Total Tayangan Halaman

Rabu, 04 Juni 2008

Kawasan Lindung Dibabat, Sungai Siak Rusak Berat

A. Pendahuluan

     Tanah (land) adalah sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Dari seluruh permukaan bumi yang dihuni oleh kira-kira 6 miliar jiwa hanya sekitar 25 persen merupakan daratan tempat manusia dapat hidup, dan sisanya adalah permukaan samudera. Sebetulnya tidak seluruh daratan merupakan tanah yang dapat dihuni manusia karena ada bagian yang terlalu kering, atau terlalu dingin, misalnya beberapa gurun dan benua Antartika. (Jayadinata, J.T:1999:1)
    Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang, dan untuk tingkat pertama ditempuh dengan cara musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas tanah menurut Keppres No 5, tahun 1993. Untuk mengatur keperluan proyek pembangunan di wilayah kecamatan, tatacara pengadaan tanah untuk keperluan proyek pembangunan tersebut dilakukan oleh instansi pemerintah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. (Jayadinata, J.T:1999:3)
    Pembangunan ialah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada. Pengembangan ialah memajukan atau memperbaiki atau meningkatkan sesuatu yang sudah ada. Kedua istilah ini sekarang sering digunakan untuk maksud yang sama. Pembangunan dan pengembangan (development) dilakukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan dan pengembangan itu dapat merupakan pembangunan fisik atau pengembangan fisik, dan dapat merupakan pembangunan sosial ekonomi atau pengembangan sosial ekonomi.
    Dalam pembangunan diperlukan adanya perencanaan yang matang. Pengertian mengenai perencanaan adalah macam-macam, bergantung kepada keahlian orang yang menggunakan istilah tersebut. Bagi ahli ekonomi, perencanaan itu mengatur sumber-sumber yang langka secara bijaksana. Untuk seorang arsitek, perencanaan itu berhubungan dengan pengembangan lingkungan fisik. Bagi seorang perencana, perencanaan itu meliputi pengaturan dan penyesuaian (mungkin dengan mengubah) hubungan manusia dengan lingkungan. Dalam istilah perencanaan terdapat pengertian bahwa pengaturan itu dilakukan untuk waktu yang akan datang.(Jayadinata, J.T:1999:4-5)
    Dalam membangun suatu wilayah, semestinya semua pihak harus patuh kepada Undang-Undang tentang Penataan Ruang. Kawasan-kawasan lindung dan kawasan budidaya harus diperhatikan agar tidak menimbulkan masalah di belakang hari. Betapa banyak pembangunan yang tak mengindahkan kawasan seperti termaktub dalam UU No 24 tahun 1992 telah menimbulkan petaka bagi masyarakat.
    Sebenarnya dalam falsafah dan konsep penataan lingkungan, amat banyak yang dapat kita pelajari dari masyarakat tradisional. Tidak hanya yang kita dengar secara lisan dari antawacana wayang misalnya, melainkan juga yang tertulis dalam rontal atau lontar seperti yang ada di Bali. Masyarakat tradisional yang serba ayem tentrem dengan penataan lingkungan yang sangat bersahabat dengan alam itu, menciptakan kekerabatan dan solidaritas sosial yang tinggi secara alami tanpa pemaksaan dari luar.
    Arsitektur dan lingkungan binaan yang diciptakan masyarakat tradisional, terkesan sangat menyatu dengan alam. Sebaliknya, dalam penataan lingkungan oleh masyarakat modern, malah tampak sekali terjadinya pelecehan budaya dan perkosaan terhadap alam. Alam pun lantas membalas dendam, mengamuk, dan masyarakat pinggiran yang kesingkal menjadi kian beringas. (Budihardjo, Eko:1997:32-33)
    Pembangunan tanpa mengindahkan kawasan lindung sangat banyak terjadi di Indonesia. Di Riau, banyak kawasan lindung ini yang dibabat habis dan pada akhirnya menimbulkan bencana. Sungai Siak misalnya, kini kian hari makin dangkal dan abrasi menjadi-jadi. Akibatnya, hujan lebat beberapa jam, telah menyebabkan airnya meluap dan menggenangi masyarakat yang bermukim di bantaran sungai tersebut.
    Sesuai dengan UU no 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, kawasan lindung diartikan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup suber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan ini dilarang dibangun sesuai dengan UU yang telah dikeluarkan.

B. Sungai Siak Mulai Dangkal dan Abrasi
    Sesuai dengan Keppres No 32 tahun 1990 tentang Kawasan Lindung Sempadan Sungai, pada pasal 16 disebutkan, kriteria sempadan sungai adalah sekurang-kurangnya 100 meter dari kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan sungai kecil di luar kawasan pemukiman. Bagaimana dengan Sungai Siak yang terkenal dengan sungai terdalam di Indonesia?
Sungai Siak memiliki panjang 300 km melintasi empat kota/kabupaten yaitu Kabupaten Kampar, Kota Pekanbaru, Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak. Sebagai sungai terdalam di Indonesia sekitar 20-30 meter, sungai ini kini sangat padat dilayari kapal-kapal besar, kargo, tanker maupun speedboat.
    Pembangunan di bantaran Sungai Siak sangat tidak terkendali. Lihat sajalah di tepi sungai yang melintasi Kota Pekanbaru. Jangankan 100 meter sesuai dengan Keppres No 32/1990, banyak rumah malah menjorok ke Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Siak tersebut. Pohon-pohon yang sebelumnya rimbun di tepi sungai ditebang dan diganti dengan rumah-rumah panggung dan permanen.
    Ini baru di Pekanbaru, belum lagi di beberapa daerah kabupaten lain yang dialiri Sungai Siak. Kondisinya sangat memprihatinkan. Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto mengungkapkan, sedimentasi di dasar Sungai Siak dalam rentang waktu tahun 1970-an sampai sekarang telah mencapai delapan meter atau sepertiga dari kedalaman sungai itu. Kenyataan ini menunjukkan terjadinya erosi yang cukup besar disebagian hulu sungai. "Adanya sedimentasi terganggunya pelayaran, terutama saat permukaan air surut dan bahaya banjir saat musim hujan karena berkurangnya kapasitas sungai dalam menampung air," ujarnya.
    Tingkat pencemaran air Sungai Siak yang tinggi akibat limbah industri di sepanjang sungai mengakibatkan berkurangnya jumlah dan spesies ikan, karena hal itu banyak nelayan yang beralih profesi sebagai penambang liar yang menambah kerusakan lingkungan dan DAS Siak itu sendiri. Permasalahan-permasalahan yang terjadi di DAS Siak dapat diuraikan, tahun 2003 luas hutan Riau lebih kurang 4,24 juta hektare, dirambah sekitar 2.224 hektare untuk pemukiman liar oleh 345 kepala keluarga. Data lain menunjukkan sejumlah 23 juta m3/tahun dipakai untuk industri dan lima juta m3/tahun dicuri.
    Perusakan hutan pengembangan kawasan budidaya ditinjau dari aspek SDA, mengakibatkan bencana banjir atau kekeringan bagi kawasan hilir. "Karenanya diperlukan penanganan terpadu antarkabupaten/kota dan intansi terkati yakni Dinas PU, Kehutanan, Perkebunan dan Pertanian. Menurut dia lagi, terdapat fluktuasi debit yang besar antara musim hujan dan kemarau, di mana Qmaks sebesar 1.700 m kubik/dt, Qmin sebesar 45 m kubik/dt dan Qmaks/Qmin sebesar 37,8. "Hal ini mengindikasikan telah terjadinya kerusakan di DAS Siak itu," katanya lagi.
    Terjadi abrasi tebing pada tepian sungai yang disebabkan oleh hempasan gelombang dari kapal-kapal yang berlayar melalui Sungai Siak. Hasil penelitian Fakultas Teknik UGM menunjukkan bahwa abrasi yang terjadi setiap tahunnya mencapai 7,3 meter. Permasalahan-permasalahan DAS Siak harus diatasi dengan bijak berdasarkan prinsip one river one plan one management, pada saat ini pengelolaan DAS Siak belum terkoordinasi dan sinergi dengan baik antarkabupaten/kota serta dinas terkait.
    Hal ini terlihat dari fakta-fakta di mana belum ada koordinasi yang dapat mewujudkan pengelolaan sumber daya air terpadu dan saling bersinergi, belum terwujudnya keseimbangan antara pembangunan fisik dan nonfisik dalam penanganan-penanganan masalah air. "Upaya pendayagunaan lebih dominan daripada konservasi," ujarnya. Tindakan penanganan terhadap permasalahan yang ada di DAS Siak masih bersifat parsial, sehingga perlu disusun suatu kebijakan yang menyeluruh dan komprehensif, di antaranya adalah dengan menyinergikan antara penyusunan pola pengelolaan sumber daya air dan kebijakan penataan ruang di DAS Siak.( www.kapanlagi.com:2005)
    Abrasi yang terjadi setiap tahunnya sangat mengkhawatirkan. Meskipun sampai hari ini belum ada data yang konkret berapa vulume abrasi yang terjadi, paling tidak kurang dari 30 desa yang ada dibantaran Sungai Siak setiap tahunnya diterjang abrasi. Akibatnya, volume bantaran tebing yang runtuh setiap tahunnya terus bertambah.
    Menurut Kepala Bapedalda Kabupaten Siak Drs. Hasri Saili, berapa volume abarasi yang terjadi memang belum ada data yang konkrit. Namun dari data sementara, hampir di setiap desa yang berada di bibir pantai Sungai Siak diterjang abrasi. “Kita perkirakan setiap tahunnya, bibir tebing yang runtuh sekitar 2-5 meter.
    Selain karena faktor fungsi sungai Siak sebagai alur pelayaran, situasi lain yang turut diperburuk dengan menipisnya hutan mangrove maupun hutan-hutan liar lainnya yang tumbuh di bibir tebing. Dampak dari punahnya hutan-hutan liar di sekitar bibir tebing ini semakin mempercepat proses abrasi yang terjadi. Untuk itu perlu ada upaya penyelamatan dengan mengamankan bibir tebing dari hempasan ombak.
    ‘’Data sementara yang kita miliki, mulai dari Lalang Sungai Apit tidak kurang ada 30 titik rawan abrasi. Kalau kita misalkan dalam satu titik abrasi yang terjadi mencapai 2 meter setahun. Minimal dalam satu tahun volume abrasi yang terjadi mencapai 60 meter. Mau tidak mau situasi ini harus segera disikapi dengan cepat. Kalau lambat, kita khawatirkan akan merusak keseimbangan ekosistem DAS Siak,’’ jelasnya. (Riau Pos: 29 Maret 2007)
    Ternyata kondisi Sungai Siak yang pembangunan kawasan lindungnya tidak terkendali telah mengejutkan banyak pihak. Pada tahun 2005, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rahmad Witoelar saat melihat abrasi yang mengikis lebih dari 20 meter tepian sungai, nampak sangat terkejut. "Wah, kalau seperti ini kondisinya, memang sudah terjadi abrasi yang sangat berat. Ini harus segera dihentikan," ujarnya.( www.riau.go.id:2005)
    Tidak hanya pembangunan kawasan hunian di bantaran Sungai Siak, perkebunan sawit yang dibuka oleh perusahaan maupan masyarakat juga telah menyumbang makin hancurnya Sungai Siak ini. Memang, perluasan perkebunan sawit menjadi permasalahan rumit yang tak kunjung ditemukan solusinya. Peningkatan perekonomian rakyat dijanjikan cepat terpenuhi dengan memperluas kebun sawit, tetapi kerusakan lingkungan menjadi ancaman nyata di depan mata.
Dari data Kompas dan didukung data dari Rona Lingkungan Universitas Riau, sepanjang 300 kilometer bantaran Sungai Siak di Riau telah diusik oleh hadirnya perkebunan sawit. Terdapat 780.000 hektare perkebunan sawit di sepanjang bantaran Sungai Siak, seluas 600.000 hektare di hulu, dan sisanya di hilir. Keberadaan kebun sawit ini turut menyumbang aksi penggerusan keanekaragaman tanaman di bantaran yang berdampak pada ketidakseimbangan lingkungan, termasuk abrasi. Perluasan sawit juga berdampak pada pengurangan kandungan air tanah yang dibutuhkan masyarakat.
    Peraturan tentang pembukaan areal perkebunan yang berlaku secara nasional menyebutkan, alih fungsi lahan di sekitar bantaran minimal berjarak 50-100 meter dari bibir sungai benar-benar diabaikan. Pada jarak itu sebenarnya tetap difungsikan sebagai lahan tempat tumbuhnya vegetasi asli tepian sungai. Vegetasi sungai erat terkait dengan kelangsungan hidup berbagai jenis ikan dan keanekaragaman hayati sungai lainnya. Ketika vegetasi asli tercerabut, ikan-ikan kehilangan tempat meletakkan telur. Kondisi di tepian Sungai Siak saat ini adalah terdapat beberapa kawasan perkebunan sawit yang berjarak kurang dari 10 meter dari bibir sungai. Di samping itu, prapembukaan kebun sawit selalu dilakukan kanalisasi, khususnya di areal lahan gambut. Kanalisasi dilakukan untuk mengatur kandungan air dalam tanah sesuai kebutuhan tanaman. Namun, kanalisasi ini diyakini merusak lahan gambut yang selama ini berfungsi sebagai daerah tangkapan air tanah.(Kompas:17-2-2006).
    Tidak hanya banjir dan seringnya pencemaran terjadi akibat perambahan kawasan lindung di bantaran Sungai Siak, pascaabrasi juga telah menyebabkan ratusan kepala keluarga harus mengungsi ke tempat lebih aman. Pengikisan tanah oleh gelombang air (abrasi) yang melanda Sungai Siak, dalam lima tahun terakhir sekitar 400 keluarga yang bermukim di sepanjang sungai tersebut terpaksa mengungsi. Penduduk mengungsi ke daratan yang lebih aman di sekitar sungai. (http://air.bappenas.go.id:2006).
     Abrasi telah mengancam keselamatan warga. Meskipun belum terdapat korban jiwa, namun sejumlah bangunan yang semula berada di bibir Sungai Siak runtuh. Di antaranya, rumah penduduk, sekolah, masjid, dan makam para kerabat Raja Siak.Abrasi paling parah terjadi di lima kecamatan di Kabupaten Siak, yaitu Tualang, Sungai Apit, Bunga Raya, Gasib, dan Sebuah sekolah dasar (SD) di Desa Meredan, Kecamatan Tualang tidak bisa digunakan lagi karena bangunan sekolah itu runtuh hingga masuk sungai. Demikian juga Masjid Makmur yang terletak di Desa Merempan Hilir, Kecamatan Siak. Masjid tersebut tenggelam setelah ombak menggerogoti pondasinya.

C. Kebijakan Penyelamatan
    Sudah saatnya kini sebelum semuanya terlambat harus ada kebijakan untuk menyelamatkan Sungai Siak yang terkenal itu. Secara kelembagaan dalam Penataan Ruang Daerah Aliran Sungai agar selalu memperhatikan peraturan dan Perundangan yang terkait dengan penataan wilayah sungai yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Provinsi serta petunjuk pelaksanaannya. Melihat kenyataan bahwa DAS-DAS di Riau semakin kritis, maka sudah sepatutnya pengelolaan wilayah sungai mendapat perhatian yang memadai dengan membentuk wadah kordinasi tersendiri.
    Berdasarkan UU No. 7 tahun 2004 maka pemerintah Provinsi Riau mempunyai kewenangan membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat provinsi. Dewan sumber daya air ini bertugas untuk menyinkronkan program penataan ruang, reboisasi dan penghijauan, pencegahan pembalakan, pengendalian pencemaran serta pendayagunaan air Sungai Siak. Dengan dibentuknya Forum Daerah Aliran Sungai Siak, selanjutnya dapat dijadikan embrio sebagai Dewan Sumber Daya Air sebagaiman dimaksud dalam undang-undang.
    Sebagai gambaran, sejak beberapa tahun yang lalu wadah kordinasi pengelolaan sumber daya air di tingkat provinsi juga sudah terbentuk di 11 provinsi (5 provinsi di Pulau Jawa dan 6 provinsi di luar Pulau Jawa) dengan 2 macam nama yaitu: Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA) atau Dewan Sumber Daya Air Provinsi. Sedangkan di tingkat wilayah sungai juga ada wadah kordinasi dengan nama Panitia Pelaksana Tata Pengaturan Air (PPTPA) misalnya di WS Progo-Opak-Oyo di Provinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta, WS Seputih – Sekampung dan WS Mesuji – Tulangbawang di Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan. Saat ini tengah dilakukan persiapan pembentukan wadah kordinasi sumber daya air di WS Batanghari dan WS Kampar di Sumatera. Kebijakan pendekatan “One river, one plan and one management” perlu dicanangkan kembali sebagai pendekatan pengelolaan DAS.
    Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai telah mempunyai acuan yang jelas yaitu di dasarkan kepada PP 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Provinsi, salah satunya penyebutkan penataan ruang ekosistem wilayah sungai adalah merupakan kewenangan pusat. Pada saat ini (dalam tahun anggaran 2005) Ditjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum sedang melakukan kegiatan Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Siak yang diharapkan dapat selesai pada akhir tahun 2005 dan dapat dimanfaatkan sebagai acuan baik bagi pusat maupun daerah (provinsi, kabupaten dan kota).
    Maksud dari kegiatan tersebut antara lain menyusun suatu kajian secara mendalam mengenai kondisi, potensi dan permasalahan DAS Siak dalam upaya pemanfatan ruang yang efisien dan efektif untuk menjaga keseimbangan ekosistem DAS dan untuk mengatasi permasalahan yang ada (banjir, pencemaran sungai, pembuangan limbah dll). Dari data pemanfaatan ruang yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau tahun 2001–2015 menunjukkan bahwa pemanfaatan ruang di wilayah DAS Siak bagian hulu sebagian besar merupakan perkebunan besar dan kawasan hutan produksi, selain itu terdapat hutan lindung, kawasan perkebunan rakyat, kawasan permukiman, kawasan pertanian lahan kering, dan kawasan pertanian lahan basah. Di wilayah DAS Siak bagian hilir sebagian besar berupa kawasan hutan produksi, perkebunan besar dan sebagian lagi berupa kawasan perkotaan (Pekanbaru, Perawang dan Siak Sri Indrapura). Pemanfaatan lainnya berupa kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering, dan kawasan hutan resapan air.
    Dalam upaya pelestarian serta mengatasi permasalahan yang ada di wilayah DAS Siak diperlukan strategi penanganan antara lain :
1. Memepertahankan kawasan lindung (tidak boleh dikonversi) terutama di wilayah DAS Siak bagian hulu yang menurut data dari RTRW provinsi hanya terdapat dalam jumlah yang relatif kecil.
2. Kawasan perkebunan besar serta kawasan hutan produksi tetap sangat mendominasi di wilayah DAS Siak, sehingga perlu ditingkatkan pengelolaannya (penertiban illegal loging, reboisasi, dll)
3. Wilayah DAS Siak sangat rawan terhadap banjir, maka diperlukan suatu kajian tentang master plan pengendalian banjir untuk wilayah tersebut.
4. Dalam rangka mengantisipasi pembuangan sampah ke dalam sungai, perlu disiapkan lokasi untuk TPA yang dapat menampung sampah baik dari rumahtangga maupun non rumahtangga;
5. Untuk mencegah pencemaran sungai-sungai yang ada di DAS Siak, perlu disiapkan lokasi serta sistem untuk pengolahan limbah dari pabrik-pabrik yang banyak terdapat di wilayah tersebut.
6. Memberi penyuluhan pada masyarakat untuk ikut berperan serta dalam menjaga pelestarian lingkungan.
     Selain itu laju peresapan air ke dalam tanah amat dipengaruhi oleh tingkat kelebatan vegetasi pada tanah tersebut. Oleh sebab itu vegetasi pada kawasan hutan harus dijaga dengan cara reboisasi pada kawasan hutan yang gundul serta pencegahan pembalakan pada hutan yang telah lebat. Pada kawasan perkebunan serta lahan-lahan kosong lainnya dilakukan penghijauan sehingga peresapan air ke dalam tanah dapat berlangsung optimal.
Sebagai upaya penyelamatan dan pelestarian DAS Siak, maka penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah di tingkat provinsi, kabupaten/kota, rencana pengelolaan DAS Siak harus menjadi salah satu unsur yang harus dipertimbangkan.     Strategi dalam upaya penyelamatan DAS Siak yang perlu dilakukan adalah:
1. Menetapkan kawasan Sub DAS Siak Hulu dan bagian hulu dari Sub DAS Siak
Hilir sebagai kawasan lindung sumber air.
2. Pengaturan yang lebih ketat mengenai pemanfaatan terutama pada kawasan-
kawasan yang berfungsi lindung dan sempadan sungai.
3. Membentuk Dewan Sumber Daya Air Provinsi.
4. Penegakan hukum bagi pelaku perusakan lingkungan baik penggundulan hutan dan
pencemar air.( www.penataanruang.net:2006)
    Pembatasan pengembangan permukiman di Sub DAS Siak Hulu dan penetapan Sub DAS Siak Hulu sebagai kawasan lindung sumber air patut menjadi prioritas utama, hal ini disebabkan Kota Pekanbaru tepat berada di batas hilir Sub DAS Siak Hulu. Pada bagian hulu Sub DAS Siak Hilir perlu dijadikan kawasan konservasi juga mengingat luas Sub DAS ini cukup signifikan terhadap DAS Siak.


DAFTAR PUSTAKA

Eko Budihardjo, 1997, Tata Ruang Perkotaan, Alumni, Bandung.
Harian Pagi Riau Pos, 29 Maret 2007
Jayadinata, Johara T, 1999, Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan dan Wilayah, ITB, Bandung.
http://air.bappenas.go.id/doc/pdf/kliping/Abrasi%20di%20Sungai%20Siak%20Makin%20Parah.pdf
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0602/17/daerah/2443446.htm
http://www.riau.go.id/index.php?module=articles&func=display&ptid=1&aid=2725
http://www.penataanruang.net/taru/Makalah/050806.pdf
http://www.kapanlagi.com/h/0000076254.html

Tidak ada komentar:

Desa Wisata versus Sate Danguang Danguang

DINGINNYA Lembah Harau, terusir oleh setongkol jagung bakar. Sebungkus sate, terhidang. Aromanya mengelitik perut. “Ini sate danguang dangua...