) sejak 9 Agustus 1971 itu, harus jatuh ke tangan Riau setelah habis masa kontrak selama 30 tahun. Namun setelah melewati perjalanan panjang, akhirnya Selasa 6 Agustus 2002 Provinsi Riau berhasil mendapat peran dalam pengelolaan Blok CPP. Keinginan besar masyarakat Riau itu pun jadi kenyataan, setelah PT CPI menyerahkan Blok CPP kepada pemerintah dan dilakukan penandatanganan kontrak kerja sama penguasaan pada hari itu. Dan pukul 00.00 Kamis 8 Agustus 2002, CPP pun resmi dikelola Riau.
Walau pun sudah resmi dikelola oleh Riau melalui PT Bumi Siak Pusako (BSP) yang bekerjasama dengan Pertamina Hulu, namun antiklimaks perjuangan mendapatkan Blok CPP bukanlah hanya pada hari itu. Memang, tanggal 8 Agustus 2002 merupakan saat bersejarah dengan berakhirnya kontrak PT CPI di Blok CPP, tapi ada beberapa hari yang bersejarah lagi dalam proses penguasaan tersebut. Pada 7 Agustus 2001 setahun lalu, setelah kerasnya tuntutan dari berbagai komponen masyarakat Riau, akhirnya pada hari itu lahirlah sebuah kesepakatan dan diakomodirnya tuntutan masyarakat Riau tentang pengelolaan Blok CPP. Kala itu, berdasarkan hasil pertemuan Tim Negosiasi Riau, Pertamina, Direktur Jenderal Minyak dan Gas serta Direktur PT CPI maka dihasilkan empat butir kompensasi Blok CPP bagi Provinsi Riau. Kesepakatan kompensasi tersebut, langsung ditandatangani pihak-pihak yang melakukan perundingan. Dari Riau penandatanganan kesepakatan itu dilakukan Wakil Ketua DPRD Riau Drs Wan Abubakar, dari PT CPI oleh Presiden Direktur Humayunbosha, sementara dari Pertamina ditunjuk Effendi Situmorang untuk menandatangani.
Adapun empat butir kompensasi yang disepakati itu menyangkut persiapan pengoperasian Blok CPP, pengembangan pendidikan masyarakat Riau, fasilitas untuk masyarakat tempatan dan kebutuhan operasi. Merasa tuntutan sudah diperhatikan, ancaman dari Aliansi Riau untuk Rebut Blok CPP (Aruk) untuk menduduki sejumlah ladang minyak yang merupakan bagian dari Blok CPP akhirnya dibatalkan.
Beranjak dari berbagai kesepakatan tersebut, maka dimulailah berbagai langkah baru. Dan dalam hal ini sudah mengikutsertakan perwakilan dari Kabupaten Siak dalam Tim Negosiasi Riau untuk mendapat hak pengelolaan Blok CPP tersebut. Dan tanggal 3 Januari 2001, sebuah sejarah panjang perjuangan mendapatkan hak pengelolaan di Blok CPP membuahkan hasil. Pada hari itu ditandatangani Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemprov Riau dan Pertamina tentang pengelolaan Blok CPP pasca 8 Agustus 2002.
Pada kesempatan tersebut disepakati secara bulat pengelolaan Blok CPP mengikutsertakan Riau dan dalam berbagai perundingan antara Pertamina dan Tim Negosiasi Blok CPP, juga diikutsertakan perwakilan dari Kabupaten Siak. Selanjutnya, salah satu dari hasil berbagai perundingan itu, kemudian ditunjuk PT BSP sebagai pengelola Blok CPP. Setelah adanya kesepakatan memberi kesempatan kepada Riau untuk mengelola Blok CPP, polemik baru pun muncul seiring ditunjuknya PT BSP sebagai pengelola Blok CPP. Persoalan pembagian saham antara Kabupaten Siak dengan Pemprov Riau menjadi persoalan serius.
Di mana DPRD Siak, memutuskan bahwa dalam penyertaan saham pada PT BSP itu, Siak harus menguasai 70 persen dari keseluruhan saham. Hanya saja, ternyata keinginan ini mendapat benturan dari Gubernur Riau H Saleh Djasit SH. Dalam suatu pertemuan dengan Tim Blok CPP, Gubri sempat melontarkan bahwa saham untuk Siak semestinya hanya 40 persen. Sisa saham lainnya, 40 persen untuk Pemprov dan 20 persen lagi untuk daerah penghasil lainnya. Hanya saja keinginan Gubri tersebut tentu saja tak bisa diterima oleh perwakilan dari Kabupaten Siak, sebab yang mereka bawa adalah suara rakyat, berdasarkan hasil keputusan DPRD Siak.
Polemik soal saham terus berlanjut. Tanggal 20 April 2002, Gubri mengeluarkan SK tentang Tim Perumus Penetapan Modal (saham) pada PT BSP. SK itu mendapat reaksi keras dari komponen masyarakat Siak. Beberapa komponen masyarakat di Siak menyebut SK tersebut cacat hukum. Alasannya, berdasarkan SK tersebut, salah satu konsideran penetapan SK itu berdasarkan pertemuan yang dilakukan 30 Maret 2002, tentang Tim Penetapan Penyertaan Modal pada PT BSP dalam pengelolaan Blok CPP pasca 8 Agustus hari ini. Yang menjadi keberatan komponen masyarakat Siak ini adalah, karena pertemuan 30 Maret itu yang disepakati adalah tim penetapan, bukan tim perumus seperti dalam SK Gubri tersebut.
25 April 2002, Tim Blok CPP kembali mengadakan pertemuan terkait pembagian saham lagi. Pertemuan yang dipimpin Sekdaprov Arsyad Rahim itu ternyata tidak membuahkan hasil, karena Siak tetap bertahan pada angka 70 persen pada PT BSP. Sementara dari Pemprov sendiri, tetap pada pendirian bahwa Siak tidak lebih dari 50 persen dari saham pada PT BSP. Akhirnya pertemuan itu tidak membuahkan hasil dan komposisi saham pada PT BSP masih belum terpecahkan. Jadi tak heran, kalau pada penyerahan dan penandatanganan penyerahan Blok CPP kepada Riau beberapa bulan lalu itu, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro juga sempat menyinggung masalah pembagian saham pada PT BSP yang hingga hari ini belum selesai.
Purnomo menegaskan bahwa soal saham tersebut adalah masalah daerah. Untuk itu dia meminta untuk diselesaikan di tingkat daerah. Dan dia yakin Pemprov Riau dan Pemkab Siak bisa menyelesaikan masalah ini secara bijak.
Reformasi
Sebenarnya kalau dirunut kembali, menghangatnya pembicaraan Blok CPP sudah dimulai awal tahun 2000 lalu bersamaan dengan proses reformasi di negeri ini. Pada bulan Maret 2000, berbagai pembicaraan baik itu di Riau, maupun pusat sudah menggaung-gaungkan Blok CPP.
Ketika itu persoalan kepemilikan saham oleh Pertamina di CPP menjadi perdebatan sengit. Seperti pada tanggal 4 April 2000, Direktur Eksplorasi dan Produksi Pertamina Gatot K Wiroyudo kepada wartawan di Jakarta menyatakan, Pertamina menurunkan penawaran kepemilikan saham untuk mengelola lapangan minyak Blok CPP oleh Riau pasca 2001 menjadi 55 persen. Menyusul negosiasi bagi hasil blok tersebut dengan operatornya yaitu PT CPI. Pada hari yang sama dukungan terhadap Pemprov Riau dalam pengelolaan Blok CPP juga mengalir dari berbagai pihak termasuk anggota Komisi VIII DPR RI Prito Budi Santoso dan dia mengatakan bahwa DPR mempunyai semangat yang sama dengan Pemprov Riau untuk mengelola Blok CPP.
1 Mei 2000, Vice President General Affairs PT CPI T Amir Sulaiman SE Ak kala itu menyatakan, keinginan Pemprov Riau untuk turut serta dalam kepemilikan Blok CPP hendaknya memperhatikan biaya yang dikeluarkan untuk operasi itu. Karena untuk memiliki saham di blok tersebut, Pemprov Riau harus turut serta menyertakan investasinya untuk biaya operasional. Namun, pada hari yang sama kala itu, telinga orang-orang Riau panas mendengar pernyataan dari Direktur Pertamina Baihaki Hakim. Baihaki menyebut bahwa keinginan pemerintah untuk mengikut sertakan Pemprov Riau mengelola Blok CPP dianggap mempersulit perundingan Pertamina dengan PT CPI.
Karena adanya pernyataan dari Baihaki tersebut, membuat Gubernur Riau H Saleh Djasit angkat bicara esok harinya. Saleh mengharapkan agar Riau dilibatkan dalam perundingan antara Pertamina dengan PT CPI tersebut. Tanggal 3 Mei 2000, sebuah peristiwa penting terjadi di Riau. Di tengah menghangatnya pembicaraan soal Blok CPP saat itu Presiden KH Abdurrahman Wahid datang ke Pekanbaru untuk menghadiri sebuah acara. Tentu saja kehadiran Gus Dur di Pekanbaru saat itu diharapkan menjadi momen penting apalagi terkait Blok CPP.
Dan memang, saat itu Gus Dur mengeluarkan pernyataan bahwa Blok CPP akan diserahkan kepada Pemprov Riau setelah berakhirnya masa kontrak PT CPI tahun 2001. Namun, karena sebelumnya Gus Dur sering membuat pernyataan kontroversial dan setelah itu diubahnya sendiri, maka berbagai kalangan di Riau pesimis dengan kata-kata Gus Dur tersebut.
Mega Perpanjang
Sebenarnya kalau kembali kesejarah awal, tanggal 8 Agustus 2001, seharusnya penguasaan Blok CPP sudah habis masa kontraknya oleh PT Caltex Pacific Indonesia (CPI). Hanya saja, karena pemerintah pusat menganggap Riau belum siap untuk mengelolanya, maka kontraknya diperpanjang satu tahun oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Ketika presiden masih dijabat oleh KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, upaya memperjuangkan Blok CPP sempat terjadi tarik ulur. Sang presiden yang dikenal selalu mengeluarkan pernyataan kontroversial tersebut, ternyata berpengaruh besar terhadap perebutan Blok CPP.
Di saat kedatangannya di Pekanbaru 3 Mei 2000, dia menyebut bahwa Riau berhak mengelola sebagian besar sumberdaya alamnya. Lalu pada kesempatan lain muncul pernyataan, bahwa sesungguhnya Riau itu tak ada apa-apanya. Di tengah-tengah adanya pernyataan Gus Dur yang berubah-ubah tersebut, sebenarnya gerak dan langkah perjuangan tetap jalan. Setelah Gus Dur menyebut Riau berhak mengelola Blok CPP, keesokan harinya tanggal 4 Mei 2000, Mentamben Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa Riau pasti akan mendapat bagian dalam pengelolaan Blok CPP sesuai dengan pertimbangan dan keadilan.
Pada tanggal 22 Mei 2000, pemerintah memberi waktu satu bulan kepada Pemprov Riau untuk menentukan empat opsi dalam pengelolaan Blok CPP. Empat opsi tersebut yakni, pertama, Pemprov Riau bersedia bekerjasama dengan Caltex dan Pertamina. Opsi kedua, Pemprov Riau bekerjasama dengan Caltex saja. Opsi ketiga, Pemprov Riau bekerjasama dengan Pertamina saja. Dan opsi keempat, Pemprov Riau memilih sendiri mitra lokalnya dalam mengelola Blok CPP.
Menindaklanjuti semua itu, pada hari-hari berikutnya dalam bulan Mei 2000 tersebut, pemerintah, Pertamina, Caltex dan Pemprov Riau menyepakati satu opsi untuk menyelesaikan masalah Blok CPP. Gubri Saleh Djasit SH menyatakan kala itu, satu opsi tersebut adalah kebebasan bagi Pemprov Riau untuk memilih sendiri mitranya dalam mengelola Blok CPP.
Dengan adanya opsi tersebut, Riau berusaha mempersiapan berbagai hal untuk pengelolaan Blok CPP. Termasuk mempersiapkan proposal teknis pengelolaannya. Hingga mencari mitra Pemprov Riau untuk mengelola Blok CPP tersebut. Dalam upaya mencari mitra ini ternyata tidak mudah dan perjuangan memperebutkan Blok CPP kian berlarut-larut.
Dalam berlarut-larutnya perjuangan tersebut, kondisi perpolitikan tanah air sedang panas-panasnya. Pernyataannya yang sering kontroversial dan karena tidak punya ketetapan diri, Gus Dur didongkel dari kursi kepresidenan melalui Sidang Istimewa (SI) MPR. Posisi Gus Dur langsung digantikan oleh Megawati Soekarnoputri yang sebelumnya menjabat wakil presiden.
Di masa Megawati, perjuangan merebut Blok CPP tidaklah semudah membalik telapak tangan. Malah dalam masa awalnya memerintah, keputusannya telah menyebabkan marah masyarakat Riau. Pasalnya, dalam sebuah instruksinya yang diumumkan Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo tanggal 3 Agustus 2001, Mega memperpanjang kontrak Blok CPP selama satu tahun terhitung 8 Agustus 2001.
Keputusan presiden memperpanjang kontrak Blok CPP itu mendapat reaksi keras dari masyarakat Riau. Menyikapi keputusan presiden tersebut, sejumlah komponen masyarakat Riau, 4 Agustus 2001 menggelar rapat akbar di Balai Adat Provinsi Riau. Rapat akbar tersebut kemudian melahirkan wadah yang kemudian diberi nama Aliansi Riau untuk Rebut Blok CPP (Aruk) yang saat itu di bawah komando Al azhar.
Beberapa waktu setelah itu, Aruk mengancam akan melakukan aksi pemblokiran areal Caltex yang berada di Rumbai dan sejumlah ladang minyak yang ada di Riau. Aksi keras dari Aruk ini langsung mendapat respon dari Kapolda Riau dan mengatakan Riau Siaga I dalam penanganan ancaman aksi yang dilontarkan Aruk tersebut. Kini, Blok CPP sudah di tangan Riau. Sudah selayaknya ''proyek'' besar ini dikerjakan dengan serius dan penuh dengan tanggung jawab. Memang sampai detik terakhir, ternyata pembagian saham antara Pemprov Riau dengan Pemkab Siak belum juga tuntas. Belum lagi isu KKN dalam penerimaan karyawan di PT BSP. Hingga kini, dari 4.000 orang pelamar yang dinyatakan lulus seleksi administrasi ternyata belum ada kejelasan tentang nasib mereka.
Malah, isu yang santer muncul ke permukaan, lebih seratus orang karyawan PT BSP sudah menerima gaji dan sebagian besar orang yang sudah punya jabatan di BSP tersebut, memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan pimpinan-pimpinan BSP. Dan kini jelas sudah ada perebutan di ladang CPP.
Hanya saja dengan satu kata, Blok CPP harus dikelola dengan baik. Penyerahan penguasaan dari pemerintah melalui Pertamina, jangan disia-siakan. Kalau bisa pengelolaannya jauh lebih baik dari sebelumnya. Karena minyak bumi adalah devisa utama dari Indonesia dan itu jangan disia-siakan.(mhd nazir fahmi)
Statistik Operasi Blok CPP
Luas areal : 9.996 km bujursangkar
* Jumlah Lapangan : 25
* Jumlah Sumur : 465
* Produksi Bersih (BMPH) : 42.000
* Air Terproduksi (BAPH) : 392.000
* Jumlah Tenaga Kerja
- Penuh untuk CPP : 197
- Pendukung : 188
- Mitra Kerja : 518
* Biaya Produksi : 3 dolar AS/barel
NB : Data Juni 2002
Sejarah Blok CPP
Kontrak CPP ditandatangani : 9 Agustus 1971
Penemuan Ladang Minyak Pertama (Kasikan) : 1972
Sumur Minyak Pertama Mulai Berproduksi : 1975
1972: Ladang minyak Kasikan ditemukan
1973: Ladang minyak Pedada dan Terantam ditemukan
1975: Ladang minyak Kasikan dan Terantam berproduksi
Ladang minyak Zamrud ditemukan.
1976: Ladang minyak Pedada mulai berproduksi
Ladang minyak Beruk North East, Bungsu dan South Bagan Belada ditemukan.
1977: Ladang minyak Damar, Kotagaro dan Sabak mulai berproduksi.
Ladang minyak Gatam, Pusaka dan South Zamrud ditemukan.
1978: Ladang minyak Benua, Osam dan Paltan ditemukan.
1979: Ladang minyak Dusun ditemukan
Ladang minyak Osam dan Paitan mulai berproduksi
1980: Ladang minyak Nilam dan Ninik ditemukan
1981: Ladang minyak Beruk North East, Bungsu dan Gatam mulai berproduksi.
1982: Ladang minyak Bumi dan Butun ditemukan
Ladang minyak Zamrud mulai berproduksi
1984: Ladang minyak Pusaka, Dusun dan Benua mulai berproduksi
Produksi puncak CPP dicapai sebesar 99,4 MBOPD
1985: Ladang minyak Dorai dan North Beruk ditemukan
1986: Ladang minyak Giti ditemukan
1988: Ladang minyak Pak ditemukan
Ladang minyak North Beruk mulai berproduksi
1989: Sumur minyak Butun mulai berproduksi
1990: Sumur minyak Pak No 1 mulai berproduksi
1994: Injeksi air Zamrud mulai beroperasi
1997: Injeksi air Beruk mulai beroperasi
Š1998: Injekasi air Pedada mulai beroperasi
1999: Injeksi air Pusaka mulai beroperasi
2000: Target pencapaian program Zamrud - Pedada Zero Water Discharge.
2001: Kontrak pengelolaan Blok CPP oleh CPI berakhir 8 Agustus 2001.
Pemerintah memperpanjang kontrak pengelolaan Blok CPP oleh CPI untuk satu tahun, yakni hingga 8 Agustus 2002.
2002: Kontrak pengelolaan Blok CPP oleh CPI berakhir 8 Agustus 2002 dan pengelolaan diserahkan kepada Pertamina Hulu dan PT
Bumi Siak Pusako (BSP).
NB : Sumber dari PT CPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar