KETIKA hiruk pikuk rekaman percakapan Anggodo diputar di depan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kriminalisasi pimpinan KPK, hati rakyat benar-benar tersayat. Beberapa hari rekaman itu menjadi perbincangan hangat di pelosok negeri. Di tengah riuh rendahnya rekaman yang menyeret nama-nama terkenal di republik ini, tiba-tiba Wiliardi Wizar membuat kejutan. Ia mengaku ditekan petinggi Polri dalam membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Targetnya, Antasari Azhar masuk perangkap.
Walaupun masih sama-sama kasus KPK, namun pengakuan Wizar kembali menyentak relung hati orang banyak. Hiruk-pikuk rekaman Anggodo, mulai pudar. Kini, sibuk pengakuan Wiliardi Wizar. Kasus bencana alam seperti gempa, saat ini kalah ngetren dibanding masalah cicak dan buaya.
Walaupun cukup memerahkan muka pimpinan di Polri, lembaga ini pun membuat serangan balik. Polisi juga membuat pengakuan yang mementahkan kesaksian Wiliardi Wizar. Sampai-sampai video klip Wiliardi saat pembuatan BAP pun diputar di muka umum.
Intisari persoalannya adalah pengakuan. Dalam pengakuan, ada yang benar-benar jujur dan ada yang benar-benar bohong. Namun saat ini antara yang jujur dan bohong sangat susah untuk membedakan. Kini, kejujuran sering dibungkus dengan kebohongan dan dijadikan satu paket. Lalu, diselingi dengan sumpah.
Cicak dan buaya memang lagi berseteru. Tapi kancil berperan besar dalam perseteruan ini. Kancil, terkenal dengan binatang yang cerdik dan juga licik. Dalam berbagai cerita untuk penina bobok jelang tidur, kancil selalu jadi pemenang. Siapapun lawannya, tetap kancillah yang menang.
Ya itulah kancil. Semua cara dipakainya untuk menyelamatkan dirinya. Berbohong, adalah senjatanya. Tak peduli lawannya celaka akibat pengakuannya. Yang penting dirinya selamat. Saat terperangkap sekalipun, kancil masih bisa menipu yang lain. Teman dekatnya sanggup dia korbankan dengan berbagai skenario besar.
Dari ketiga binatang ini, tak ada yang baik sifatnya. Cicak, termasuk binatang yang dibenci Rasulullah SAW. Dalam suatu riwayat, cicak satu-satunya binatang yang tak mau mendinginkan api saat Nabi Ibrahim AS dibakar. Malah cicak selalu menyemburkan api dari mulutnya. Apalagi buaya, sudah pahamlah orang dengan sifatnya. Ada air mata buaya, buaya darat, dan buaya-buaya lainnya.
Namun, berbagai persoalan di negeri ini, seakan-akan sudah diskenario dengan apik sehingga satu episode dengan episode lainnya saling sambung menyambung. Ibarat sinetron, satu episode selalu ratingnya tinggi agak beberapa hari. Lalu, muncul lagi sinetron berikut yang mengubur sinetron sebelumnya. Entah kapan ending-nya.(*)
Total Tayangan Halaman
Selasa, 08 Desember 2009
Senin, 07 Desember 2009
Belajar Tiga Tahun, Pupus oleh UN Tiga Hari
WALAU pelaksanaannya beberapa bulan lagi, Ujian Nasional alias UN kini menjadi perbincangan hangat. Di tingkat elit pendidikan, UN menjadi polemik. Di tingkat pelajar, UN kini bagai momok yang menakutkan. Banyak sudah korban berjatuhan akibat vonis UN. Korbannya tidak pandang bulu, si jenius pun ada yang gagal masuk perguruan tinggi gara-gara gagal dalam UN beberapa hari saja. Sebaliknya, si bodoh bergelimang uang terlihat berprestasi karena tiga hari yang menyesakkan itu.
Pertanyaannya, adilkah ini untuk mereka-mereka yang menjalani 'sidang terakhir' tersebut? Apa penghargaan atas upaya mereka menuntut ilmu selama tiga tahun? Haruskah berjibaku selama tiga tahun dikandaskan oleh ujian yang hanya tiga atau empat hari?
Secara teoritis, UN memiliki dampak positif bagi mutu pendidikan di tanah air ini. Hanya saja, seharusnya jangan jadikan UN sebagai penentu satu-satunya lulus atau tidak lulusnya seorang anak didik. Inilah yang memunculkan rasa ketidakadilan buat anak didik. Mereka bertahun-tahun menuntut ilmu, lalu dipupuskan oleh UN yang tiga hari. Si anak akan mengalami tekanan perasaan saat hendak UN, dan frustrasi ketika hasil UN keluar.
Peraturan dalam dunia pendidikan di Indonesia terus mengalami pasang surut. Ganti menteri, ganti kebijakan. Begitu pula halnya dalam kurikulum. Semestinya sebuah kebijakan itu bisa terus diterapkan, tapi karena ingin terkenal, lalu ganti kebijakan. Lantas korban pun berjatuhan.
1985, adalah tahun pertama dimulainya Evaluasi Belajar Tahap Akhir (Ebtanas). Dari Ebtanas melahirkan Nilai Ebtanas Murni atau NEM. Ujian ini diselenggarakan secara nasional pada tingkat akhir sekolah dasar dan sekolah menengah. Sistem ini mulai diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (pada saat itu) Prof Dr Nugroho Notosusanto.
Nilai Ebtanas Murni ini selain sebagai salah satu indikator kelulusan siswa, juga sebagai satu-satunya penentu kompetisi masuk sekolah negeri di level berikutnya, kecuali untuk tingkat universitas yang memiliki sistem penerimaan tersendiri (yaitu Sipenmaru yang kemudian berganti menjadi UMPTN dan akhirnya SPMB).
Sebenarnya Ebtanas sudah cukup baik. Untuk tempat ujiannya dilaksanakan di sekolah lain dan pengawasnya pun guru-guru dari lain sekolah. Ada juga pengawas dari kepolisian. Hanya saja, Ebtanas ini bukanlah satu-satunya penentu lulus atau tidak lulus seorang siswa kala itu.
Dari Ebtanas, didapatkan NEM. Kalau NEM-nya tinggi, si anak bisa melanjutkan ke sekolah yang lebih baik. Walaupun NEM-nya jeblok, rata-rata saat itu tingkat kelulusan sangat tinggi. Kalau mereka ikut ujian, dipastikan bisa menamatkan tingkat pendidikannya alias lulus.
Di sinilah adanya peran guru dan sekolah bersangkutan. Yang sangat memahami tentang siswa adalah gurunya sendiri. Walaupun seorang siswa NEM-nya rendah, tapi di STTB-nya dinyatakan lulus berdasarkan berbagai pertimbangan. Yang sangat penting, si anak tidak lagi mengulang tahun berikutnya dan dia bisa menamatkan sekolahnya. Tidak ada istilah frustrasi. Kalau si anak pintar, nilainya terdongkrak di STTB dan NEM-nya pun baik. Ketika akan menghadapi ujian, si anak tidak menghadapi tekanan perasaan. Bayang-bayang tidak lulus sangat jauh. Asal, si anak ikut Ebtanas.
Saat ini, semua pihak haruslah realistis menyikapinya. Janganlah bertahan dengan sebuah kebijakan yang tidak bijak. Kalau UN tidak bijak, saatnya diperbaiki. Lihat juga kebijakan-kebijakan yang sudah diterapkan sebelumnya. Bak kata pepatah; kalau sesat di ujung jalan, kembalilah ke pangkal jalan.***
Pertanyaannya, adilkah ini untuk mereka-mereka yang menjalani 'sidang terakhir' tersebut? Apa penghargaan atas upaya mereka menuntut ilmu selama tiga tahun? Haruskah berjibaku selama tiga tahun dikandaskan oleh ujian yang hanya tiga atau empat hari?
Secara teoritis, UN memiliki dampak positif bagi mutu pendidikan di tanah air ini. Hanya saja, seharusnya jangan jadikan UN sebagai penentu satu-satunya lulus atau tidak lulusnya seorang anak didik. Inilah yang memunculkan rasa ketidakadilan buat anak didik. Mereka bertahun-tahun menuntut ilmu, lalu dipupuskan oleh UN yang tiga hari. Si anak akan mengalami tekanan perasaan saat hendak UN, dan frustrasi ketika hasil UN keluar.
Peraturan dalam dunia pendidikan di Indonesia terus mengalami pasang surut. Ganti menteri, ganti kebijakan. Begitu pula halnya dalam kurikulum. Semestinya sebuah kebijakan itu bisa terus diterapkan, tapi karena ingin terkenal, lalu ganti kebijakan. Lantas korban pun berjatuhan.
1985, adalah tahun pertama dimulainya Evaluasi Belajar Tahap Akhir (Ebtanas). Dari Ebtanas melahirkan Nilai Ebtanas Murni atau NEM. Ujian ini diselenggarakan secara nasional pada tingkat akhir sekolah dasar dan sekolah menengah. Sistem ini mulai diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (pada saat itu) Prof Dr Nugroho Notosusanto.
Nilai Ebtanas Murni ini selain sebagai salah satu indikator kelulusan siswa, juga sebagai satu-satunya penentu kompetisi masuk sekolah negeri di level berikutnya, kecuali untuk tingkat universitas yang memiliki sistem penerimaan tersendiri (yaitu Sipenmaru yang kemudian berganti menjadi UMPTN dan akhirnya SPMB).
Sebenarnya Ebtanas sudah cukup baik. Untuk tempat ujiannya dilaksanakan di sekolah lain dan pengawasnya pun guru-guru dari lain sekolah. Ada juga pengawas dari kepolisian. Hanya saja, Ebtanas ini bukanlah satu-satunya penentu lulus atau tidak lulus seorang siswa kala itu.
Dari Ebtanas, didapatkan NEM. Kalau NEM-nya tinggi, si anak bisa melanjutkan ke sekolah yang lebih baik. Walaupun NEM-nya jeblok, rata-rata saat itu tingkat kelulusan sangat tinggi. Kalau mereka ikut ujian, dipastikan bisa menamatkan tingkat pendidikannya alias lulus.
Di sinilah adanya peran guru dan sekolah bersangkutan. Yang sangat memahami tentang siswa adalah gurunya sendiri. Walaupun seorang siswa NEM-nya rendah, tapi di STTB-nya dinyatakan lulus berdasarkan berbagai pertimbangan. Yang sangat penting, si anak tidak lagi mengulang tahun berikutnya dan dia bisa menamatkan sekolahnya. Tidak ada istilah frustrasi. Kalau si anak pintar, nilainya terdongkrak di STTB dan NEM-nya pun baik. Ketika akan menghadapi ujian, si anak tidak menghadapi tekanan perasaan. Bayang-bayang tidak lulus sangat jauh. Asal, si anak ikut Ebtanas.
Saat ini, semua pihak haruslah realistis menyikapinya. Janganlah bertahan dengan sebuah kebijakan yang tidak bijak. Kalau UN tidak bijak, saatnya diperbaiki. Lihat juga kebijakan-kebijakan yang sudah diterapkan sebelumnya. Bak kata pepatah; kalau sesat di ujung jalan, kembalilah ke pangkal jalan.***
Jumat, 04 Desember 2009
Mengendalikan Nafsu Kehewanan
KISRUH di ruang dewan kembali terjadi di tanah Melayu ini. Kalau sebelumnya terjadi perkelahian terbuka sesama anggota dewan di Dumai, Rabu (2/12) giliran DPRD Inhu yang 'ramai'. Gara-gara salah sebut, papan nama dan gelas beterbangan ke hadapan Kasat Lantas Polres Inhu. Anggota DPRD pun mengamuk. Mengapa begitu mudah anak bangsa saat ini tersulut marah dan mengumbar amukan?
Kejadian salah sebut antara Anggota Dewan dengan Anggota Hewan oleh Kasat Lantas Polres Inhu dalam sosialisasi di depan anggota DPRD Inhu, seharusnya disikapi tanpa mengumbar nafsu. Memang, kesabaran itu ada batasnya. Tapi kalau kita sanggup bersabar, adalah salah satu derajat tertinggi dalam keimanan. Beberapa kali Rasulullah SAW diludahi seorang kafir, namun dia tetap bersabar. Malah saat sang kafir itu sakit, Rasul menjenguknya. Akhirnya si kafir masuk Islam gara-gara terpesona dengan kesabaran Rasulullah.
Secara psikologi, memang cukup dalam ketersinggungan tatkala seseorang menyebut kita dengan hewan, apalagi sampai berkali-kali. Namun, sebagai manusia yang mampu mengendalikan hawa nafsu haruslah bersikap lebih bijaksana. Bukankah mengendalikan hawa nafsu itu sebagai bentuk pembedaan antara manusia dengan hewan. Walaupun Aristoteles sendiri menyebut manusia adalah hewan yang berakal atau animale humaniora.
Apatah lagi kita baru saja melaksanakan hari raya kurban. Sisa-sisa daging kurban pun kemungkinan masih tersimpan di rumah-rumah. Hikmah berkurban pun masih terngiang di telinga ketika khatib salat Idul Adha kembali membuka lembaran sejarah tentang ibadah tersebut.
Dari banyak hikmah yang ada dalam ritual kurban adalah makna penyembelihan. Pemotongan hewan kurban merupakan simbol tentang pentingnya kita menghilangkan hawa nafsu kehewanan yang kadang-kadang muncul dalam diri manusia, agar kita lebih termotivasi dan lebih mengedepankan rasa kemanusiaan dan hati nurani kemanusiaan dari pada rasa kehewanan dan sifat-sifat hewan yang lainnya yang cenderung mengedepankan hawa nafsu.
Satu kesalahan cakap terhitung kedalam kekhilafan. Tapi kalau cakap yang salah dilakukan berulang-ulang, inilah yang membuat kita celaka. Seperti kata pepatah: Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali. Nabi Muhammad SAW juga melarang kita berperilaku seperti keledai dari hadis riwayat Abu Hurairah ra: Dari Nabi SAW, beliau bersabda: Seorang mukmin tidak boleh dua kali jatuh dalam lubang yang sama.(Shahih Muslim).***
Kejadian salah sebut antara Anggota Dewan dengan Anggota Hewan oleh Kasat Lantas Polres Inhu dalam sosialisasi di depan anggota DPRD Inhu, seharusnya disikapi tanpa mengumbar nafsu. Memang, kesabaran itu ada batasnya. Tapi kalau kita sanggup bersabar, adalah salah satu derajat tertinggi dalam keimanan. Beberapa kali Rasulullah SAW diludahi seorang kafir, namun dia tetap bersabar. Malah saat sang kafir itu sakit, Rasul menjenguknya. Akhirnya si kafir masuk Islam gara-gara terpesona dengan kesabaran Rasulullah.
Secara psikologi, memang cukup dalam ketersinggungan tatkala seseorang menyebut kita dengan hewan, apalagi sampai berkali-kali. Namun, sebagai manusia yang mampu mengendalikan hawa nafsu haruslah bersikap lebih bijaksana. Bukankah mengendalikan hawa nafsu itu sebagai bentuk pembedaan antara manusia dengan hewan. Walaupun Aristoteles sendiri menyebut manusia adalah hewan yang berakal atau animale humaniora.
Apatah lagi kita baru saja melaksanakan hari raya kurban. Sisa-sisa daging kurban pun kemungkinan masih tersimpan di rumah-rumah. Hikmah berkurban pun masih terngiang di telinga ketika khatib salat Idul Adha kembali membuka lembaran sejarah tentang ibadah tersebut.
Dari banyak hikmah yang ada dalam ritual kurban adalah makna penyembelihan. Pemotongan hewan kurban merupakan simbol tentang pentingnya kita menghilangkan hawa nafsu kehewanan yang kadang-kadang muncul dalam diri manusia, agar kita lebih termotivasi dan lebih mengedepankan rasa kemanusiaan dan hati nurani kemanusiaan dari pada rasa kehewanan dan sifat-sifat hewan yang lainnya yang cenderung mengedepankan hawa nafsu.
Satu kesalahan cakap terhitung kedalam kekhilafan. Tapi kalau cakap yang salah dilakukan berulang-ulang, inilah yang membuat kita celaka. Seperti kata pepatah: Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali. Nabi Muhammad SAW juga melarang kita berperilaku seperti keledai dari hadis riwayat Abu Hurairah ra: Dari Nabi SAW, beliau bersabda: Seorang mukmin tidak boleh dua kali jatuh dalam lubang yang sama.(Shahih Muslim).***
Robohnya Surau Kami
KALAU beberapa tahun lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Cerita di atas bukanlah cerita biasa. Tapi itu kutipan dari cerpen Robohnya Surau Kami. Robohnya Surau Kami adalah karya monumental seorang Ali Akbar Navis atau yang lebih dikenal publik dengan sebutan AA Navis, putra Padangpanjang kelahiran 17 November 1924.
Robohnya Surau Kami adalah sebuah kumpulan cerpen sosio-religi. Cerpen ini pertama kali terbit pada tahun 1956. Di dalam setiap cerpennya di buku ini, AA Navis menampilkan wajah Indonesia di zamannya dengan penuh kegetiran. Penuh dengan kata-kata satir dan cemoohan akan kekolotan pemikiran manusia Indonesia saat itu - yang masih relevan di masa sekarang ini.
30 September 2009, surau kami kembali roboh. Robohnya bukanlah karena papannya sudah diambil perempuan yang kehabisan kayu bakar. Atau akibat anak-anak terlalu kuat main-main di atasnya. Tapi, surau-surau itu roboh akibat gempa berkekuatan 7,6 SR, yang telah meluluhlantakkan Ranah Minang.
Sabtu (3/10), saat memasuki Desa Padang Lariang, Kabupaten Padang Pariaman, pemandangan miris soal surau makin terlihat. Di pinggir jalan menuju Sungai Limau tersebut, satu persatu terlihat surau yang atap atau kubahnya sudah sujud ke tanah seakan minta ampun ke Khalik.
Begitu pula di Desa Batu Basa sampai ke Sungai Geringging. Malah di Desa Padang Alai hingga ke Dusun Patamuan Gunuang Nan Tigo, surau-surau banyak yang rata dengan tanah bersamaan dengan rumah di kiri kanannya. Hati ini semakin perih tatkala melihat Surau Ambacang yang cukup besar di Dusun SP 3 Paladangan, Padang Alai, Kabupaten Padang Pariaman. Kubahnya sujud ke tanah, atapnya remuk, dindingnya tercerai berai. Ada jam yang sudah mati di samping kubah menununjukkan angka 17.50 WIB.
Mengapa bisa seperti ini? Setiap pulang kampung, apakah ada hajatan atau Idul Fitri, di hati ini selalu menangis melihat surau-surau tersebut. Setiap tahun, surau terus bertambah. Letaknya berdekatan antara satu sama lain. Tapi tak ada berpenghuni.Kok bisa? Ya, begitulah persaingan antar suku di Minangkabau. Setiap suku berlomba-lomba mendirikan surau. Tapi setelah surau berdiri, tak ada kegiatan di atasnya. Paling-paling ada kegiatan besar saat Maulud Nabi SAW atau istilah Minangnya ''Mandobaleh''.
Salat lima waktu, tak ada terdengar azan. Azan hanya terdengar dari corong masjid. Itupun kalau salat di dalamnya, paling banter ada imam, garin dan beberapa orang perempuan tua yang sudah uzur. Tak lebih tak kurang.
Dulu, konsep surau di Minangkabau sangat terkenal ke seantero negeri. Dari suraulah lahir tokoh-tokoh hebat negeri ini. Surau saat itu menjadi pusat kegiatan keagamaan dan sosial. Malamnya ada pengajian hingga laki-laki muda Minang pun harus tidur di surau dalam rangka membangun interaksi demi kematangan usia.
Tapi, surau-surau itu kini banyak menjadi gudang atau malah tempat menambatkan hewan peliharaan. Tidak ada ketenangan lagi saat melintas di samping surau. Rasa merinding lebih sering terasa melihat tidak terawatnya surau-surau tersebut. Lebih sadisnya lagi, pada bulan puasa lalu, ada laki-laki muda Minang yang sengaja minum-minum dan mabuk di dalam surau pada siang hari. Nauzubillah...
Jadi tak salah AA Navis dalam cerpennya menukilkan semua hal tentang kondisi surau yang roboh akibat tidak adanya sang kakek yang jadi garim. Tak ada lagi penjaga, tak ada lagi kegiatan ibadah. Yang ada hanya kebanggaan masing-masing orang bahwa sukunya punya surau. Tapi urusan ibadah di dalamnya, diserahkan ke orang alim yang kini mulai langka di Ranah Minang. Apakah kita tidak memikirkan semua ini?
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Cerita di atas bukanlah cerita biasa. Tapi itu kutipan dari cerpen Robohnya Surau Kami. Robohnya Surau Kami adalah karya monumental seorang Ali Akbar Navis atau yang lebih dikenal publik dengan sebutan AA Navis, putra Padangpanjang kelahiran 17 November 1924.
Robohnya Surau Kami adalah sebuah kumpulan cerpen sosio-religi. Cerpen ini pertama kali terbit pada tahun 1956. Di dalam setiap cerpennya di buku ini, AA Navis menampilkan wajah Indonesia di zamannya dengan penuh kegetiran. Penuh dengan kata-kata satir dan cemoohan akan kekolotan pemikiran manusia Indonesia saat itu - yang masih relevan di masa sekarang ini.
30 September 2009, surau kami kembali roboh. Robohnya bukanlah karena papannya sudah diambil perempuan yang kehabisan kayu bakar. Atau akibat anak-anak terlalu kuat main-main di atasnya. Tapi, surau-surau itu roboh akibat gempa berkekuatan 7,6 SR, yang telah meluluhlantakkan Ranah Minang.
Sabtu (3/10), saat memasuki Desa Padang Lariang, Kabupaten Padang Pariaman, pemandangan miris soal surau makin terlihat. Di pinggir jalan menuju Sungai Limau tersebut, satu persatu terlihat surau yang atap atau kubahnya sudah sujud ke tanah seakan minta ampun ke Khalik.
Begitu pula di Desa Batu Basa sampai ke Sungai Geringging. Malah di Desa Padang Alai hingga ke Dusun Patamuan Gunuang Nan Tigo, surau-surau banyak yang rata dengan tanah bersamaan dengan rumah di kiri kanannya. Hati ini semakin perih tatkala melihat Surau Ambacang yang cukup besar di Dusun SP 3 Paladangan, Padang Alai, Kabupaten Padang Pariaman. Kubahnya sujud ke tanah, atapnya remuk, dindingnya tercerai berai. Ada jam yang sudah mati di samping kubah menununjukkan angka 17.50 WIB.
Mengapa bisa seperti ini? Setiap pulang kampung, apakah ada hajatan atau Idul Fitri, di hati ini selalu menangis melihat surau-surau tersebut. Setiap tahun, surau terus bertambah. Letaknya berdekatan antara satu sama lain. Tapi tak ada berpenghuni.Kok bisa? Ya, begitulah persaingan antar suku di Minangkabau. Setiap suku berlomba-lomba mendirikan surau. Tapi setelah surau berdiri, tak ada kegiatan di atasnya. Paling-paling ada kegiatan besar saat Maulud Nabi SAW atau istilah Minangnya ''Mandobaleh''.
Salat lima waktu, tak ada terdengar azan. Azan hanya terdengar dari corong masjid. Itupun kalau salat di dalamnya, paling banter ada imam, garin dan beberapa orang perempuan tua yang sudah uzur. Tak lebih tak kurang.
Dulu, konsep surau di Minangkabau sangat terkenal ke seantero negeri. Dari suraulah lahir tokoh-tokoh hebat negeri ini. Surau saat itu menjadi pusat kegiatan keagamaan dan sosial. Malamnya ada pengajian hingga laki-laki muda Minang pun harus tidur di surau dalam rangka membangun interaksi demi kematangan usia.
Tapi, surau-surau itu kini banyak menjadi gudang atau malah tempat menambatkan hewan peliharaan. Tidak ada ketenangan lagi saat melintas di samping surau. Rasa merinding lebih sering terasa melihat tidak terawatnya surau-surau tersebut. Lebih sadisnya lagi, pada bulan puasa lalu, ada laki-laki muda Minang yang sengaja minum-minum dan mabuk di dalam surau pada siang hari. Nauzubillah...
Jadi tak salah AA Navis dalam cerpennya menukilkan semua hal tentang kondisi surau yang roboh akibat tidak adanya sang kakek yang jadi garim. Tak ada lagi penjaga, tak ada lagi kegiatan ibadah. Yang ada hanya kebanggaan masing-masing orang bahwa sukunya punya surau. Tapi urusan ibadah di dalamnya, diserahkan ke orang alim yang kini mulai langka di Ranah Minang. Apakah kita tidak memikirkan semua ini?
Langganan:
Postingan (Atom)
Desa Wisata versus Sate Danguang Danguang
DINGINNYA Lembah Harau, terusir oleh setongkol jagung bakar. Sebungkus sate, terhidang. Aromanya mengelitik perut. “Ini sate danguang dangua...
-
MUHAMMAD SAW bukan hanya seorang nabi dan rasul, tapi juga manusia agung. Teladan yang menjadi uswatun hasanah buat semua manusia. Disegani ...
-
KETIKA Allah SWT menakdirkan awak muncul ke dunia ini pada 28 November 1972 lalu, sang Amak dan Buya memberi nama Nazirman Suwirda. Namun ...