IKLAN sekolah gratis yang tampil di televisi swasta belakangan ini, cukup menarik untuk disimak. Terlepas ada isu kampanye di balik penayangan iklan tersebut, yang jelas ada suatu langkah maju menuju perbaikan sumber daya manusia di tanah air ini. Anak-anak bangsa yang berlatarbelakang ekonomi orangtuanya sangat lemah mempunyai harapan baru dan tidak hanya sekedar bermimpi mengenyam pendidikan lebih tinggi dengan formula sekolah gratis.
Sebuah untaian kata dalam iklan tersebut, seperti ungkapan Bapaknya Penjual Koran, Anaknya Bisa Jadi Wartawan, sungguh punya makna mendalam. Dari seorang penjual koran di jalanan, bisa menghasilkan generasi tangguh. Walau ekonomi pas-pasan, si orang tua harus bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan formal, minimal S1.
Kenapa S1? Sangat dimaklumi saat ini beberapa perusahaan pers merekrut wartawan minimal tamatan sarjana. Sudah sangat jarang, tamatan SLTA diterima. Semuanya berbicara atas nama kualitas. Nah, untuk mengecap jenjang S1, saat ini bukanlah dengan biaya murah. Tak usahlah S1, masuk TK dan SD negeri saja kini, sudah ratusan ribu, apalagi SD swasta, jutaan...
Makanya, fenomena sekolah gratis yang didengung-dengungkan akan berdampak sangat positif, kalau benar-benar dijalankan yang diikuti dengan pengawasan dan penindakan. Tanpa semua ini, iklan itu hanya akan jadi legenda saja.
Kalau ditilik dengan seksama, program sekolah gratis dapat memperkecil tingkat buta huruf di Indonesia. Dengan wajib belajar 9 tahun, setidaknya kemampuan membaca sudah mulai terlatih. Akibatnya akan banyak anak yang mulai melek informasi, minimal kemampuan membaca bisa bermanfaat untuk dirinya sendiri.
Dengan sekolah gratis pula, akan mulai bermunculan tenaga kerja usia produktif yang memiliki kemampuan menalar yang lebih baik. Karena wajib belajar hingga jenjang SMP sudah mulai disisipi dengan kurikulum berbasis softskil (kemampuan tambahan) seperti merakit elektronik, ataupun masalah tataboga.
Yang sangat terasa, dengan sekolah gratis akan banyak keluarga terbantu dari segi finansial. Bahkan satu masalah yaitu masalah pendidikan anak mulai teratasi. Ini yang menjadi masalah utama di masyarakat berkembang seperti di Indonesia. Anak turun ke jalan dengan alasan mencari uang untuk biaya sekolah. Tidak sedikit jumlah pengamen jalan yang didominasi oleh usia balita bahkan hingga usia remaja. Setidaknya dengan adanya sekolah gratis, tidak alasan lagi untuk turun ke jalan mengamen dengan alasan mencari uang untuk biaya sekolah.
Di Indonesia, tiga daerah yang telah lama menerapkan sekolah gratis menjadi tempat studi banding daerah lain. Sudah empat tahun lalu, Kabupaten Musi Banyuasin-Sumatera Selatan, Jembrana-Bali, Kutai Kertanegara-Kalimantan Timur sudah membuktikannya.
Jembrana, tergolong paling miskin di Bali. Daerah ini jarang tersentuh dolar turis. Namun, kabupaten ini telah memberlakukan sekolah gratis selama 12 tahun, sama dengan Muba dan Kutai Kartanegara. Kutai Kartanegara sendiri dengan APBD Rp100 miliar, tidak membolehkan anak-anak usia 15 tahun ke bawah berkeliaran di jalan membantu orang tua untuk bekerja.
Bagaimana dengan Riau? Sekolah gratis juga sudah diberlakukan dalam beberapa tahun belakangan. Iuran pendidikan alias SPP tidak lagi dipungut kepada siswa-siswa. Tapi tantangan besar muncul ketika terjadi pungutan tak resmi di sekolah-sekolah negeri melebihi besaran SPP yang digratiskan.
Tidak hanya itu, ketika tahun ajaran baru akan muncul pula fenomena baru perebutan kursi di sekolah-sekolah negeri favorit. Jutaan harus disiapkan orang tua demi harapan anak untuk bisa bersekolah di tempat favorit.
Di sekolah tidak favorit pun orang tua harus menyetor uang dengan dalih untuk beli kursi dan meja jika anaknya mau masuk ke sekolah tersebut. Kalau tidak, siap-siap saja sekolah bersangkutan batal menerima sang anak. Belum lagi menyiapkan uang untuk beli seragam sekolah dan yang sejenisnya.
Kalau begini caranya, anak-anak miskin kembali mengubur mimpinya untuk bisa mengecap pendidikan yang lebih layak. Iuaran sekolah yang sudah gratis, tak sebanding dengan besar dan seringnya pungutan-pungutan tak resmi. Makanya, pengawasan dan penindakan harus ditegakkan.(*)
Sebuah untaian kata dalam iklan tersebut, seperti ungkapan Bapaknya Penjual Koran, Anaknya Bisa Jadi Wartawan, sungguh punya makna mendalam. Dari seorang penjual koran di jalanan, bisa menghasilkan generasi tangguh. Walau ekonomi pas-pasan, si orang tua harus bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan formal, minimal S1.
Kenapa S1? Sangat dimaklumi saat ini beberapa perusahaan pers merekrut wartawan minimal tamatan sarjana. Sudah sangat jarang, tamatan SLTA diterima. Semuanya berbicara atas nama kualitas. Nah, untuk mengecap jenjang S1, saat ini bukanlah dengan biaya murah. Tak usahlah S1, masuk TK dan SD negeri saja kini, sudah ratusan ribu, apalagi SD swasta, jutaan...
Makanya, fenomena sekolah gratis yang didengung-dengungkan akan berdampak sangat positif, kalau benar-benar dijalankan yang diikuti dengan pengawasan dan penindakan. Tanpa semua ini, iklan itu hanya akan jadi legenda saja.
Kalau ditilik dengan seksama, program sekolah gratis dapat memperkecil tingkat buta huruf di Indonesia. Dengan wajib belajar 9 tahun, setidaknya kemampuan membaca sudah mulai terlatih. Akibatnya akan banyak anak yang mulai melek informasi, minimal kemampuan membaca bisa bermanfaat untuk dirinya sendiri.
Dengan sekolah gratis pula, akan mulai bermunculan tenaga kerja usia produktif yang memiliki kemampuan menalar yang lebih baik. Karena wajib belajar hingga jenjang SMP sudah mulai disisipi dengan kurikulum berbasis softskil (kemampuan tambahan) seperti merakit elektronik, ataupun masalah tataboga.
Yang sangat terasa, dengan sekolah gratis akan banyak keluarga terbantu dari segi finansial. Bahkan satu masalah yaitu masalah pendidikan anak mulai teratasi. Ini yang menjadi masalah utama di masyarakat berkembang seperti di Indonesia. Anak turun ke jalan dengan alasan mencari uang untuk biaya sekolah. Tidak sedikit jumlah pengamen jalan yang didominasi oleh usia balita bahkan hingga usia remaja. Setidaknya dengan adanya sekolah gratis, tidak alasan lagi untuk turun ke jalan mengamen dengan alasan mencari uang untuk biaya sekolah.
Di Indonesia, tiga daerah yang telah lama menerapkan sekolah gratis menjadi tempat studi banding daerah lain. Sudah empat tahun lalu, Kabupaten Musi Banyuasin-Sumatera Selatan, Jembrana-Bali, Kutai Kertanegara-Kalimantan Timur sudah membuktikannya.
Jembrana, tergolong paling miskin di Bali. Daerah ini jarang tersentuh dolar turis. Namun, kabupaten ini telah memberlakukan sekolah gratis selama 12 tahun, sama dengan Muba dan Kutai Kartanegara. Kutai Kartanegara sendiri dengan APBD Rp100 miliar, tidak membolehkan anak-anak usia 15 tahun ke bawah berkeliaran di jalan membantu orang tua untuk bekerja.
Bagaimana dengan Riau? Sekolah gratis juga sudah diberlakukan dalam beberapa tahun belakangan. Iuran pendidikan alias SPP tidak lagi dipungut kepada siswa-siswa. Tapi tantangan besar muncul ketika terjadi pungutan tak resmi di sekolah-sekolah negeri melebihi besaran SPP yang digratiskan.
Tidak hanya itu, ketika tahun ajaran baru akan muncul pula fenomena baru perebutan kursi di sekolah-sekolah negeri favorit. Jutaan harus disiapkan orang tua demi harapan anak untuk bisa bersekolah di tempat favorit.
Di sekolah tidak favorit pun orang tua harus menyetor uang dengan dalih untuk beli kursi dan meja jika anaknya mau masuk ke sekolah tersebut. Kalau tidak, siap-siap saja sekolah bersangkutan batal menerima sang anak. Belum lagi menyiapkan uang untuk beli seragam sekolah dan yang sejenisnya.
Kalau begini caranya, anak-anak miskin kembali mengubur mimpinya untuk bisa mengecap pendidikan yang lebih layak. Iuaran sekolah yang sudah gratis, tak sebanding dengan besar dan seringnya pungutan-pungutan tak resmi. Makanya, pengawasan dan penindakan harus ditegakkan.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar