Total Tayangan Halaman

Jumat, 20 Agustus 2010

Dipilih DPRD, Makin Minimalkah Ongkos Politik?

WACANA pemilihan gubernur maupun bupati dikembalikan lagi ke anggota DPRD kian menggelontor. Mulai dari Menteri Dalam Negeri hingga Menteri Hukum dan HAM pun sudah beberapa kali angkat bicara. Dari berbagai komentar yang disampaikan, terlihat keinginan besar Mendagri untuk mengembalikan pesta demokrasi ini ke tangan wakil-wakil rakyat.
Ibaratkan berjalan, sesat di hilir silakan kembali ke hulu. Begitu pepatah lama yang menyiratkan kalau suatu keputusan yang telah dijalankan ternyata tidak memperlihatkan hasil menggembirakan, kembali kepada awal-awal alias ditinjau lagi keputusan tersebut.
Begitu halnya dengan Pilkada di negeri ini. Dulu, gara-gara tidak senangnya rakyat melihat perilaku anggota DPRD dalam memilih gubernur maupun bupati, diusulkanlah Pilkada langsung. Rakyat sangat marah atas sikap memperkaya diri anggota DPRD dengan memanfaatkan momen Pilkada. Sudah isu umum saat itu, satu orang anggota DPRD bisa membawa pulang uang di atas Rp1 miliar ketika terjadi ''serangan fajar''.
Ketika kemarahan pada puncaknya, disetujuilah Pilkada langsung. Rakyat yang menentukan. Rakyat yang memilih siapa gubernur atau bupati yang diinginkan. Untuk calon harus didukung oleh partai dan boleh juga dari perseorang yang syaratnya sangat berat.
Makin murahkan biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang calon gubernur maupun bupati? Ternyata tidak. Malah makin mahal dan berisiko. Salah seorang gubernur terpilih dalam Pilkada 2010 ini mengaku menghabiskan Rp60 miliar saat Pilkada. Belum lagi risiko terpecah belahnya masyarakat karena urusan dukung mendukung.
Lalu, kalau kita kembali ke DPRD yang harus memutuskan siapa gubernur maupun bupati, akankan biayanya makin murah. Atau malah sebaliknya. Bisa-bisa, bandrol suara seorang anggota DPRD akan naik berlipat-lipat.
Jika anggota DPRD-nya 55 orang saja, berarti untuk menang seorang calon gubernur atau bupati paling tidak memegang 30 orang anggota. Kalau beberapa tahun dulu saja ada yang minta di atas Rp1 miliar, bisa jadi kalau dikembalikan ke DPRD, satu orangnya akan minta di atas Rp2 miliar. Kalau itu terjadi, berapa uang yang harus dikeluarkan seorang calon demi sebuah jabatan?
Kalau begini adanya, sudah pasti berimplikasi kepada keputusan-keputusan berikutnya setelah seorang calon itu duduk menjadi gubernur atau bupati. Mana ada orang mau merugi setelah modal yang dikeluarkannya sangat besar. Pasti ujung-ujungnya harus kembali modal. Caranya: KORUPSI. Naudzubillah mindzalik...

PLN-Pemerintah Harus Seayun Selangkah

BULAN Ramadan tanpa mati lampu adalah salah satu impian warga Riau, khususnya Pekanbaru. Tersebab sudah beberapa kali Ramadan listrik selalu mati bergilir, maka sangat wajar ini menjadi sebuah impian warga kota ini.
Gayung bersambut, Alhamdulillah PLN sudah mengupayakan agar selama bulan Ramadan tidak ada pemadaman bergilir sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. PLN pun berjanji untuk lebih maksimal agar tidak ada lagi pemadaman bergilir dan ini sudah menjadi isu nasional serta sudah pula disampaikan di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhir bulan lalu.
Persoalan listrik di negara ini sebenarnya bisa diselesaikan dengan baik dan malah kalau ditangani secara profesional bisa mengekspornya ke luar negeri. Sumberdaya alam Indonesia yang luar biasa mulai dari minyak bumi, batubara hingga gas sungguh berlim pah. Belum lagi sungai-sungai dengan air derasnya yang tidak terhitung jumlahnya merupakan sumber energi murah yang belum termanfaatkan dengan maksimal.
Kini tinggal seayun selangkah antara PLN dengan pemerintah agar segera mengeluarkan negara ini dari krisis listrik. PLN dan pemerintah harus saling mengimbangi kecepatan. Kalau saat ini PLN di bawah Direktur Utama Dahlan Iskan larinya 100 km perjam, pemerintah juga harus bisa segitu. Paling tidak mendekati angka 100 itulah. Kalau pemerintahnya jauh tertinggal, alamat tidak akan berhasillah berbagai proyek-proyek PLN.
Kita mencontohkan pembangunan PLTU 2 x 100 MW di Tenayan Raya, Pekanbaru. PLN sudah menenderkannya kepada pihak ketiga untuk mengerjakannya dan kalau tidak ada aral melintang, akhir Agustus 2010 ini sudah tahu siapa pemenangnya. Kalau sudah tahu peme nangnya, tentu mereka akan langsung kerja.
Tapi satu kendala yang masih mencuat saat ini adalah terkait ganti rugi lahan pembangunan PLTU tersebut. Masih ada beberapa hektare lagi yang belum diganti rugi. Kalau ini tidak sesegera mungkin diselesaikan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru, alamat tersendatlah proyek PLTU tersebut.
Makanya, pemerintah daerah, kota atau pusat harus bisa berse gera sebagaimana PLN juga bisa bergerak sangat cepat menyikapi krisis listrik di negeri ini. Istilah biar lambat asal selamat semestinya sudah harus ditinggalkan. Seharusnya sekarang pakailah istilah biar cepat asal selamat.***

Gaya Hidup Mewah Suburkan Suap dan Pemerasan

''SAYA diperas Rp100 juta,'' kata Bulyan Royan mantan anggota DPR yang saat ini terpidana kasus suap pengadaan 20 unit kapal patroli di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemhub sebagaimana berita utama koran ini kemarin. Bulyan mengaku sudah setor Rp100 juta kepada Lapas Bangkinang yang dijanjikan akan dibangunkan ''rumah'' di lingkungan lapas.
Kita tahu Bulyan masuk penjara gara-gara kasus suap. Setelah terpenjara, giliran dia yang harus bayar suap demi kenyamanan di Lapas. Seperti rantai makanan, begitulah adanya fenomena suap, pemerasan maupun korupsi di Indonesia. Makan dan dimakan adalah hal yang biasa dalam rantai makanan tersebut.
Suap dan pemerasan di negeri ini benar-benar sudah menjadi kebiasaan yang sulit diberantas. Tidak payah sebenarnya menemukan praktik suap dan pemerasan dalam berbagai sektor kehidupan. Hanya saja untuk membuktikan praktik-praktik itu memerlukan kerja ekstra keras.
Tindakan suap dan pemerasan sebenarnya bisa diberantas, jika semua komponen bangsa serius mau memberantasnya, mengubah struktur dan sistem pemerintahan yang korup serta sikap masyarakat yang menyuburkan suap, pemerasan yang memicu tindakan korupsi.
Sebenarnya, kesederhanaan hidup para pemimpin dalam mengelola pemerintahan menjadi kunci yang sangat penting untuk diteladani. Suap, pemerasan dan korupsi akan sulit diberantas habis jika mental korup dan gaya hidup mewah yang akan melicinkan jalan pintas untuk melakukan korupsi.
Abu Bakar Siddik yang awalnya seorang saudagar kaya, di akhir hayatnya sebagai khalifah hanya memakan tumbukan tepung yang tidak halus, memakai pakaian kasar dan tidak punya apa-apa. Khalifah berikutnya, Umar bin Khathab, Umar bin Abdul Aziz ketika dilantik, dia melepaskan kekayaan dan dibagikan kepada rakyat yang diperoleh dari pejabat baik melalui penyalahgunaan kekuasaan atau dengan cara korupsi lainnya.
Rasulullah SAW bersabda, Allah melaknat penyuap, penerima suap, dan orang yang menyaksikan penyuapan (HR Ahmad). Adakalanya suap diberikan dengan maksud agar pejabat yang bersangkutan tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya. Suap jenis ini pun amat dihindari oleh para sahabat Nabi SAW.
Rasulullah pernah mengutus Abdullah bin Rawahah ke daerah Khaibar (daerah Yahudi yang baru ditaklukkan kaum muslim) untuk menaksir hasil panen kebun kurma daerah itu. Sesuai dengan perjanjian, hasil panen akan dibagi dua dengan orang-orang Yahudi Khaibar. Tatkala Abdullah bin Rawahah tengah bertugas, datang orang-orang Yahudi kepadanya dengan membawa perhiasan yang mereka kumpulkan dari istri-istri mereka, seraya berkata, perhiasan itu untuk anda, tetapi ringankanlah kami dan berikan kepada kami bagian lebih dari separuh. Abdullah bin Rawahah menjawab, Hai kaum Yahudi, demi Allah, kalian memang manusia-manusia hamba Allah yang paling kubenci. Apa yang kalian lakukan ini justru mendorong diriku lebih merendahkan kalian. Suap yang kalian tawarkan itu adalah barang haram dan kaum muslim tidak memakannya! Mendengar jawaban itu mereka serentak menyahut, ''Karena itulah langit dan bumi tetap tegak.''*

