Total Tayangan Halaman

Rabu, 16 Januari 2008

Tidur di Hotel Berbintang, Dekat Masjidil Haram

Di Tahun 2006, Allah menakdirkan saya dua kali mengunjungi Baitullah di Makkah Al Mukkarramah. Mei 2006, ke Makkah dalam rangka umroh. Tujuh bulan berikutnya yakni Desember, saya bisa kembali salat di dekat Kakbah. Wukuf di Arafah dan melontar jumrah di Mina sebagai rangkaian haji bisa saya jalani dengan baik.

Catatan Mhd Nazir Fahmi
mnazirfahmi@riaupos.com

KEBERANGKATAN ke Tanah Haram dalam musim haji 2006 kali ini bersama 167 jamaah haji plus PT Muhibbah Mulia Wisata, salah satu travel umroh dan haji yang ada di Kota Pekanbaru. Berhaji plus ke Tanah Haram, bagi sebagian orang dianggap kurang sempurna. Selain ongkosnya cukup mahal, banyak orang menganggap haji plus adalah haji senang-senang.
Ini merupakan sebuah anggapan yang sangat keliru. Memang, secara ongkos, untuk jamaah yang ingin empat orang satu kamar biayanya 4.750 dolar AS atau Rp43.225.000 (kurs Rp9.100) untuk satu orang. Kalau ingin sekamar berdua terutama yang berangkat suami istri, satu orangnya 5.500 dolar AS atau Rp50.050.000.
Bagi umat Islam yang sudah benar-benar mampu dan punya rezeki agak lebih, haji plus lebih bagus dari pada berangkat dengan reguler. Mengapa saya katakan demikian? Kalau segala keperluan kita sudah tertangani dengan baik, maka untuk menjalani ibadah di Tanah Haram, kita akan lebih leluasa dan kusyuk. Lihat saja apa yang didapatkan jamaah haji plus PT Muhibbah Mulia Wisata saat berada di dua Tanah Haram, Makkah dan Madinah. Pada musim haji tahun ini, PT Muhibbah Mulia Wisata mengambil rute mendahulukan ziarah di Kota Madinah Almunawarah.
Di Madinah, jamaah haji plus Muhibbah menginap di Hotel Mawad dah. Hotel ini berada di pusat keramaian. Jarak ke Masjid Nabawi hanya sekitar 200 meter. Dengan jarak yang begitu dekat, tubuh
tidak begitu lama terpapar oleh udara Madinah yang ekstrim. Kadang-kadang sangat dingin, siangnya sangat menyengat.
Setiap waktu salat, jamaah bisa leluasa datang dan bisa pulang usai salat. Lain halnya dengan jamaah haji reguler yang tempatnya agak jauh, sering berada di masjid untuk menunggu waktu salat. Kalau tidak, susah untuk mendapatkan syaf di dalam masjid.
Untuk urusan tidur, satu kamar yang cukup besar diisi empat orang jamaah dan ada juga yang dua orang satu kamar. Semuanya tergantung dengan paket yang diambil. Kalau ada yang membawa keluarga, maka antara satu kamar dengan kamar lainnya didekatkan untuk mempermudah konsolidasi.
Kalau urusan perut, tidak perlu belanja ke luar. Usai salat Subuh, sarapan ala Indonesia sudah tersedia dan siap santap. Ada kopi, teh, susu dan tentunya tak pernah ketinggalan buah-buahan.
Usai salat Zuhur, makanan siang kembali terhidang ala prasmanan. Seleranya pun tetap pakai bumbu Indonesia. Ingin pedas, tinggal ambil cabe goreng.
Untuk makan malam, hidangan siap disantap usai salat Isya. Menunya pun beragam. Ada ayam goreng, ikan asin, telur, ikan, sayur asam dan beberapa menu Indonesia lainnya. Demi kepuasan pelanggan, Muhibbah sengaja mencari katering orang Indonesia yang ada di Arab Saudi. Rata-rata jamaah puas dengan makanan yang tersedia. Malah ada yang tambuah.
Delapan hari di Madinah, dijalani dengan beribadah di Masjid Nabawi. Mulai dari salat fardhu lima waktu hingga ziarah ke makam Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar. Berburu salat di Raudah yang ada di dalam Masjid Nabawi, juga menjadi agenda jamaah haji. Usai sarapan pagi, seluruh jamaah plus juga mendapat siraman rohani sekaligus menambah pengetahuan dalam hal agama Islam. Untuk 168 jamaah, Muhibbah menyiapkan dua orang ustad pembimbing ibadah dan dua orang dokter. Kalau jamaah haji reguler untuk satu kloter sebanyak 450 orang hanya tersedia satu dokter, satu perawat. Kondisi ini sangat menyulitkan untuk bisa melayani jamaah, apalagi dengan mewabahnya flu dan batuk saat di Tanah Haram.
Sebelum meninggalkan Madinah, rombongan diajak ziarah ke Masjid Quba, Kebun Kurma dan Makam Syuhada Uhud. Bagi yang ingin melihat medan magnet, Muhibbah juga menyediakan mutawif atau pemandu. Lokasi ini berjarak 20 menit dari Kota Madinah dengan taksi.
Saya bersama Pimpinan Muhibbah, Ibnu Masud, Camat Rumbai Noverius dan istri, Wali Kota Padangpanjang Syuir Syam dan istri serta beberapa jamaah lainnya berkesempatan ke lokasi medan magnet tersebut. Sebuah fenomena alam yang luar biasa memang. Mobil yang penuh berisi dan dimatikan, bisa mendaki serta jalan sendiri ketika melewati lokasi tersebut. Inilah kekuasaan Allah SWT. Hanya untuk mobil. Jadi tidak perlu takut besi-besi akan beterbangan di sana karena ada medan magnet.
Kita tinggalkan Madinah, kita menuju Makkah. Setelah delapan hari di Madinah, dengan mikat ihram di Masjid Bir Ali, seluruh jamaah plus Muhibbah bertolak ke Kota Makkah. Bus yang disediakan pihak Maktab plus berbeda dengan untuk jamaah haji reguler. Untuk plus, busnya cukup besar dan bagus. Untuk jamaah haji reguler, pakai bus Hafil yang tempat duduknya sangat rapat dan sempit.
Di Kota Makkah, jamaah haji plus Muhibbah menginap di Hotel Sofitel, hotel berbintang lima di Marwa. Masjidil Haram dengan Sofitel tidak ada jarak. Dari Sofitel, jamaah bisa langsung ke lantai tiga Masjidil Haram. Malah pelataran hotel jadi tempat salat karena halaman masjid sudah penuh.(*)

Tidak ada komentar:

Desa Wisata versus Sate Danguang Danguang

DINGINNYA Lembah Harau, terusir oleh setongkol jagung bakar. Sebungkus sate, terhidang. Aromanya mengelitik perut. “Ini sate danguang dangua...