Total Tayangan Halaman

Jumat, 04 Desember 2009

Robohnya Surau Kami

KALAU beberapa tahun lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
  Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
  Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
  Cerita di atas bukanlah cerita biasa. Tapi itu kutipan dari cerpen Robohnya Surau Kami. Robohnya Surau Kami adalah karya monumental seorang Ali Akbar Navis atau yang lebih dikenal publik dengan sebutan AA Navis, putra Padangpanjang kelahiran 17 November 1924. 
  Robohnya Surau Kami adalah sebuah kumpulan cerpen sosio-religi. Cerpen ini pertama kali terbit pada tahun 1956. Di dalam setiap cerpennya di buku ini, AA Navis menampilkan wajah Indonesia di zamannya dengan penuh kegetiran. Penuh dengan kata-kata satir dan cemoohan akan kekolotan pemikiran manusia Indonesia saat itu - yang masih relevan di masa sekarang ini.
  30 September 2009, surau kami kembali roboh. Robohnya bukanlah karena papannya sudah diambil perempuan yang kehabisan kayu bakar. Atau akibat anak-anak terlalu kuat main-main di atasnya. Tapi, surau-surau itu roboh akibat gempa berkekuatan 7,6 SR, yang telah meluluhlantakkan Ranah Minang. 
  Sabtu (3/10), saat memasuki Desa Padang Lariang, Kabupaten Padang Pariaman, pemandangan miris soal surau makin terlihat. Di pinggir jalan menuju Sungai Limau tersebut, satu persatu terlihat surau yang atap atau kubahnya sudah sujud ke tanah seakan minta ampun ke Khalik.
  Begitu pula di Desa Batu Basa sampai ke Sungai Geringging. Malah di Desa Padang Alai hingga ke Dusun Patamuan Gunuang Nan Tigo, surau-surau banyak yang rata dengan tanah bersamaan dengan rumah di kiri kanannya. Hati ini semakin perih tatkala melihat Surau Ambacang yang cukup besar di Dusun SP 3 Paladangan, Padang Alai, Kabupaten Padang Pariaman. Kubahnya sujud ke tanah, atapnya remuk, dindingnya tercerai berai. Ada jam yang sudah mati di samping kubah menununjukkan angka 17.50 WIB.
  Mengapa bisa seperti ini? Setiap pulang kampung, apakah ada hajatan atau Idul Fitri, di hati ini selalu menangis melihat surau-surau tersebut. Setiap tahun, surau terus bertambah. Letaknya berdekatan antara satu sama lain. Tapi tak ada berpenghuni.Kok bisa? Ya, begitulah persaingan antar suku di Minangkabau. Setiap suku berlomba-lomba mendirikan surau. Tapi setelah surau berdiri, tak ada kegiatan di atasnya. Paling-paling ada kegiatan besar saat Maulud Nabi SAW atau istilah Minangnya ''Mandobaleh''.
  Salat lima waktu, tak ada terdengar azan. Azan hanya terdengar dari corong masjid. Itupun kalau salat di dalamnya, paling banter ada imam, garin dan beberapa orang perempuan tua yang sudah uzur. Tak lebih tak kurang.
  Dulu, konsep surau di Minangkabau sangat terkenal ke seantero negeri. Dari suraulah lahir tokoh-tokoh hebat negeri ini. Surau saat itu menjadi pusat kegiatan keagamaan dan sosial. Malamnya ada pengajian hingga laki-laki muda Minang pun harus tidur di surau dalam rangka membangun interaksi demi kematangan usia.
  Tapi, surau-surau itu kini banyak menjadi gudang atau malah tempat menambatkan hewan peliharaan. Tidak ada ketenangan lagi saat melintas di samping surau. Rasa merinding lebih sering terasa melihat tidak terawatnya surau-surau tersebut. Lebih sadisnya lagi, pada bulan puasa lalu, ada laki-laki muda Minang yang sengaja minum-minum dan mabuk di dalam surau pada siang hari. Nauzubillah...
  Jadi tak salah AA Navis dalam cerpennya menukilkan semua hal tentang kondisi surau yang roboh akibat tidak adanya sang kakek yang jadi garim. Tak ada lagi penjaga, tak ada lagi kegiatan ibadah. Yang ada hanya kebanggaan masing-masing orang bahwa sukunya punya surau. Tapi urusan ibadah di dalamnya, diserahkan ke orang alim yang kini mulai langka di Ranah Minang. Apakah kita tidak memikirkan semua ini?

Tidak ada komentar:

Desa Wisata versus Sate Danguang Danguang

DINGINNYA Lembah Harau, terusir oleh setongkol jagung bakar. Sebungkus sate, terhidang. Aromanya mengelitik perut. “Ini sate danguang dangua...