Goodbye Genset...

TRIWULAN ke dua tahun 2010 ini, ternyata angka penjualan genset untuk rumah tangga di Riau menurun drastis. Dibandingkan pada triwulan ke dua pada tahun sebelumnya, penurunannya bisa jadi 90 persen. Lihat saja pemberitaan koran ini pada bulan Juli atau Agustus 2009, toko-toko penyedia genset di daerah ini panen besar. Orang antrean untuk membeli genset dari ukuran kecil hingga besar. Malah saat itu, banyak warga sampai indent genset yang diinginkannya.
Itu mah dulu bro...Sekarang, genset-genset itu sudah pada berdebu dan dibiarkan teronggok di ruangan belakang rumah oleh pemiliknya. Bukan rusak atau tak ada uang pembeli minyak untuk menghidupkannya. Tapi, memang tidak diperlukan lagi. Semua ini gara-gara PLN.
Lho...kok PLN. Iya. Dulu orang ramai-ramai beli genset karena listrik PLN sering mati. Orang istilahkan lebih daripada makan obat. Kalau makan obat kan tiga kali sehari. Tapi kalau PLN, matinya sampai empat kali atau lebih dalam sehari. Tak peduli dalam kondisi apapun. PLN hanya tahu mati.
Tidak hanya tiba-tiba mati saat muazin akan mengumandangkan azan maghrib karena tersebab tak sanggup menanggung beban puncak, dalam bulan Ramadan pun mati. Banyak sudah warga yang merasakan bergelap-gelap saat makan sahur. Ya, genset menjadi primadona saat itu.
Kini pun gara-gara PLN genset tak laku. Tak ada lagi byar-pet. Tak ada lagi istilah beban puncak. Tak terdengar lagi alasan-alasan musim kemarau, perbaikan turbin atau segudang alasan lainnya. Yang ada sekarang, langsung nyala dan nyala terus.
Tahniah patutlah disampaikan buat PLN. Thanks, PLN. Terimakasih Pak Dahlan Iskan, Direktur Utama yang telah membuat perubahan mendasar di tubuh PLN. Saat ini, kami sudah merasakan kenyamanan sebagai pelanggan. Dan pada dasarnya, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa, bukti keberhasilannya adalah ternyamankannya pelanggan. Nihil keluhan.
Harapan terbesar, semoga tanpa pemadaman ini terus berlanjut. Apalagi sebentar lagi Ramadan menjelang. Kenyamanan beribadah dalam bulan Ramadan tanpa mati listrik, sudah lama didambakan masyarakat di daerah ini. Terang benderang tanpa bunyi genset saat makan sahur pun telah lama diimpikan. Insya Allah, semoga PLN selalu ditolong-Nya.
Begitu pula orang-orang pintar di PLN benar-benar bisa mengemban tugas dengan baik dan selalu diberi keberkahan dalam menjalankan amanah yang dibeban kepadanya. Bebas Pemadaman Bergilir se Indonesia semoga bisa terwujud.(*)

Desa Wisata versus Sate Danguang Danguang

DINGINNYA Lembah Harau, terusir oleh setongkol jagung bakar. Sebungkus sate, terhidang. Aromanya mengelitik perut. “Ini sate danguang dangua...