WALAU pelaksanaannya beberapa bulan lagi, Ujian Nasional alias UN kini menjadi perbincangan hangat. Di tingkat elit pendidikan, UN menjadi polemik. Di tingkat pelajar, UN kini bagai momok yang menakutkan. Banyak sudah korban berjatuhan akibat vonis UN. Korbannya tidak pandang bulu, si jenius pun ada yang gagal masuk perguruan tinggi gara-gara gagal dalam UN beberapa hari saja. Sebaliknya, si bodoh bergelimang uang terlihat berprestasi karena tiga hari yang menyesakkan itu.
Pertanyaannya, adilkah ini untuk mereka-mereka yang menjalani 'sidang terakhir' tersebut? Apa penghargaan atas upaya mereka menuntut ilmu selama tiga tahun? Haruskah berjibaku selama tiga tahun dikandaskan oleh ujian yang hanya tiga atau empat hari?
Secara teoritis, UN memiliki dampak positif bagi mutu pendidikan di tanah air ini. Hanya saja, seharusnya jangan jadikan UN sebagai penentu satu-satunya lulus atau tidak lulusnya seorang anak didik. Inilah yang memunculkan rasa ketidakadilan buat anak didik. Mereka bertahun-tahun menuntut ilmu, lalu dipupuskan oleh UN yang tiga hari. Si anak akan mengalami tekanan perasaan saat hendak UN, dan frustrasi ketika hasil UN keluar.
Peraturan dalam dunia pendidikan di Indonesia terus mengalami pasang surut. Ganti menteri, ganti kebijakan. Begitu pula halnya dalam kurikulum. Semestinya sebuah kebijakan itu bisa terus diterapkan, tapi karena ingin terkenal, lalu ganti kebijakan. Lantas korban pun berjatuhan.
1985, adalah tahun pertama dimulainya Evaluasi Belajar Tahap Akhir (Ebtanas). Dari Ebtanas melahirkan Nilai Ebtanas Murni atau NEM. Ujian ini diselenggarakan secara nasional pada tingkat akhir sekolah dasar dan sekolah menengah. Sistem ini mulai diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (pada saat itu) Prof Dr Nugroho Notosusanto.
Nilai Ebtanas Murni ini selain sebagai salah satu indikator kelulusan siswa, juga sebagai satu-satunya penentu kompetisi masuk sekolah negeri di level berikutnya, kecuali untuk tingkat universitas yang memiliki sistem penerimaan tersendiri (yaitu Sipenmaru yang kemudian berganti menjadi UMPTN dan akhirnya SPMB).
Sebenarnya Ebtanas sudah cukup baik. Untuk tempat ujiannya dilaksanakan di sekolah lain dan pengawasnya pun guru-guru dari lain sekolah. Ada juga pengawas dari kepolisian. Hanya saja, Ebtanas ini bukanlah satu-satunya penentu lulus atau tidak lulus seorang siswa kala itu.
Dari Ebtanas, didapatkan NEM. Kalau NEM-nya tinggi, si anak bisa melanjutkan ke sekolah yang lebih baik. Walaupun NEM-nya jeblok, rata-rata saat itu tingkat kelulusan sangat tinggi. Kalau mereka ikut ujian, dipastikan bisa menamatkan tingkat pendidikannya alias lulus.
Di sinilah adanya peran guru dan sekolah bersangkutan. Yang sangat memahami tentang siswa adalah gurunya sendiri. Walaupun seorang siswa NEM-nya rendah, tapi di STTB-nya dinyatakan lulus berdasarkan berbagai pertimbangan. Yang sangat penting, si anak tidak lagi mengulang tahun berikutnya dan dia bisa menamatkan sekolahnya. Tidak ada istilah frustrasi. Kalau si anak pintar, nilainya terdongkrak di STTB dan NEM-nya pun baik. Ketika akan menghadapi ujian, si anak tidak menghadapi tekanan perasaan. Bayang-bayang tidak lulus sangat jauh. Asal, si anak ikut Ebtanas.
Saat ini, semua pihak haruslah realistis menyikapinya. Janganlah bertahan dengan sebuah kebijakan yang tidak bijak. Kalau UN tidak bijak, saatnya diperbaiki. Lihat juga kebijakan-kebijakan yang sudah diterapkan sebelumnya. Bak kata pepatah; kalau sesat di ujung jalan, kembalilah ke pangkal jalan.***
Total Tayangan Halaman
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Desa Wisata versus Sate Danguang Danguang
DINGINNYA Lembah Harau, terusir oleh setongkol jagung bakar. Sebungkus sate, terhidang. Aromanya mengelitik perut. “Ini sate danguang dangua...
-
MUHAMMAD SAW bukan hanya seorang nabi dan rasul, tapi juga manusia agung. Teladan yang menjadi uswatun hasanah buat semua manusia. Disegani ...
-
KETIKA Allah SWT menakdirkan awak muncul ke dunia ini pada 28 November 1972 lalu, sang Amak dan Buya memberi nama Nazirman Suwirda. Namun ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar