SAYUP-sayup, dentuman musik mengisi ruang di telinga. Jarum jam di angka 03.40. Satu jam 32 menit lagi azan subuh. Masa-masa ini, sebenarnya waktu yang sangat baik untuk beribadah. Seiring waktu, irama musik itu makin kuat di telinga. Mungkin dihembus angin laut ke arah rumah. Tiba-tiba, tidak terdengar lagi. Berhenti. Pukul 04.00 pagi itu.
Pesta pernikahan. Pakai orgen. Dua sejoli yang kini harus ada. Harus ada. Ya…harus. Kalau tidak, dianggap tidak berada. Dipakecean. Belum pesta kalau tak ada musik. Sepi alek. Akibatnya, dipaksakan sewa orgen. Walau bautang. Dari siang, malam, pagi hingga malam lagi, berdentumlah musik di lokasi pesta. Dihoyak alek. Bagoyang kampuang.
Nikmat? Relatif. Ada yang menikmati. Bergoyang di pentas. Ikut bernyanyi. Atau sekedar goyang kaki di bawah pentas. Pokoknya happy. Ada yang sekedarnya saja. Lihat sebentar, pergi. Jika ada nyanyian yang disukai, datang lagi. Walau sambil tutup telinga tak jauh dari speaker. Ada yang tidak suka sama sekali. Berisik. Haram. Menjauh atau tak datang sama sekali ke tempat pesta.
Pesta pernikahan atau walimah adalah sunnah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Berwalimahlah, walaupun hanya dengan menyembelih seekor domba." (HR Bukhari). Ya, kesederhanaan. Menghadiri undangan pernikahan, juga salah satu kewajiban sesama muslim terutama yang dalam satu wilayah. Diundang, diupayakan datang.
Orgen di pesta pernikahan, kerap menimbulkan masalah. Terkadang menampilkan penyanyi dengan pakaian minim. Lenggak lenggok di atas pentas. Bercampur laki-laki dan perempuan di pentas yang kecil. Saling bersenggolan, Di sudut-sudut pentas, ada pula yang mabuk minuman keras. Makin malam, makin panas.
Ini jadi tren dari kota hingga pelosok desa. Musik tak mengenal waktu. Goyangan panas dan dentuman musik, terus membelah malam. Tak peduli dengan waktu. Tak peduli dengan tetangga. Tak peduli dengan orang sakit. Pokoknya goyang. Sampai subuh.
Adakah regulasi yang mengatur agar musik hanya boleh digelar sampai pukul 11 malam. Atau paling lama pukul 00. Pasti ada. Pasti ada Perda. Tapi ya, tidak jalan. Tidak peduli dengan perda. Pokoknya, happy tadilah. Embel-embelnya; kan sekali-sekali. Tak sadar kalau banyak yang terganggu. Banyak orang tua yang tak bisa tidur. Ada juga mengutuk.
Raso jo Pareso yang sudah tipis di masyarakat kita. Raso jo pareso, pakaian dalam hubungan interaksi dengan orang lain bagi orang Minang. Raso adalah perasaan. Pareso adalah kehati-hatian dalam bersikap dan bertindak. Raso dibao naiak, pareso dibao turun. Raso dari ati ka kapalo, pareso dari kapalo ka alam nyato.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar