Total Tayangan Halaman

Minggu, 20 Januari 2008

Jamarat Tak Menakutkan Lagi

Melontar jumrah adalah salah satu wajib haji yang cukup disanksikan oleh jamaah haji. Tidak hanya jamaah haji Indonesia, tapi hampir semua jamaah terkadang membayangkan hal-hal menakutkan akan terjadi saat melontar di Mina ini.

Catatan MHD NAZIR FAHMI
mnazirfahmi@riaupos.com

APA yang ditakutkan itu sangat wajar adanya. Hampir semua kasus besar saat musim haji, terjadi saat melontar jumrah. Masih ingat dengan tragedi Mina kan? Ribuan orang jamaah haji meninggal saat akan melontar ini karena berdesakan di terowongan. Tahun-tahun berikutnya, sering juga terjadi saling berdesakkan saat melontar. Korban-korban pun berjatuhan.
Alhamdulillah, mulai haji 2006, semua ketakutan itu sirna. Lokasi jamarat benar-benar lapang dan longgar. Pemerintah Arab Saudi melalui Administrasi Pusat Proyek Perluasan Kementrian Pelayanan dan Pedesaan benar-benar mengatur segala hal menyangkut tempat melontar tersebut.
Usai melontar pada musim haji 2005 lalu, pemerintah Arab Saudi langsung merubuhkan bangunan jamarat untuk dibangun menjadi lima lantai. Untuk haji 2006, mereka menargetkan bisa dipakai lantai dasar dan lantai I. Benar saja, empat hari jelang melontar, jamarat sudah bisa dipergunakan.
Target mereka benar-benar tercapai. Tidak ada kata-kata molor dalam pengerjaan proyek. Pihak pemborong bekerja 24 jam setiap hari. Saat digunakan untuk melontar, kren-kren besar masih berdiri. Usai haji 2006, lantai berikutnya juga akan dikebut hingga selesai jadi lima.
Saat haji 2006, tidak ada lagi jalan layang menuju jamarat. Pintu masuk ke lokasi melontar dibuat tiga arah. Ada jalan masuk tengah, kiri dan kanan. Pada jalan masuk, juga dibuat pagar-pagar pembatas seperti zig-zag.
Badan jamarat pun sangat lebar dan besar. Untuk menghindari cedera karena terjepit ke tembok tempat melontar, pemerintah Saudi memasang busa di dinding. Kalau pun berdesakan karena ingin dekat dengan tiang jumrah, badan tidak akan cedera karena tergeser tembok.
Jalan ke luar pun dibagi tiga. Ada yang lurus, belok kanan dan belok kiri. Para pelontar yang akan pergi tidak akan bertemu dengan yang akan pulang. Jalannya pun sangat lebar. Jarak beberapa meter, petugas dari Saudi berdiri. Sebagian mereka membuat pagar betis agar tidak ada jamaah yang mengambil jalan sembarangan.
Walaupun begitu, pemerintah Saudi tetap mengeluarkan himbauan agar tidak melontar saat jam-jam sibuk. Seperti pada 10 Zulhijah, jam sibuknya dari pukul 06.00 pagi sampai pukul 11.00 siang. Untuk 11 Zulhijah dari pukul 13.00 hingga pukul 18.00 dan 12 Zulhijah dari pukul 10.00 hingga 15.00.
Tahun ini, petugas Saudi benar-benar tegas dalam mengatur lokasi melontar ini. Bagi jamaah yang duduk-duduk atau ada yang malah menginap di lokasi jamarat diusir. Kalau tidak tegas, bakal penuh jalanan ke jamarat dengan jamaah. Apalagi sebagian besar jamaah tinggalnya cukup jauh dari jamarat.
Untuk tahun ini, jamaah haji plus Muhibbah Mulia Wisata Pekanbaru sangat bersyukur. Tenda tempat menginap di Mina sangat dekat dengan lokasi jamarat. Jaraknya hanya 500 meter dan untuk tenda jamaah haji di luar Arab Saudi, tenda ini lokasinya paling dekat. Dari tenda, jamaah bisa memantau kondisi jamarat. Atau pergi ke tv monitor yang ada di Maktab yang menayangkan siaran langsung kondisi jamarat. Kalau lagi sepi, jamaah langsung pergi melontar.
Melontar pada 12 Zulhijah, petugas dari Saudi semakin tegas. Apalagi hampir 2/3 jamaah haji mengambil nafar awal dan ingin ke luar Mina sebelum 13 Zulhijah. Jutaan jamaah haji pergi melontar sambil menenteng barang bawaan dan langsung ke luar Mina.
Petugas mengambil tindakan tegas. Tidak satupun jamaah diperbolehkan membawa barang tentengan berupa tas besar ke lokasi jamarat. Ingin melontar, harus ditinggalkan barang bawaan. Hasilnya, jutaan tas dan barang bawaan menumpuk di lokasi pintu masuk ke jamarat.
Konstruksi jamarat pun benar-benar terlihat kokoh. Kalau lima lantainya sudah jadi dan selesai, maka lokasi melontar akan dibagi per benua. Tentu saja, untuk benua Asia bisa jadi diperuntukkan dua lantai. Apalagi dari Asia Tenggara, jamaah hajinya sangat besar. Insya Allah, untuk tahun-tahun mendatang, lokasi ini akan lebih nyaman dan aman.
Tidak hanya jamarat, untuk tahun mendatang, bisa jadi jamaah haji plus tidak akan merasakan indahnya tidur di tenda Mina lagi. Pasalnya, saat ini beberapa buah hotel sudah dibangun di Mina. Sebagian sudah siap. Informasinya, semua hotel itu akan digunakan untuk jamaah haji plus dan tenda-tenda Mina akan dipindahkan ke Arafah.(*)

Arafah-Muzdalifah-Mina Macet 17 Jam

Sabar, kenyataannya lebih bernilai dari pada segudang uang tatkala menjalankan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah. Banyak uang atau mewahnya fasilitas, tidak menjamin seseorang bisa bertahan saat melaksanakan puncak haji. Arafah-Muzdalifah dan Mina adalah ujian kesabaran terberat.

Catatan Mhd Nazir Fahmi
mnazirfahmi@riaupos.com

BAIK ke Tanah Haram dengan fasilitas plus ataupun reguler, di tiga tempat ini akan merasakan kehidupan berbeda ketika saat berada di tanah air. Bagi seorang pejabat, benar-benar menanggalkan jabatannya. Bagi seorang bos, juga harus membuang jauh-jauh rasa bosnya. Pokoknya, asal dia jamaah haji (kecuali Presiden dan sekelasnya) tidak ada yang diistimewakan di tiga tempat ini.
Seperti di tenda Mina, untuk jamaah haji plus, satu Maktab itu ada 2.500 jamaah haji. Dalam satu maktab, ada 20 buah toilet. Bayangkan saja, kalau ke 2.500 jamaah haji ingin sama-sama buang air, maka satu toilet akan diantre 150 orang. Begitu juga dengan tenda di Arafah, dalam urusan ke belakangan ini jumlah toiletnya sama dengan di Mina.
Kesabaran benar-benar diuji di sini. Itu dalam soal toilet. Belum lagi kalau berbicara masalah kemacetan. Kesabaran benar-benar lebih diuji lagi dan takabur harus dibuang jauh-jauh. Allah benar-benar mengikut prasangkaan hamba-Nya.
Suatu ketika, saat bus-bus jamaah haji lainnya sudah bertolak ke Arafah untuk wukuf dari Mina, empat bus yang mengangkut jamaah Muhibbah Mulia Wisata yang dijanjikan datang pagi, ternyata terjebak macet di terowongan. Tidak bisa keluar. Sebagian jamaah mulai gelisah dan ada yang mengusulkan jalan kaki saja ke Arafah atau arah terowongan di mana bus tertahan.
Sebagian jamaah sabar bertahan. Benar saja, menjelang pukul 10.00 pagi, bus sudah bisa lepas dari kemacetan dengan berjalan mundur sepanjang tiga kilometer. Ternyata Allah berkehendak lain. Satu kilometer menjelang sampai ke tenda, bus tidak diizinkan lagi mundur. Maka, dengan terpaksa seluruh jamaah harus jalan kaki hampir satu kilometer ke tempat bus.
Allah benar-benar mengabulkan keinginan sebagian jamaah. Keinginan jalan kaki, dikabulkan satu kilometer dengan membawa ransel dan berbagai perlengkapan untuk di Arafah dan Muzdalifah. Walaupun sudah agak siang, Alhamdulillah perjalanan ke Arafah sangat lancar. Tidak ada macet. 25 menit sudah sampai di Arafah. Padahal, jamaah lain yang berangkat pagi hampir sama-sama sampai dengan jamaah Muhibbah. Inilah buah kesabaran bagi sebagian jamaah yang mau menunggu.Lain halnya perjalanan dari Arafah-Muzdalifah-Makkah. Inilah ujian terberat bagi jamaah haji. Jumat (9 Zulhijah) usai wukuf, 5 juta lebih jamaah haji sama-sama bertolak untuk mabit (bermalam) di Muzdalifah. Bus-bus dan kendaraan pribadi mulai bergerak dari Arafah saat salat Maghrib.
Jalanan benar-benar macet total. Bergerak sedikit, berhenti berpuluh-puluh menit. Bayangkan, Arafah-Muzdalifah yang kalau hari biasa ditempuh dalam waktu 10 menit, saat haji paling cepat tujuh atau delapan jam.
Tiga bus rombongan jamaah haji plus Muhibbah, pukul 03.00 Alhamdulillah sudah bisa berada di Muzdalifah untuk mabit. Mabitnya di mobil dan tidak bisa turun. Yang paling beruntung, satu bus yang berisi jamaah yang agak sakit-sakit dan tua-tua, pukul 02.00 sudah meninggalkan Muzdalifah dan langsung ke Masjidil Haram untuk melaksanakan Tawaf Ifadah. Mereka tidak boleh parkir lama-lama di Muzdalifah. Pagi harinya mereka sudah berada kembali di tenda Mina.
Sementara tiga bus, baru lepas dari kemacetan di Muzdalifah pukul 11.00 pagi dan langsung ke Makkah untuk Tawaf Ifadah di Masjidil Haram. Selama 17 jam, jamaah harus berada di dalam bus. Untungnya, bus tidak ada kendala. AC bisa hidup terus dan bus tidak kehabisan minyak.
Bagi jamaah yang busnya terjebak macet sudah di Muzdalifah cukup beruntung karena bisa sekalian mabit. Banyak juga jamaah haji lainnya yang berangkat agak malam dari Arafah, busnya tidak bisa mencapai Muzdalifah sebelum Subuh. Makanya, mereka tidak bisa mabit.
Tak puas dengan 17 jam macet dari Arafah-Muzdalifah-Makkah, ribuan bus kembali terjebak macet di ruas jalan dari Makkah-Mina setelah salat Maghrib, 10 Zulhijah. Jutaan jamaah haji yang sudah tahalul awal dengan melaksanakan Tawaf Ifadah, mengejar melontar jumrah Aqabah di Mina.
Satu bus jamaah plus Muhibbah yang berangkat awal dari Makkah turut terjebak di tengah ribuan bus-bus jamaah haji lainnya di mulut terowongan Muhasyim. Bayangkan, setelah 17 jam merasakan macet sebelumnya, berselang beberapa jam dihantam macet lagi. Beberapa jamaah ada yang gelisah dan kurang sabar dengan kondisi tersebut.
Perjalanan Makkah-Mina yang hari biasa ditempuh dalam waktu 15 menit dengan bus, kenyataannya di musim haji dengan kemacetan yang ada baru sampai di tenda Mina pukul 03.00 pagi. Sembilan jam lagi dicoba kesabaran dengan macet. Buah kesabaran apa? Sampai di Mina saat melontar jumrah Aqabah sangat lancar dan sepi orang. Dengan mudah jamaah bisa melakukan pelontaran di jamarat.(*)

Rabu, 16 Januari 2008

JH Reguler Kelaparan, Plus Berlimpah Makanan

Kamis (28/12) atau 8 Zulkaedah, seluruh jamaah haji (JH) sudah bersiap-siap berpakaian ihram untuk haji. Jalanan menuju Mina dan Arafah mulai padat. Bus-bus besar dan mobil-mobil pribadi bersiliweran di jalan. JH plus Muhibbah Mulia Wisata, pagi itu bertolak menuju tenda Mina dengan pakaian ihram.

Catatan Mhd Nazir Fahmi
mnazirfahmi@riaupos.com

PAGI Kamis, perjalanan ke tenda Mina masih lancar-lancar saja. Walau sebagian besar kendaraan menuju ke Mina, tapi dengan banyaknya jalan alternatif belum terlihat adanya kemacetan. Menjelang Zuhur, JH plus Muhibbah sudah berada di bawah tenda Mina.
Sebelum masuk ke dalam lokasi tenda, semua JH harus memperlihatkan kartu pengenal maktab kepada petugas di pintu masuk. Kalau tak punya, jangan harap bisa masuk. Begitulah ketatnya penjagaan oleh petugas di sana. Satu maktab di tenda Mina, diisi oleh sekitar 2.500 jamaah haji. Kebetulan untuk JH plus Muhibbah berada di Maktab 103. Di Maktab ini semuanya adalah JH plus dari Indonesia.
Di gerbang masuk ke Maktab, di kiri kanannya berdiri lemari pendingin untuk aneka jus. Ada juga lemari untuk khusus air mineral. Bagi yang suka minuman dan jus dingin, tinggal ambil kapan pun. Bagi yang tidak suka air dingin, juga tersedia teko-teko listrik besar yang berisi air panas dan air yang tidak terlalu dingin. Di meja-meja juga tersedia gula, teh, kopi maupun susu bubuk.
Mau nasi putih dan goreng ayam, jamaah tinggal ambil. Makan tetap tiga kali dalam satu hari. Tinggal makan dan antre sedikit. Piring dari plastik yang bisa dibuang setelah makan tersedia. Buah-buahan segar seperti apel, pisang, pir dan jeruk menumpuk. Kalau perut sanggup menampung, tidak ada larangan untuk mengambil.
Hanya sebagian jamaah takut makan terlalu banyak. Alasannya, takut tersangkut urusan ke belakangan. Dalam satu maktab, untuk urusan ke belakangan alias toilet hanya tersedia 20 buah untuk 2.500 jamaah. Bayangkan, kalau sering-sering buang hajat, maka harus pula rela antre sambil menahan.
Satu malam di tenda Mina, Jumat (29/12) atau 9 Zulkaedah sekitar 3.000.000 jamaah haji yang resmi dan jutaan lainnya yang tidak tercatat harus berada di Arafat (baca; Arafah) sebelum tergelincirnya matahari atau masuk waktu Zuhur.
Jarak antara Mina dengan Arafah lebih kurang 7 km. Kalau hari biasa ditempuh hanya 10 menit dengan bus. Tapi kalau musim haji, semuanya tidak bisa diprediksi. Dari pagi, jalanan mulai macet total. Bus yang sarat dengan penumpang, bergerak sedikit demi sedikit.
Setengah jam menjelang salat Zuhur, seluruh JH plus Muhibbah sudah berada di tenda Arafah. Tenda yang berada di tepi jalan besar, pintu masuknya dihiasi bunga-bunga. Karpet hijau pun terhampar di jalan masuk hingga 10 meter panjangnya.
Walaupun sebagian besar Arafah terdiri dari padang pasir, bagi tenda JH plus Muhibbah jalanannya tidak berpasir. Jalanan ditutup oleh semen. Di dalam tenda ada kasur, selimut dan bantal. Tiga buah kipas angin dan dua air conditioner (AC) siap dioperasikan.
Ketika mendengar adanya informasi JH reguler Indonesia kelaparan, seluruh JH plus benar-benar terkejut bercampur sedih. Informasi kelaparan baru diterima sesaat akan meninggalkan Arafah ketika matahari mulai terbenam.
Andaikan informasinya didapat sebelum berangkat, pastilah banyak JH plus akan mencari tenda-tenda JH reguler Indonesia untuk membagikan makanan atau pun buah-buahan yang melimpah di tenda JH plus.
Memang, masalah makanan bagi JH plus tidak pernah ada masalah. Di tenda Arafah, segala keperluan untuk urusan perut tersedia di tiap penjuru kemah. Puluhan lemari pendingin berisi jus dan air mineral berdiri di samping-samping tenda. Bagi yang hobi kopi susu atau ngeteh, tinggal menyeduhnya.
Buah-buahan segar yang didominasi apel dan pisang, tidak putus-putusnya. Tinggal ambil, kalau sanggup untuk menghabiskannya. Nasi putih dengan lauk pauk selera Indonesia tinggal makan. Kalau masih lapar, bisa tambah lagi. Malah menjelang berangkat ke Muzdalifah untuk mabit (bermalam), sebagian besar JH mengantongi nasi dengan lauk pauk dan buah-buahan sebagai bekal.
Tidak dapat nasi atau makanan sejenisnya di Arafah merupakan ujian terberat. Di lokasi ini tidak ada orang berjualan makanan. Yang ada hanya penjaja-penjaja tasbeh, tisue, pernak-pernik haji dan sejenisnya.
Apalagi bagi JH reguler Indonesia masuk Arafah sejak Kamis. Tak dapat nasi lagi hingga Jumat ketika wukuf dimulai. Suhu udara di Arafah cukup terik. Dari pagi hingga sore, matahari terlihat jelas. Tidak ada awan. Untuk menjaga stamina, makan dan minum yang banyak sangat dianjurkan.(*)

Uji Coba di Aziziah Sebelum ke Tenda Mina

Hotel Sofitel, Makkah benar-benar strategis letaknya. Karena itu pulalah, sebagian besar jamaah haji plus dari berbagai negara, berburu untuk dapat menginap di hotel grup Accord ini. Dalam sebuah kamar yang besar, jamaah bisa mencuci dan setrika sendiri pakaian. Semuanya tersedia di sana.

Catatan Mhd Nazir Fahmi
mnazirfahmi@riaupos.com

DELAPAN hari menginap di Sofitel, benar-benar membuat jamaah haji plus nyaman untuk beribadah. Setiap waktu dari balik kaca jendela kamar, bisa menyaksikan jutaan manusia yang mulai membanjiri Masjidil Haram. Dari ketinggian Sofitel, Masjidil Haram dengan Kakbahnya terlihat makin agung dan mempesona.
Walaupun dekat, banyak juga jamaah haji plus yang pergi ke Masjidil Haram satu jam sebelum salat dimulai. Ini dilakukan agar kebagian syaf di dalam masjid. Dapat salat di luar, kalau malam akan diterpa angin dingin, siang tentu saja panas yang cukup terik.
Suhu di Makkah selalu berubah-ubah. Saat salat Subuh, kadang-kadang suhu 21 derajat celcius. Di Subuh berikutnya 25 atau 26 derajat. Menginjak siang, suhu terus naik hingga 30 derajat. Malamnya turun lagi ke angka 20-an derajat.
Sebenarnya menjelang iqamat, dari Sofitel jamaah masih bisa kebagian syaf di dalam, terutama di basemant Masjidil Haram. Tapi, kita harus berani melangkahi bahu orang lain yang dari awal sudah memadati halaman masjid. Soal langkah melangkahi ini adalah hal biasa saat musim haji di Masjidil Haram. Kalau tidak kita yang melangkahi orang, maka orang lain pasti akan melangkahi kita.
Untuk salat lima waktu di Masjidil Haram, bagi jamaah haji reguler menjadi persoalan sendiri bagi mereka. Kalau jamaah haji plus usai salat bisa langsung pulang ke hotel, bagi jamaah haji reguler banyak yang menunggu waktu di masjid dan tidak pulang ke penginapan.
Untuk salat Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya, sering ditemukan jamaah haji reguler duduk-duduk di pelataran masjid. Mereka terkadang bawa bekal atau belanja makanan di seputaran masjid. Kalau pulang, akan sangat berisiko dan susah untuk bisa salat di dalam masjid. Maka tak jarang ditemukan banyak jamaah haji reguler Indonesia, terutama yang sudah tua salah jalan dan tidak tahu jalan pulang setelah salat Isya.
Persoalan perut bagi jamaah haji plus, tetap tidak ada kendala. Jadwal makan sama dengan di Madinah. Tiga kali dalam satu hari. Menu makanan pun semakin bervariasi dan kian berkelas. Untuk sarapan pagi selain makan nasi putih, juga tersedia berbagai aneka bubur. Tentu saja roti bakar, buah dan aneka jus siap disantap. Tak ada kesah untuk kelaparan lah.
Ke luar dari pintu Sofitel, baik muka atau belakang, jamaah sudah berhadapan dengan toko-toko yang menjual berbagai pernak-pernik dan oleh-oleh khas Arab Saudi. Berbagai makanan pun ada, termasuk bakso. Tinggal sediakan riyal, berbagai oleh-oleh untuk dibawa ke tanah air bisa dibeli.
Selama di Makkah, sebelum masuk waktu wukuf, selain selalu beribadah di Masjidil Haram seperti salat lima waktu, tawaf sunat, salat tahajud dan ibadah lainnya, jamaah haji plus Muhibbah juga melakukan ziarah ke Jabal Tsur, Jabal Nur, Arafah, Muzdalifah dan Mina. Kalau musim haji, tempat-tempat ziarah hanya bisa dilihat dari atas bus. Bus tidak bisa berhenti karena banyaknya penziarah.
Menjelang ke Arafah-Mina, jamaah haji plus Muhibbah bersama jamaah plus Indonesia lainnya pindah tempat menginapnya ke Aziziah. Sebenarnya, menurut Pimpinan PT Muhibbah Mulia Wisata, Drs Ibnu Masud, dari Sofitel jamaah akan diinapkan ke Hotel Red See, Jeddah. Tapi karena adanya perubahan kebijakan dari pemerintahan Arab Saudi tidak boleh menginap di Jeddah, akhirnya jamaah menginap di perumahan di Aziziah yang berdampingan dengan penduduk Makkah.
Di Aziziah, dalam satu kamar diisi paling banyak tujuh tempat tidur. Bagi sebagian jamaah, hal ini membuat mereka kaget dan ada yang tidak sabar menerima kondisi tersebut. Tapi bagi sebagian jamaah menganggap Aziziah sebagai ajang uji coba untuk menghadapi tenda Mina. Mereka enjoi-enjoi saja dan malah banyak tidurnya pulas dengan ngorokannya yang keras dan bervariasi.
Urusan ke belakang alias buang hajat, mulai diuji kesabaran di Aziziah. Kalau di Madinah dan Makkah, satu toilet dipakai empat jamaah, maka di Aziziah diantre tujuh jamaah. Belum lagi kalau kebagian terakhir, siap-siap sabar karena air habis. Makanya jangan heran, selama di Tanah Haram banyak jamaah yang hanya mandi satu kali sehari. Malah ada juga yang tahan dua hari tidak mandi-mandi. Makanya, parfum Arab sangat laku pada musim haji.
Selama tiga hari di Aziziah, diisi dengan salat lima waktu di masjid-masjid di perkampungan tersebut. Usai salat Subuh, selalu ada pengajian dan tanya jawab soal ibadah. Soal perut, tetap tidak ada masalah berarti. Katering yang disediakan Muhibbah, seleranya sesuai dengan lidah orang Riau.(*)

Tidur di Hotel Berbintang, Dekat Masjidil Haram

Di Tahun 2006, Allah menakdirkan saya dua kali mengunjungi Baitullah di Makkah Al Mukkarramah. Mei 2006, ke Makkah dalam rangka umroh. Tujuh bulan berikutnya yakni Desember, saya bisa kembali salat di dekat Kakbah. Wukuf di Arafah dan melontar jumrah di Mina sebagai rangkaian haji bisa saya jalani dengan baik.

Catatan Mhd Nazir Fahmi
mnazirfahmi@riaupos.com

KEBERANGKATAN ke Tanah Haram dalam musim haji 2006 kali ini bersama 167 jamaah haji plus PT Muhibbah Mulia Wisata, salah satu travel umroh dan haji yang ada di Kota Pekanbaru. Berhaji plus ke Tanah Haram, bagi sebagian orang dianggap kurang sempurna. Selain ongkosnya cukup mahal, banyak orang menganggap haji plus adalah haji senang-senang.
Ini merupakan sebuah anggapan yang sangat keliru. Memang, secara ongkos, untuk jamaah yang ingin empat orang satu kamar biayanya 4.750 dolar AS atau Rp43.225.000 (kurs Rp9.100) untuk satu orang. Kalau ingin sekamar berdua terutama yang berangkat suami istri, satu orangnya 5.500 dolar AS atau Rp50.050.000.
Bagi umat Islam yang sudah benar-benar mampu dan punya rezeki agak lebih, haji plus lebih bagus dari pada berangkat dengan reguler. Mengapa saya katakan demikian? Kalau segala keperluan kita sudah tertangani dengan baik, maka untuk menjalani ibadah di Tanah Haram, kita akan lebih leluasa dan kusyuk. Lihat saja apa yang didapatkan jamaah haji plus PT Muhibbah Mulia Wisata saat berada di dua Tanah Haram, Makkah dan Madinah. Pada musim haji tahun ini, PT Muhibbah Mulia Wisata mengambil rute mendahulukan ziarah di Kota Madinah Almunawarah.
Di Madinah, jamaah haji plus Muhibbah menginap di Hotel Mawad dah. Hotel ini berada di pusat keramaian. Jarak ke Masjid Nabawi hanya sekitar 200 meter. Dengan jarak yang begitu dekat, tubuh
tidak begitu lama terpapar oleh udara Madinah yang ekstrim. Kadang-kadang sangat dingin, siangnya sangat menyengat.
Setiap waktu salat, jamaah bisa leluasa datang dan bisa pulang usai salat. Lain halnya dengan jamaah haji reguler yang tempatnya agak jauh, sering berada di masjid untuk menunggu waktu salat. Kalau tidak, susah untuk mendapatkan syaf di dalam masjid.
Untuk urusan tidur, satu kamar yang cukup besar diisi empat orang jamaah dan ada juga yang dua orang satu kamar. Semuanya tergantung dengan paket yang diambil. Kalau ada yang membawa keluarga, maka antara satu kamar dengan kamar lainnya didekatkan untuk mempermudah konsolidasi.
Kalau urusan perut, tidak perlu belanja ke luar. Usai salat Subuh, sarapan ala Indonesia sudah tersedia dan siap santap. Ada kopi, teh, susu dan tentunya tak pernah ketinggalan buah-buahan.
Usai salat Zuhur, makanan siang kembali terhidang ala prasmanan. Seleranya pun tetap pakai bumbu Indonesia. Ingin pedas, tinggal ambil cabe goreng.
Untuk makan malam, hidangan siap disantap usai salat Isya. Menunya pun beragam. Ada ayam goreng, ikan asin, telur, ikan, sayur asam dan beberapa menu Indonesia lainnya. Demi kepuasan pelanggan, Muhibbah sengaja mencari katering orang Indonesia yang ada di Arab Saudi. Rata-rata jamaah puas dengan makanan yang tersedia. Malah ada yang tambuah.
Delapan hari di Madinah, dijalani dengan beribadah di Masjid Nabawi. Mulai dari salat fardhu lima waktu hingga ziarah ke makam Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar. Berburu salat di Raudah yang ada di dalam Masjid Nabawi, juga menjadi agenda jamaah haji. Usai sarapan pagi, seluruh jamaah plus juga mendapat siraman rohani sekaligus menambah pengetahuan dalam hal agama Islam. Untuk 168 jamaah, Muhibbah menyiapkan dua orang ustad pembimbing ibadah dan dua orang dokter. Kalau jamaah haji reguler untuk satu kloter sebanyak 450 orang hanya tersedia satu dokter, satu perawat. Kondisi ini sangat menyulitkan untuk bisa melayani jamaah, apalagi dengan mewabahnya flu dan batuk saat di Tanah Haram.
Sebelum meninggalkan Madinah, rombongan diajak ziarah ke Masjid Quba, Kebun Kurma dan Makam Syuhada Uhud. Bagi yang ingin melihat medan magnet, Muhibbah juga menyediakan mutawif atau pemandu. Lokasi ini berjarak 20 menit dari Kota Madinah dengan taksi.
Saya bersama Pimpinan Muhibbah, Ibnu Masud, Camat Rumbai Noverius dan istri, Wali Kota Padangpanjang Syuir Syam dan istri serta beberapa jamaah lainnya berkesempatan ke lokasi medan magnet tersebut. Sebuah fenomena alam yang luar biasa memang. Mobil yang penuh berisi dan dimatikan, bisa mendaki serta jalan sendiri ketika melewati lokasi tersebut. Inilah kekuasaan Allah SWT. Hanya untuk mobil. Jadi tidak perlu takut besi-besi akan beterbangan di sana karena ada medan magnet.
Kita tinggalkan Madinah, kita menuju Makkah. Setelah delapan hari di Madinah, dengan mikat ihram di Masjid Bir Ali, seluruh jamaah plus Muhibbah bertolak ke Kota Makkah. Bus yang disediakan pihak Maktab plus berbeda dengan untuk jamaah haji reguler. Untuk plus, busnya cukup besar dan bagus. Untuk jamaah haji reguler, pakai bus Hafil yang tempat duduknya sangat rapat dan sempit.
Di Kota Makkah, jamaah haji plus Muhibbah menginap di Hotel Sofitel, hotel berbintang lima di Marwa. Masjidil Haram dengan Sofitel tidak ada jarak. Dari Sofitel, jamaah bisa langsung ke lantai tiga Masjidil Haram. Malah pelataran hotel jadi tempat salat karena halaman masjid sudah penuh.(*)

Sewindu Telkomsel; Sebuah Upaya Membangun Masyarakat Seluler

Dering Ponsel pun Memecah Keheningan Desa

GEMERCIK air yang menghempas dari satu batu ke batu lain di Batang Antokan yang membelah Jorong (Desa, red) Parit Rantang Kenagarian Geragahan Kabupaten Agam Sumatera Barat benar-benar mendayu hati. Air yang bening nan sejuk tumpahan dari Danau Maninjau ini membuat diri semakin hanyut dengan keindahan alam ciptaan-Nya.
Tatkala diri kian terpesona, sambil melihat ikan-ikan hilir mudik di air yang deras dan jernih, tiba-tiba handphone Nokia 8310 yang ada di saku berdering. Ketika tombol ok di ponsel ditekan, di seberang sana terdengar suara menyapa. ''Lagi di mana, kok bunyi air kuat sekali,'' tanyanya. ''Ini, lagi di tepi Batang Antokan di sebuah desa di Sumbar,'' jawabku kala itu.
Ini hanyalah sekelumit cerita saat berada di desa. Sebenarnya, kalau diingat dua tahun sebelumnya, baik itu di bebatuan Batang Antokan di Sumbar maupun di tepian Sungai Indragiri di Riau, kita tidak akan menemukan orang yang menggantungkan ponsel di pinggang atau disimpan di sakunya. Paling-paling, kita hanya akan bertemu dengan anak-anak desa dengan pancing atau jala di tangan. Sementara di pinggangnya terselip pisau atau golok siap menebas semak-semak yang mengganggu jalan mereka.
Tapi kini semuanya sudah berubah drastis. Seiring dengan era otonomi daerah, teknologi maju pun merambah ke pedesaan dan kampung-kampung. Kalau dulu kita mengenal adanya ABRI Masuk Desa (AMD) atau Koran Masuk Desa (KMD), kini kita disuguhkan dengan Telkomsel Masuk Desa (TMD).
    Telkomsel, salah satu operator selular tertua di Indonesia benar-benar membawa angin segar bagi semua lapisan masyarakat di Nusantara ini. Berkat sentuhan yang ditawarkan Telkomsel, kini masyarakat kota tidak bisa ''menyombongkan'' diri lagi dari masyarakat desa. Kalau dulu semua teknologi maju ada di kota, kini masyarakat desa tidak kalah hebatnya menggunakan teknologi maju tersebut dan tidak lagi tercengang sampai di kota.
   Di beberapa desa yang sudah terlayani jasa telepon seluler, tidak lagi mengherankan kalau seorang petani menenteng ponsel sambil ke sawah, atau seorang pekerja pemanjat kelapa di Indragiri Hilir sebelah tangannya memegang ponsel dan dia terus naik ke puncak pohon.
Semua ini sekarang sudah nyata dan tidak mimpi lagi. Hamparan kebun karet dan sawit di Riau Daratan, di bawahnya kita akan temukan petaninya menggunakan ponsel sambil menyadap getah karet atau mendodos buah sawit. Mereka setiap saat bisa mengetahui perkembangan harga-harga karet atau sawit di pasaran dan mereka tidak bisa dibohongi lagi oleh orang lain terkait harga. Semuanya berkat Telkomsel.
   Kita tak bisa pungkiri, Telkomsel memang memiliki jangkauan layanan terluas di Indonesia. Delapan tahun keberadaannya di Indonesia, banyak sudah perubahan yang telah dilakukannya. Perluasan jaringan terus mereka lakukan, demi memanjakan pelanggannya yang kini sudah mencapai angka tujuh juta di nusantara.
Kini di Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) saja, pelanggan Telkomsel sudah mencatatkan angka satu juta pelanggan. Pelanggan sebanyak ini tersebar di kota dan desa pada empat provinsi seperti Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Riau Daratan.
''Dan tentu saja pelanggan sebanyak itu harus didukung oleh ketersediaan jaringan yang luas dan kuat. Kita ingin di manapun pelanggan Telkomsel nantinya berada di Sumbagut bisa menikmati pelayanan kita,'' ungkap General Manager Sales and Customer Service Telkomsel Regional Sumbagut Agoes Soekarno dalam suatu kesempatan kepada Riau Pos.
    Ini bukti, dan bukan mimpi. Motto Begitu Dekat, Begitu Nyata benar-benar menjadi cemeti bagi Telkomsel untuk terus bergerak dan berinovasi. Di Provinsi Riau saja, sudah semua kabupaten dan kota terlayani Telkomsel. Mulai dari Pekanbaru, Dumai, Bengkalis, Siak, Rokan Hilir, Rokan Hulu, Kampar, Pelalawan, Kuansing, Rengat, Tembilahan, Tanjungpinang, Karimun, Batam hingga ke tujuh pulau kecil di tengah-tengah Lautan Cina Selatan, Natuna.
   Itu baru kabupaten/kota. Kota-kota kecil yang berstatus kecamatan dan desa sudah banyak terlayani jasa Telkomsel. Lihat saja Minas, Kandis, Duri, Airtiris, Kuok, Sorek hingga ke Kuala Enok Tembilahan. ''Tidak hanya daerah-daerah itu, beberapa pemancar kita juga akan segera berfungsi di beberapa kecamatan dan desa lainnya di Riau Daratan ini,'' kata Manager Grapari Telkomsel Pekanbaru Lukas Pora kepada Riau Pos.
    Kalau jalur dari Pekanbaru, Minas, Kandis, Duri sampai Dumai sudah lama terlayani Telkomsel, bisa jadi dalam waktu tak lama lagi jalur Pekanbaru, Bangkinang hingga ke Sumatera Barat pelanggan Telkomsel tak perlu mematikan ponselnya lagi. ''Memang kita sedang mengupayakan jalur tersebut bisa dinikmati pelanggan Telkomsel,'' jelas Agoes.
   Menurut General Manager Network Operation Telkomsel Regional Sumbagut Gideon Edie Purnomo kepada Riau Pos, untuk memanjakan satu juta pelanggan Telkomsel, di Sumbagut ini sudah dibangun ratusan Base Transceiver Station (BTS) --sekitar 700 ratusan. ''Di Sumbagut kita sudah hadir di 54 kabupaten/kota dari 61 kabupaten/kota yang ada. Jadi tinggal enam kabupaten/kota lagi yang belum terlayani,'' jelasnya.
   Di Riau Daratan, katanya, sudah semua kabupaten/kota terlayani. Di Sumatera Utara, 19 dari 20 kabupaten/kota sudah aktif BTS atau pemacar Telkomsel, di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 10 dari 15 kabupaten/kota sudah terlayani. ''Dan di Sumatera Barat, 14 dari 15 kabupaten/kota sudah bisa menikmati pelayanan Telkomsel,'' ujarnya.
Delapan tahun Telkomsel benar-benar telah menjadi savana sebagaimana motto ''Dari Rumput Menjadi Savana''. Berawal dari Batam-Bintan sebagai pilot proyek GSM di Indonesia yang merupakan cikal bakal keberadaan Telkomsel, kini perusahaan selular ini telah menjadi market leader.
   Pergeseran segmen pasar niche market di kota-kota besar ke pedesaan semakin membuat Telkomsel susah untuk dikalahkan. Apalagi niatnya untuk mewujudkan pembangunan paradigma baru yakni pemberdayaan berbasiskan sumber daya lokal dengan terlebih dahulu membangun prasarana telekomunikasi di kawasan-kawasan yang sepintas lalu dan dalam jangka pendek mungkin tidak layak secara ekonomi.
    Semua ini bisa kita lihat kenyataannya sekarang. Di Riau Daratan saja, berapa banyak tempat --yang secara jangka pendek tidak ekonomis buat Telkomsel-- semuanya sudah dimasuki operator selular di bawah payung Telkomsel. Petani karet, coklat, sawit, kelapa sampai kepada nelayan di tengah-tengah Sungai Siak yang keruh, kini sudah menikmati fasilitas ponsel tersebut. Mereka tidak bisa dimainkan lagi oleh pedagang perantara terkait harga. Karena dengan ponsel di tangan, mereka kapan pun bisa mengetahui harga di pasaran.
   Belum lagi di Sumatera Barat. Provinsi yang hanya mengandalkan keindahan alamnya tentu saja sangat membutuhkan ketersediaan jaringan telekomunikasi. Kalau dipatok hanya dengan telekomunikasi telepon biasa, kondisinya saat ini sangat memprihatinkan dan sangat susah untuk mendapatkannya. Sementara, sebuah industri pariwisata harus menyediakan banyak fasilitas agar pengunjung betah di tempat tersebut.
 Tentunya, dengan kehadiran Telkomsel di banyak tempat di Sumatera Barat sangat mendukung dunia pariwisata di daerah tersebut. Pengunjung pun bisa betah. Karena kapan dan di manapun mereka berada, informasi dengan orang-orang tersayang, teman, kawan kantor atau teman bisnis tidak terputus.
   Apalagi dengan berbagai fasilitas yang disediakan Telkomsel, pelanggan tidak perlu repot-repot. Mau mengetahui dunia saat memancing di tengah Danau Singkarak, cukup lewat ponsel yang ada kartu Navigatornya. Atau mau transfer uang dan mencek saldo rekening di bank saat berada di tepi Ngarai Sianok Bukittinggi semuanya bisa lewat ponsel.
   Begitu pula halnya di Sumatera Utara yang begitu luas dengan kebun karet, coklat, sawit serta Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang kini sedang dilanda konflik, sudah barang tentu keberadaan Telkomsel menjadi utama dan sangat dibutuhkan. Kalau komunikasi dengan telepon biasa kabelnya bisa diputus orang, lain halnya dengan Telkomsel. Kalau BTS-nya tidak rusak, maka komunikasi akan jalan terus dan tidak akan bisa diputus orang lain --kecuali menunggak pembayaran.
    Dengan kenyataan tersebut, wajar saja operator yang berulang tahun ke-8 tanggal 26 Mei 2003 hari ini sering mendapatkan penghargaan dari hasil cucuran keringat karyawan-karyawannya. Empat kali sejak tahun 1999 hingga 2002, Telkomsel mendapatkan penghargaan Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA) melalui survey yang dilakukan lembaga independen Forontier.
    Penghargaan ICSA tersebut diberikan untuk dua produk terkenal Telkomsel yakni kartuHALO dan simPATI yang terpilih sebagai produk terbaik kategori kartu paskabayar dan prabayar dalam memuaskan pelanggan. Tahun 2001, Telkomsel juga dinobatkan sebagai The Big 10 Leading Company in Indonesia di urutan ke-7.
   Sedangkan di awal tahun 2003 lalu, melalui inovasi penerapan eMobile Technology-Based Multi-bank Mobile Banking, Telkomsel kembali mendapatkan penghargaan berupa honoris CIO 100 Awards dari CIO Magazine, majalah IT yang dikeluarkan oleh International Data Group Singapore.(mhd nazir fahmi)

Pelanggan, BTS dan Jangkauan Layanan Telkomsel

Pelanggan:
Š-- Indonesia : 7 juta
-- Sumbagut : 1 juta
-- Riau Daratan : 300 ribu (lebih kurang)

BTS:
-- Indonesia : 4.050 buah
-- Sumbagut : 700 buah (lebih kurang)
-- Riau Daratan : 180 buah (lebih kurang)
-- Riau Kepulauan : 220 buah (lebih kurang)

Jangkauan Layanan:
-- Sumbagut : 54 kabupaten/kota dari 61 kabupaten/kota
-- Riau Daratan : 11 kabupaten/kota dari 11 kabupaten/kota
-- Sumut : 19 kabupaten/kota dari 20 kabupaten/kota
-- NAD : 10 kabupaten/kota dari 15 kabupaten/kota
-- Sumbar : 14 kabupaten/kota dari 15 kabupaten/kota

Sumber: Telkomsel Jakarta, Sumbagut, Pekanbaru dan Batam

Tulisan Pemenang I LKTJ Adi Kelana 2003

Berebut Ladang CPP

BLOK Coastal Plains Pekanbaru (CPP) begitu menggiurkan banyak pihak. Ladang yang kaya dengan minyak bumi berkualitas tinggi itu, mulai awal tahun 2000 begitu hangat dibicarakan rakyat Riau. Seiring dengan era reformasi dan otonomi daerah, ladang minyak yang mulai dikuasai PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) sejak 9 Agustus 1971 itu, harus jatuh ke tangan Riau setelah habis masa kontrak selama 30 tahun. Namun setelah melewati perjalanan panjang, akhirnya Selasa 6 Agustus 2002 Provinsi Riau berhasil mendapat peran dalam pengelolaan Blok CPP. Keinginan besar masyarakat Riau itu pun jadi kenyataan, setelah PT CPI menyerahkan Blok CPP kepada pemerintah dan dilakukan penandatanganan kontrak kerja sama penguasaan pada hari itu. Dan pukul 00.00 Kamis 8 Agustus 2002, CPP pun resmi dikelola Riau.
    Walau pun sudah resmi dikelola oleh Riau melalui PT Bumi Siak Pusako (BSP) yang bekerjasama dengan Pertamina Hulu, namun antiklimaks perjuangan mendapatkan Blok CPP bukanlah hanya pada hari itu. Memang, tanggal 8 Agustus 2002 merupakan saat bersejarah dengan berakhirnya kontrak PT CPI di Blok CPP, tapi ada beberapa hari yang bersejarah lagi dalam proses penguasaan tersebut. Pada 7 Agustus 2001 setahun lalu, setelah kerasnya tuntutan dari berbagai komponen masyarakat Riau, akhirnya pada hari itu lahirlah sebuah kesepakatan dan diakomodirnya tuntutan masyarakat Riau tentang pengelolaan Blok CPP. Kala itu, berdasarkan hasil pertemuan Tim Negosiasi Riau, Pertamina, Direktur Jenderal Minyak dan Gas serta Direktur PT CPI maka dihasilkan empat butir kompensasi Blok CPP bagi Provinsi Riau. Kesepakatan kompensasi tersebut, langsung ditandatangani pihak-pihak yang melakukan perundingan. Dari Riau penandatanganan kesepakatan itu dilakukan Wakil Ketua DPRD Riau Drs Wan Abubakar, dari PT CPI oleh Presiden Direktur Humayunbosha, sementara dari Pertamina ditunjuk Effendi Situmorang untuk menandatangani.
     Adapun empat butir kompensasi yang disepakati itu menyangkut persiapan pengoperasian Blok CPP, pengembangan pendidikan masyarakat Riau, fasilitas untuk masyarakat tempatan dan kebutuhan operasi. Merasa tuntutan sudah diperhatikan, ancaman dari Aliansi Riau untuk Rebut Blok CPP (Aruk) untuk menduduki sejumlah ladang minyak yang merupakan bagian dari Blok CPP akhirnya dibatalkan.
   Beranjak dari berbagai kesepakatan tersebut, maka dimulailah berbagai langkah baru. Dan dalam hal ini sudah mengikutsertakan perwakilan dari Kabupaten Siak dalam Tim Negosiasi Riau untuk mendapat hak pengelolaan Blok CPP tersebut. Dan tanggal 3 Januari 2001, sebuah sejarah panjang perjuangan mendapatkan hak pengelolaan di Blok CPP membuahkan hasil. Pada hari itu ditandatangani Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemprov Riau dan Pertamina tentang pengelolaan Blok CPP pasca 8 Agustus 2002.
   Pada kesempatan tersebut disepakati secara bulat pengelolaan Blok CPP mengikutsertakan Riau dan dalam berbagai perundingan antara Pertamina dan Tim Negosiasi Blok CPP, juga diikutsertakan perwakilan dari Kabupaten Siak. Selanjutnya, salah satu dari hasil berbagai perundingan itu, kemudian ditunjuk PT BSP sebagai pengelola Blok CPP. Setelah adanya kesepakatan memberi kesempatan kepada Riau untuk mengelola Blok CPP, polemik baru pun muncul seiring ditunjuknya PT BSP sebagai pengelola Blok CPP. Persoalan pembagian saham antara Kabupaten Siak dengan Pemprov Riau menjadi persoalan serius.
   Di mana DPRD Siak, memutuskan bahwa dalam penyertaan saham pada PT BSP itu, Siak harus menguasai 70 persen dari keseluruhan saham. Hanya saja, ternyata keinginan ini mendapat benturan dari Gubernur Riau H Saleh Djasit SH. Dalam suatu pertemuan dengan Tim Blok CPP, Gubri sempat melontarkan bahwa saham untuk Siak semestinya hanya 40 persen. Sisa saham lainnya, 40 persen untuk Pemprov dan 20 persen lagi untuk daerah penghasil lainnya. Hanya saja keinginan Gubri tersebut tentu saja tak bisa diterima oleh perwakilan dari Kabupaten Siak, sebab yang mereka bawa adalah suara rakyat, berdasarkan hasil keputusan DPRD Siak.
   Polemik soal saham terus berlanjut. Tanggal 20 April 2002, Gubri mengeluarkan SK tentang Tim Perumus Penetapan Modal (saham) pada PT BSP. SK itu mendapat reaksi keras dari komponen masyarakat Siak. Beberapa komponen masyarakat di Siak menyebut SK tersebut cacat hukum. Alasannya, berdasarkan SK tersebut, salah satu konsideran penetapan SK itu berdasarkan pertemuan yang dilakukan 30 Maret 2002, tentang Tim Penetapan Penyertaan Modal pada PT BSP dalam pengelolaan Blok CPP pasca 8 Agustus hari ini. Yang menjadi keberatan komponen masyarakat Siak ini adalah, karena pertemuan 30 Maret itu yang disepakati adalah tim penetapan, bukan tim perumus seperti dalam SK Gubri tersebut.
    25 April 2002, Tim Blok CPP kembali mengadakan pertemuan terkait pembagian saham lagi. Pertemuan yang dipimpin Sekdaprov Arsyad Rahim itu ternyata tidak membuahkan hasil, karena Siak tetap bertahan pada angka 70 persen pada PT BSP. Sementara dari Pemprov sendiri, tetap pada pendirian bahwa Siak tidak lebih dari 50 persen dari saham pada PT BSP. Akhirnya pertemuan itu  tidak membuahkan hasil dan komposisi saham pada PT BSP masih belum terpecahkan. Jadi tak heran, kalau pada penyerahan dan penandatanganan penyerahan Blok CPP kepada Riau beberapa bulan lalu itu, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro juga sempat menyinggung masalah pembagian saham pada PT BSP yang hingga hari ini belum selesai.
    Purnomo menegaskan bahwa soal saham tersebut adalah masalah daerah. Untuk itu dia meminta untuk diselesaikan di tingkat daerah. Dan dia yakin Pemprov Riau dan Pemkab Siak bisa menyelesaikan masalah ini secara bijak.
Reformasi
     Sebenarnya kalau dirunut kembali, menghangatnya pembicaraan Blok CPP sudah dimulai awal tahun 2000 lalu bersamaan dengan proses reformasi di negeri ini. Pada bulan Maret 2000, berbagai pembicaraan baik itu di Riau, maupun pusat sudah menggaung-gaungkan Blok CPP.
Ketika itu persoalan kepemilikan saham oleh Pertamina di CPP menjadi perdebatan sengit. Seperti pada tanggal 4 April 2000, Direktur Eksplorasi dan Produksi Pertamina Gatot K Wiroyudo kepada wartawan di Jakarta menyatakan, Pertamina menurunkan penawaran kepemilikan saham untuk mengelola lapangan minyak Blok CPP oleh Riau pasca 2001 menjadi 55 persen. Menyusul negosiasi bagi hasil blok tersebut dengan operatornya yaitu PT CPI. Pada hari yang sama dukungan terhadap Pemprov Riau dalam pengelolaan Blok CPP juga mengalir dari berbagai pihak termasuk anggota Komisi VIII DPR RI Prito Budi Santoso dan dia mengatakan bahwa DPR mempunyai semangat yang sama dengan Pemprov Riau untuk mengelola Blok CPP.
    1 Mei 2000, Vice President General Affairs PT CPI T Amir Sulaiman SE Ak kala itu menyatakan, keinginan Pemprov Riau untuk turut serta dalam kepemilikan Blok CPP hendaknya memperhatikan biaya yang dikeluarkan untuk operasi itu. Karena untuk memiliki saham di blok tersebut, Pemprov Riau harus turut serta menyertakan investasinya untuk biaya operasional. Namun, pada hari yang sama kala itu, telinga orang-orang Riau panas mendengar pernyataan dari Direktur Pertamina Baihaki Hakim. Baihaki menyebut bahwa keinginan pemerintah untuk mengikut sertakan Pemprov Riau mengelola Blok CPP dianggap mempersulit perundingan Pertamina dengan PT CPI.
    Karena adanya pernyataan dari Baihaki tersebut, membuat Gubernur Riau H Saleh Djasit angkat bicara esok harinya. Saleh mengharapkan agar Riau dilibatkan dalam perundingan antara Pertamina dengan PT CPI tersebut. Tanggal 3 Mei 2000, sebuah peristiwa penting terjadi di Riau. Di tengah menghangatnya pembicaraan soal Blok CPP saat itu Presiden KH Abdurrahman Wahid datang ke Pekanbaru untuk menghadiri sebuah acara. Tentu saja kehadiran Gus Dur di Pekanbaru saat itu diharapkan menjadi momen penting apalagi terkait Blok CPP.
    Dan memang, saat itu Gus Dur mengeluarkan pernyataan bahwa Blok CPP akan diserahkan kepada Pemprov Riau setelah berakhirnya masa kontrak PT CPI tahun 2001. Namun, karena sebelumnya Gus Dur sering membuat pernyataan kontroversial dan setelah itu diubahnya sendiri, maka berbagai kalangan di Riau pesimis dengan kata-kata Gus Dur tersebut.
Mega Perpanjang
    Sebenarnya kalau kembali kesejarah awal, tanggal 8 Agustus 2001, seharusnya penguasaan Blok CPP sudah habis masa kontraknya oleh PT Caltex Pacific Indonesia (CPI). Hanya saja, karena pemerintah pusat menganggap Riau belum siap untuk mengelolanya, maka kontraknya diperpanjang satu tahun oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Ketika presiden masih dijabat oleh KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, upaya memperjuangkan Blok CPP sempat terjadi tarik ulur. Sang presiden yang dikenal selalu mengeluarkan pernyataan kontroversial tersebut, ternyata berpengaruh besar terhadap perebutan Blok CPP.
    Di saat kedatangannya di Pekanbaru 3 Mei 2000, dia menyebut bahwa Riau berhak mengelola sebagian besar sumberdaya alamnya. Lalu pada kesempatan lain muncul pernyataan, bahwa sesungguhnya Riau itu tak ada apa-apanya. Di tengah-tengah adanya pernyataan Gus Dur yang berubah-ubah tersebut, sebenarnya gerak dan langkah perjuangan tetap jalan. Setelah Gus Dur menyebut Riau berhak mengelola Blok CPP, keesokan harinya tanggal 4 Mei 2000, Mentamben Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa Riau pasti akan mendapat bagian dalam pengelolaan Blok CPP sesuai dengan pertimbangan dan keadilan.
    Pada tanggal 22 Mei 2000, pemerintah memberi waktu satu bulan kepada Pemprov Riau untuk menentukan empat opsi dalam pengelolaan Blok CPP. Empat opsi tersebut yakni, pertama, Pemprov Riau bersedia bekerjasama dengan Caltex dan Pertamina. Opsi kedua, Pemprov Riau bekerjasama dengan Caltex saja. Opsi ketiga, Pemprov Riau bekerjasama dengan Pertamina saja. Dan opsi keempat, Pemprov Riau memilih sendiri mitra lokalnya dalam mengelola Blok CPP.
   Menindaklanjuti semua itu, pada hari-hari berikutnya dalam bulan Mei 2000 tersebut, pemerintah, Pertamina, Caltex dan Pemprov Riau menyepakati satu opsi untuk menyelesaikan masalah Blok CPP. Gubri Saleh Djasit SH menyatakan kala itu, satu opsi tersebut adalah kebebasan bagi Pemprov Riau untuk memilih sendiri mitranya dalam mengelola Blok CPP.
Dengan adanya opsi tersebut, Riau berusaha mempersiapan berbagai hal untuk pengelolaan Blok CPP. Termasuk mempersiapkan proposal teknis pengelolaannya. Hingga mencari mitra Pemprov Riau untuk mengelola Blok CPP tersebut. Dalam upaya mencari mitra ini ternyata tidak mudah dan perjuangan memperebutkan Blok CPP kian berlarut-larut.
   Dalam berlarut-larutnya perjuangan tersebut, kondisi perpolitikan tanah air sedang panas-panasnya. Pernyataannya yang sering kontroversial dan karena tidak punya ketetapan diri, Gus Dur didongkel dari kursi kepresidenan melalui Sidang Istimewa (SI) MPR. Posisi Gus Dur langsung digantikan oleh Megawati Soekarnoputri yang sebelumnya menjabat wakil presiden.
Di masa Megawati, perjuangan merebut Blok CPP tidaklah semudah membalik telapak tangan. Malah dalam masa awalnya memerintah, keputusannya telah menyebabkan marah masyarakat Riau. Pasalnya, dalam sebuah instruksinya yang diumumkan Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo tanggal 3 Agustus 2001, Mega memperpanjang kontrak Blok CPP selama satu tahun terhitung 8 Agustus 2001.
   Keputusan presiden memperpanjang kontrak Blok CPP itu mendapat reaksi keras dari masyarakat Riau. Menyikapi keputusan presiden tersebut, sejumlah komponen masyarakat Riau, 4 Agustus 2001 menggelar rapat akbar di Balai Adat Provinsi Riau. Rapat akbar tersebut kemudian melahirkan wadah yang kemudian diberi nama Aliansi Riau untuk Rebut Blok CPP (Aruk) yang saat itu di bawah komando Al azhar.
    Beberapa waktu setelah itu, Aruk mengancam akan melakukan aksi pemblokiran areal Caltex yang berada di Rumbai dan sejumlah ladang minyak yang ada di Riau. Aksi keras dari Aruk ini langsung mendapat respon dari Kapolda Riau dan mengatakan Riau Siaga I dalam penanganan ancaman aksi yang dilontarkan Aruk tersebut. Kini, Blok CPP sudah di tangan Riau. Sudah selayaknya ''proyek'' besar ini dikerjakan dengan serius dan penuh dengan tanggung jawab. Memang sampai detik terakhir, ternyata pembagian saham antara Pemprov Riau dengan Pemkab Siak belum juga tuntas. Belum lagi isu KKN dalam penerimaan karyawan di PT BSP. Hingga kini, dari 4.000 orang pelamar yang dinyatakan lulus seleksi administrasi ternyata belum ada kejelasan tentang nasib mereka.
   Malah, isu yang santer muncul ke permukaan, lebih seratus orang karyawan PT BSP sudah menerima gaji dan sebagian besar orang yang sudah punya jabatan di BSP tersebut, memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan pimpinan-pimpinan BSP. Dan kini jelas sudah ada perebutan di ladang CPP.
   Hanya saja dengan satu kata, Blok CPP harus dikelola dengan baik. Penyerahan penguasaan dari pemerintah melalui Pertamina, jangan disia-siakan. Kalau bisa pengelolaannya jauh lebih baik dari sebelumnya. Karena minyak bumi adalah devisa utama dari Indonesia dan itu jangan disia-siakan.(mhd nazir fahmi)

Statistik Operasi Blok CPP

Luas areal : 9.996 km bujursangkar
* Jumlah Lapangan : 25
* Jumlah Sumur : 465
* Produksi Bersih (BMPH) : 42.000
* Air Terproduksi (BAPH) : 392.000
* Jumlah Tenaga Kerja
- Penuh untuk CPP : 197
- Pendukung : 188
- Mitra Kerja : 518
* Biaya Produksi : 3 dolar AS/barel

NB : Data Juni 2002

Sejarah Blok CPP

Kontrak CPP ditandatangani : 9 Agustus 1971
Penemuan Ladang Minyak Pertama (Kasikan) : 1972
Sumur Minyak Pertama Mulai Berproduksi : 1975

1972: Ladang minyak Kasikan ditemukan
1973: Ladang minyak Pedada dan Terantam ditemukan
1975: Ladang minyak Kasikan dan Terantam berproduksi
Ladang minyak Zamrud ditemukan.
1976: Ladang minyak Pedada mulai berproduksi
Ladang minyak Beruk North East, Bungsu dan South Bagan Belada ditemukan.
1977: Ladang minyak Damar, Kotagaro dan Sabak mulai berproduksi.
Ladang minyak Gatam, Pusaka dan South Zamrud ditemukan.
1978: Ladang minyak Benua, Osam dan Paltan ditemukan.
1979: Ladang minyak Dusun ditemukan
Ladang minyak Osam dan Paitan mulai berproduksi
1980: Ladang minyak Nilam dan Ninik ditemukan
1981: Ladang minyak Beruk North East, Bungsu dan Gatam mulai berproduksi.
1982: Ladang minyak Bumi dan Butun ditemukan
Ladang minyak Zamrud mulai berproduksi
1984: Ladang minyak Pusaka, Dusun dan Benua mulai berproduksi
Produksi puncak CPP dicapai sebesar 99,4 MBOPD
1985: Ladang minyak Dorai dan North Beruk ditemukan
1986: Ladang minyak Giti ditemukan
1988: Ladang minyak Pak ditemukan
Ladang minyak North Beruk mulai berproduksi
1989: Sumur minyak Butun mulai berproduksi
1990: Sumur minyak Pak No 1 mulai berproduksi
1994: Injeksi air Zamrud mulai beroperasi
1997: Injeksi air Beruk mulai beroperasi
Š1998: Injekasi air Pedada mulai beroperasi
1999: Injeksi air Pusaka mulai beroperasi
2000: Target pencapaian program Zamrud - Pedada Zero Water Discharge.
2001: Kontrak pengelolaan Blok CPP oleh CPI berakhir 8 Agustus 2001.
Pemerintah memperpanjang kontrak pengelolaan Blok CPP oleh CPI untuk satu tahun, yakni hingga 8 Agustus 2002.
2002: Kontrak pengelolaan Blok CPP oleh CPI berakhir 8 Agustus 2002 dan pengelolaan diserahkan kepada Pertamina Hulu dan PT

Bumi Siak Pusako (BSP).

NB : Sumber dari PT CPI

Iko Awak Sabananyo


KETIKA Allah SWT menakdirkan awak muncul ke dunia ini pada 28 November 1972 lalu, sang Amak dan Buya memberi nama Nazirman Suwirda. Namun belakangan nama awak diganti menjadi Mhd Nazir Fahmi. Amak dan Buya beralasan karena ada anak tetangga bernama Suwirda. Desa Parit Rantang, Kecamatan Lubukbasung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, di situlah kampung halaman awak.
       Mengawali pendidikan sebagai murid Sekolah Dasar di SD Lakuak di tepian Batang Antokan yang sangat menantang tempat Rafting alias arung jeram. Lalu SMP di SMP terpanjang di Sumatera Barat yakni SMPN 1 Lubukbasung. Berlanjut SMAN 1 Lubukbasung. Semasa SMA awak aktif di Pramuka dan OSIS. Ya biasalah, anak-anak Fisika yang kata orang pintar-pintar sangat dikenal oleh guru-guru.
      Di saat kawan-kawan awak banyak menjadi mahasiswa undangan, awak pilih merantau ke Pekanbaru sebagai kuli bangunan. Ya....maklumlah, Amak dan Buya ekonominya pas-pasan. Awak sekeluarga banyak dan sama-sama sekolah. Satu tahun kerja kuli di Pekanbaru, awak teringat ingin kuliah. Maka jadilah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Syarif Qasim Pekanbaru sebagai tempat menimba ilmu.
     Banyak kawan-kawan semasa SMA kaget ketika awak kuliah di IAIN. Kok anak Fisika pilih IAIN, apa nggak salah. Ternyata panggilan bathinlah yang membawa awak kuliah di perguruan tinggi negeri berbasis Islam. Apalagi ketika saat di kampung halaman, untuk mencari seorang pengkhutbah Jumat banyak yang basilak tundo.
Awak memutuskan mendaftar di Fakultas Ushuluddin Jurusan Dakwah.
     Kini IAIN Susqa telah tiada dan berganti menjadi UIN Suska Riau. Selama di IAIN, awak sempat jadi Sekretaris Umum Senat Mahasiswa Institut (SMI), Sekretaris Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala Susqa), Pimpinan Umum Tabloid Gagasan dan Senat Fakultas Ushuluddin. Semasa mahasiswa beberapa kali mengikuti mengikuti pelatihan Manajemen Penerbitan Mahasiswa Tingkat Nasional, Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional di Surabaya.
     Empat tahun di IAIN Susqa, pada 1997 diterima di Harian Pagi Riau Pos sebagai reporter. Awak ditugaskan di Siak, Perawang dan Minas. Dua tahun di Perawang, awak ditarik ke Pekanbaru sebagai asisten redaktur terbitan Minggu. Tak lama di mingguan, langsung pegang halaman Batam Bintan dan Sumbar. Lalu diminta pegang halaman Ekbis. Alhamdulillah sang bos memuji dan berujar bahwa ternyata alumni IAIN bisa juga pegang ekonomi. Tak lama di ekbis, diminta menukangi halaman 1 Riau Pos sekitar satu tahun lebih.
     Dari tahun 2003 hingga 2007 awal, dipercaya menjadi Redaktur Pelaksana Kompartemen I dan Metropolis. Maret 2007, awak diminta mengurus Harian Pagi Pekanbaru Pos sebagai Wakil Pemimpin Redaksi. 2010, kembali ke Riau Pos sebagai Wakil Pemimpin Redaksi. Tahun 2012, dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi Pekanbaru Pos. Setahun di Pekanbaru Pos, Januari 2013 kembali ke Riau Pos sebagai Pemimpin Redaksi Selama wartawan beberapa lomba karya jurnalistik awak ikuti dan Alhamdulillah bisa menang. Tahun 2002 sebagai juara II Lomba Karya Tulis Jurnalistik Telkomsel di Jakarta. Tahun 2003 dan 2005 kembali sebagai juara pertama LKTJ Telkomsel Nasional, 2006 Juara I LKTJ Telkomsel-Jawa Pos. Tahun 2003 juga dinobatkan meraih penghargaan Raja Adi Kelana dari PWI Riau atas tulisan Berebut Ladang CPP.
      
Selain itu Telkomsel juga menobatkan sebagai The Best Journalist dan The Best Wraiter Telkomsel. Dari sini, Allah menakdirkan awak melihat Kakbah di Baitullah Makkah Al Mukarramah
pada umroh 13 Mei 2006. Hadiah lomba sebanyak Rp10 juta, awak bawa untuk umrah. Allah kembali memperlihatkan kasih sayangnya sama awak. Abangda Ibnu Masud dari PT Muhibbah Mulia Wisata mengembalikan uang Rp6 juta dari Rp12.800.000 biaya umrah awak. Alhamdulillah.
      Masih di tahun 2006, Allah kembali memberikan rahmatnya yang sangat besar kepada awak. Abangda Ibnu Masud mengajak menunaikan ibadah haji ke Makkah dengan fasilitas ONH Plus. Sebuah rahmat yang tak terduga-duga dan tak disangka-sangka.
       


Desa Wisata versus Sate Danguang Danguang

DINGINNYA Lembah Harau, terusir oleh setongkol jagung bakar. Sebungkus sate, terhidang. Aromanya mengelitik perut. “Ini sate danguang dangua...