Total Tayangan Halaman
Senin, 14 November 2011
Titel Haji
ALHAMDULILLAH, seluruh jamaah haji asal Provinsi Riau sudah kembali ke tanah air. Hampir 40 hari berada di tanah suci dalam rangka menunaikan rukun Islam yang ke lima, pulang ke negeri Lancang Kuning dengan pencerahan jiwa dan kalbu. Rangkaian ibadah haji yang dilaksanakan, telah mematri hati dengan mutiara-mutiara keimanan. Kekhusukan beribadah yang langsung dengan melihat Kakbah, telah memberikan pengalaman baru dalam keberagamaan yang diridhoi Allah.
Kembali ke tanah air semestinya membawa nuansa baru. Mulai dari tata cara beribadah yang benar-benar bersumber kepada Alquran dan hadist hingga tata kelakuan yang berlandaskan akhlak Rasulullah SAW di tengah-tengah masyarakat. Jika selama di tanah suci rajin salat lima waktu di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, pulang ke tanah air terus digelorakan dengan mendatangi dan menegakkan salat berjamaah di masjid maupun musala.
Pak haji Fulan dan buk Hajjah Fulannah, seringkali menjadi panggilan akrab saat di tanah air. Biasanya sebelum ke tanah suci dipanggil nama, setelah kembali sudah pasti dipanggil haji atau hajjah. Satu lagi titel dilekatkan ke nama. H atau hajjah mendompleng ke nama yang sebelumnya mungkin sudah punya titel Ir, Dra, Dr dan sebagainya.
Pada masyarakat kita hal ini dianggap wajar, bahkan sebagian kalangan dijadikan suatu keharusan titel haji atau hajjah tersebut. Padahal tanpa disadari titel ini dapat memberikan daya magnet yang beraneka ragam jika disandangkan pada seseorang.
Dalam buku Bagaimana Sepulang Haji karya Abdurrahman Al Mukaffi, secara garis besar daya magnet itu terbagi dalam dua kategori. Pertama, sekelompok orang yang memandang titel haji merupakan suatu keharusan. Pada mereka akan terjadi reaksi yang luar biasa jika seseorang tidak memanggil dirinya dengan titel tersebut. Umumnya, mereka akan marah jika titel haji atau hajjahnya tidak diikutkan dalam namanya.
Hal ini muncul karena merasa titel haji yang layak disandangkan kepadanya merupakan bentuk pelecehan terhadap kehormatan diri mereka. Kemarahan menguasai mereka hingga tak jarang terucap,''Haji itu capek dan mahal, tau!'',''Tolong nama saya ditulis dengan hajinya!'', atau ''Saya udah haji, lho!''. Padahal tanpa disadari mereka telah merusak dengan sendirinya keikhlasan ibadah haji.
Selain marah, riya adalah motor utama yang mendorong kelompok ini menjadikan titel haji merupakan keharusan. Bagi mereka hal itu tidak dipandang sebagai hal yang riya, melainkan suatu bentuk penghormatan yang layak disandangkan kepada mereka yang telah dipanggil Allah dalam menunaikannya.
Kedua, sekelompok orang yang memandang titel haji merupakan perkara yang dapat merusak amalan haji mereka. Bagi kelompok ini, dipanggil dengan titel hajinya atau tidak bukanlah suatu persoalan. Bahkan, ada sebagian mereka mengingatkan orang yang memanggil dengan titel itu agar tidak mengulanginya.
Tidaklah yang demikian itu terjadi melainkan khawatir munculnya rasa bangga yang dapat merusak amal haji mereka. Hal ini muncul sebagai kesadaran bahwasanya mereka tidak mencari saksi untuk amal yang dilakukannya, selain Allah dan tidak pula mencari balasan dari siapapun selain Allah. Sekalipun hanya untuk dipanggil ''Pak Haji'' dan Bu Hajjah''.(*)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Desa Wisata versus Sate Danguang Danguang
DINGINNYA Lembah Harau, terusir oleh setongkol jagung bakar. Sebungkus sate, terhidang. Aromanya mengelitik perut. “Ini sate danguang dangua...
-
MUHAMMAD SAW bukan hanya seorang nabi dan rasul, tapi juga manusia agung. Teladan yang menjadi uswatun hasanah buat semua manusia. Disegani ...
-
KETIKA Allah SWT menakdirkan awak muncul ke dunia ini pada 28 November 1972 lalu, sang Amak dan Buya memberi nama Nazirman Suwirda. Namun ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar