WACANA pemilihan gubernur maupun bupati dikembalikan lagi ke anggota DPRD kian menggelontor. Mulai dari Menteri Dalam Negeri hingga Menteri Hukum dan HAM pun sudah beberapa kali angkat bicara. Dari berbagai komentar yang disampaikan, terlihat keinginan besar Mendagri untuk mengembalikan pesta demokrasi ini ke tangan wakil-wakil rakyat.
Ibaratkan berjalan, sesat di hilir silakan kembali ke hulu. Begitu pepatah lama yang menyiratkan kalau suatu keputusan yang telah dijalankan ternyata tidak memperlihatkan hasil menggembirakan, kembali kepada awal-awal alias ditinjau lagi keputusan tersebut.
Begitu halnya dengan Pilkada di negeri ini. Dulu, gara-gara tidak senangnya rakyat melihat perilaku anggota DPRD dalam memilih gubernur maupun bupati, diusulkanlah Pilkada langsung. Rakyat sangat marah atas sikap memperkaya diri anggota DPRD dengan memanfaatkan momen Pilkada. Sudah isu umum saat itu, satu orang anggota DPRD bisa membawa pulang uang di atas Rp1 miliar ketika terjadi ''serangan fajar''.
Ketika kemarahan pada puncaknya, disetujuilah Pilkada langsung. Rakyat yang menentukan. Rakyat yang memilih siapa gubernur atau bupati yang diinginkan. Untuk calon harus didukung oleh partai dan boleh juga dari perseorang yang syaratnya sangat berat.
Makin murahkan biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang calon gubernur maupun bupati? Ternyata tidak. Malah makin mahal dan berisiko. Salah seorang gubernur terpilih dalam Pilkada 2010 ini mengaku menghabiskan Rp60 miliar saat Pilkada. Belum lagi risiko terpecah belahnya masyarakat karena urusan dukung mendukung.
Lalu, kalau kita kembali ke DPRD yang harus memutuskan siapa gubernur maupun bupati, akankan biayanya makin murah. Atau malah sebaliknya. Bisa-bisa, bandrol suara seorang anggota DPRD akan naik berlipat-lipat.
Jika anggota DPRD-nya 55 orang saja, berarti untuk menang seorang calon gubernur atau bupati paling tidak memegang 30 orang anggota. Kalau beberapa tahun dulu saja ada yang minta di atas Rp1 miliar, bisa jadi kalau dikembalikan ke DPRD, satu orangnya akan minta di atas Rp2 miliar. Kalau itu terjadi, berapa uang yang harus dikeluarkan seorang calon demi sebuah jabatan?
Kalau begini adanya, sudah pasti berimplikasi kepada keputusan-keputusan berikutnya setelah seorang calon itu duduk menjadi gubernur atau bupati. Mana ada orang mau merugi setelah modal yang dikeluarkannya sangat besar. Pasti ujung-ujungnya harus kembali modal. Caranya: KORUPSI. Naudzubillah mindzalik...
Total Tayangan Halaman
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Desa Wisata versus Sate Danguang Danguang
DINGINNYA Lembah Harau, terusir oleh setongkol jagung bakar. Sebungkus sate, terhidang. Aromanya mengelitik perut. “Ini sate danguang dangua...
-
MUHAMMAD SAW bukan hanya seorang nabi dan rasul, tapi juga manusia agung. Teladan yang menjadi uswatun hasanah buat semua manusia. Disegani ...
-
KETIKA Allah SWT menakdirkan awak muncul ke dunia ini pada 28 November 1972 lalu, sang Amak dan Buya memberi nama Nazirman Suwirda. Namun ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar